Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INTERUPSI itu datang tiba-tiba. Saat tidur Ishak Mandacan belum sempurna, pengeras suara di kabin Boeing 737-200 milik Batavia Air yang ditumpanginya berbunyi. Isi-nya pendek, tapi mengejutkan: pilot memutuskan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta karena persoalan teknis.
”Alasan teknis” itulah yang memaksa anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Irian Jaya Barat itu membuka matanya lebar-lebar. Dalam hati ia terus bertanya, apa yang membuat penerbangan Jakarta-Makassar itu harus kembali ke titik awal.
Kecemasan pun menjalar. Di kepalanya terbayang sesuatu yang buruk bakal terjadi. Ia membangunkan istri dan anaknya yang tidur di bangku sebelah. Kegelisahan serupa juga menggelayuti 126 orang penumpang lainnya.
Menit-menit berikutnya adalah menit yang menegangkan. Pesawat yang baru mengudara 20 menit itu berputar-putar beberapa menit dan berbalik ke arah Bandara Soekarno-Hatta. Ia sedikit lega, sebab sementara ini semuanya berjalan lancar.
Tapi kelegaan itu tidak lama. Ketika- jarum arlojinya menunjuk ke angka 05.30 pagi, saat roda pesawat menyentuh- landasan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. Daar! Lampu kabin padam. Dari balik jendela ia dapat melihat asap putih mengepul.
Ishak mencengkeram erat kursinya. Pesawat semakin tidak terkendali dan oleng ke kanan-kiri. Jerit dan tangis pecah, memenuhi kabin. Para pramugari ikut panik. Dalam hitungan detik, pesawat telah meluncur keluar landasan dan berhenti setelah terjerembap di tanah berumput.
Awak pesawat berteriak meminta pe-numpang segera keluar dari kabin. Ishak dan keluarganya, yang duduk di kursi nomor dua, tergopoh keluar. Tapi tangga darurat belum dikeluarkan. Lalu de-ngan- panik Ishak dan beberapa penum-pang melompat dari pintu pesawat yang tingginya 1,5 meter dari permukaan tanah. Pria 51 tahun itu melompat de-ngan buruk: pergelangan kaki dan tulang keringnya terluka. Selain Ishak, ada dua orang lainnya yang terluka.
Sambil bergegas meninggalkan pesa-wat, Ishak kaget melihat kondisi pesawat. Separuh rodanya telah terbenam ke tanah berumput. Sebagian badan pesawat tergores karena bergesekan de-ngan landasan.
Jumat tiga pekan lalu itu adalah Jumat- kelabu. Rencana bertemu dengan Pe-merintah Daerah Manokwari terpaksa- mundur karena ia harus mengobati kaki-nya yang terluka.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Trans-portasi, Setio Rahardjo, yang langsung datang ke lokasi insiden, menga-ta-kan kesimpulan sementara pesawat tersebut tergelincir karena kerusakan sistem hidraulik. Sistem ini bertanggung jawab menaikkan dan menurunkan roda.
Petaka pesawat Batavia Air itu seolah memang hanya petaka kecil. Tapi, kecelakaan itu menambah panjang daftar pesawat Boeing 737-200 yang mengalami kecelakaan di negeri ini. Itulah sebabnya, pemerintah segera mengambil sikap. Hari itu juga Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, M. Iksan Tatang, melarang terbang sementara seluruh Boeing 737-200.
Industri penerbangan geger, sebab ada sekitar 71 unit Boeing 737-200 yang ber-operasi di Indonesia. Kalau kebijakan itu diterapkan, akan banyak maskapai pe-nerbangan yang gulung tikar. Akhir-nya, setelah hujan protes dari berbagai maskapai penerbangan, keesokan harinya- larangan itu dicabut. Sebagai gantinya-: pemerintah menginstruksikan seluruh Boeing 737-200—yang di Indonesia rata-rata sudah tua, dibikin 1970 sampai 1988—diperiksa menyeluruh.
Selang beberapa hari kemudian, gilir-an Menteri Perhubungan Hatta Rajasa yang angkat bicara. Hatta mengatakan, pemerintah dan maskapai penerbangan sepakat tidak lagi mengimpor Boeing 737-200. Alasannya, pesawat itu telah tua dan sudah tidak efisien.
Ketegasan sikap pemerintah ini meng-undang pro-kontra mengenai kelaikan terbang pesawat yang diproduksi pertama kali pada 1967 tersebut. Apalagi pelarangan terbang itu pernah dilakukan terhadap tujuh Boeing 737-200 September tahun lalu.
Ketika itu pemerintah menemukan sederet penyakit serius: roda depan bergetar, kanvas rem roda belakang habis, lampu darurat padam, kotak hitam percakapan ngadat, indikator arah otomatis rusak, dan peng-ukur bahan bakar tidak bekerja.
Larangan itu dibuat menyusul rontok-nya Boeing 737-200 milik Mandala Airlines karena gagal lepas landas di Bandara Polonia, Medan, 5 September 2005. Pesawat itu jatuh di permukiman penduduk dan menyebabkan 155 penumpang, awak pesawat, dan penduduk tewas.
Sebelumnya, pesawat berbadan gembil ini juga pernah bermasalah. Pada 14 April 2005, Boeing 737-200 milik Merpati rute Biak-Surabaya tergelincir karena patah roda di Bandara Hasanuddin, Makassar, saat melakukan pendaratan singgah. Akibatnya, 20 orang dari total 57 penumpang terluka.
Hisar M. Pasaribu, pakar teknik pe-ner-bangan dari Institut Teknologi Bandung, berpendapat faktor usia jelas berpengaruh pada keamanan pesawat terbang. ”Biasanya umur pesawat hanya 15-20 tahun dengan perawatan normal,” kata dia. Nah, si gembil ini di Indonesia ada yang berusia 36 tahun.
Ia mengatakan, semakin tua pesawat, semakin besar peluang terjadinya kerusakan. Salah satu kasus yang banyak terjadi adalah korosi dan retak pada rangka pesawat. Retak ini berpeluang menjalar dan mengakibatkan rangka patah. ”Walaupun dirawat baik, pasti ada kerusakan karena keausan dan korosi,” ujarnya.
Industri penerbangan sebenarnya mewajibkan pemeriksaan pesawat secara berlapis. Sebelum penerbangan, lazimnya dilakukan inspeksi visual dan pemeriksaan fungsi. Selain itu, ada pula cek A setiap 300 sampai 350 jam terbang, cek B setiap 750 sampai 900 jam terbang, dan cek C setiap 3.000 jam atau sekitar setahun ope-rasi dengan asumsi sehari 8 sampai 10 jam operasi. Dan pemeliharaan yang tak boleh dilupakan adalah pemeliharaan menyeluruh (overhaul) berbiaya jutaan dolar yang wajib dilakukan setiap 21 ribu jam terbang atau sekitar 6 sampai 7 tahun operasi. ”Kalau perawatan dilaksanakan secara teratur, pesawat bisa beroperasi 20 tahun,” tutur Hisar.
Di Indonesia, pesawat yang digunakan rata-rata sudah uzur, 18 hingga 25 tahun, bahkan ada yang berumur 36 tahun. Berdasarkan aturan, pesawat pada usia seperti itu semestinya sudah menjalani pemeliharaan menyeluruh mini-mal empat kali. ”Masalahnya, apakah- hal itu sudah dilakukan atau tidak,” tanya Hisar.
Dirjen Perhubungan Udara, Tatang, sependapat dengan keraguan Hisar. Menurut dia, kualitas perawatan Boeing- 737-200 di Tanah Air belum memadai-. Penyebabnya adalah pudarnya etika bisnis operator penerbangan. ”Tidak se-imbang antara keamanan dan bisnis,” ujar dia. Ia khawatir operator cenderung memikirkan aspek bisnis.
Hal yang sama dikatakan Suwito, Vice President Engineering Service Garuda Maintenance Facility. Menurut dia, ope-rator hanya mementingkan kuantitas pe-rawatan. ”Cuma jadwalnya saja yang dipenuhi, tapi kualitas pemeriksaannya masih harus diinvestigasi,” kata dia. Padahal pesawat tua seperti Boeing 737-200—yang paling muda berumur 18 tahun—butuh perawatan ekstra.
Sekretaris Perusahaan Merpati Airlines, Jaka Pujiyono, mengakui satu kali perawatan mesin membutuhkan biaya US$ 1,4 juta (Rp 12,6 miliar). Sedangkan untuk pemeliharaan menyeluruh dibutuhkan US$ 2 juta (Rp 18 miliar). Walau mahal, imbuhnya, sembilan unit Boeing 737-200 buatan 1982-1986 milik Merpati selalu mendapat perawatan yang baik di Merpati Maintenance Facility. Ia yakin, usia pesawat bukanlah faktor penyebab kecelakaan. ”Selama perawatan pesawat sesuai dengan jadwal, bisa dipastikan pesawat masih laik terbang,” tuturnya. Mudah-mudahan begitu. Kalau tidak, penumpang cuma bisa berharap pada doa.
Efri Ritonga, Endang Purwanti, dan Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo