Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKUBURAN Highgate bukanlah tujuan utama mayoritas turis di London, Inggris. Orang lebih suka menengok Istana Buckingham atau lonceng Big Ben, yang jadi ikon wisata negeri itu. Tapi Sigit Susanto bukan kelompok kebanyakan itu. Dia lebih suka menepi ke kawasan pemakaman sepi: di situlah jazad Karl Marx dikebumikan.
Tak cukup berziarah ke makam, Sigit juga meniti jejak tokoh komunis itu di London. Saat berkunjung ke B-ritish Museum, ia tak hendak mengisahkan ko-leksi-koleksi museum yang da-hsyat, tapi mengunjungi Reading Room. Di ruang-an inilah, pada periode 1860-1867, Marx hampir setiap hari duduk ber-jam-jam menyelesaikan Das Kapital (hlm. 325-340).
Itulah salah satu kisah dari buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Sigit Susanto. Penulis ini telah berwisata ke 21 negara, dan sekarang saatnya berbagi cerita kepada pembaca. Yang unik dari bukunya, sebagian besar cerita muhibahnya bertitik tolak pada seorang tokoh yang lahir, tumbuh, berkarya, atau mening-gal di lokasi yang dikunjunginya. Se-per-ti Marx yang dimakamkan di London itu.
Ketika singgah ke Praha, Repu-blik Cek, ia tak bercerita tentang Wences-laus Square, yang terkenal di ko-ta tua itu. Ia justru menyu-suri jejak-jejak Franz Kafka. Di-mulai dari tempat kelahiran sang sastrawan di Eckhaus Maislgasse-Karpfengasse hingga makamnya di Zizkov. Ia bahkan menyamba-ngi Kafe Slavia di tepi Su-ngai Moldau. Di kafe inilah Kafka biasa bertemu de-ngan rekan sastrawan. S-igit juga mengurutkan lokasi-lokasi yang disebut dalam beberapa novel Kafka. Misal-nya Gang Golden yang disebut-sebut dalam trilogi novel berjudul Amerika (hlm. 97-134).
Tak pelak, perjalanan para tokoh inilah yang sesungguhnya menjadi ”nyawa” buku ini. Tak sekadar ”memotret” sebuah tempat wisata dengan kata-kata, Menyusuri Lorong Dunia mewarnai-nya dengan latar belakang seorang tokoh di daerah itu. Bagi yang berharap akan membaca sebuah panduan wisata, buku ini akan mengecewakan.
Buku itu mengingatkan kembali sastra perjalanan, genre yang pernah ha-dir di negeri ini. Indonesia punya Orang Jawa Naik Haji karya Danarto, juga Jalansutra, kumpulan tulisan perjalanan Bondan Winarno dan beberapa orang pe-nulis tamu tentang daerah-daerah di dalam dan luar Indonesia. Sastra perjalanan (travel literature) merekam orang-orang, kejadian, pandangan, dan perasaan seorang penulis yang bertandang ke tempat asing. Narasinya jelas dan logis. Sastra perjalanan lebih dari sekadar petunjuk tentang sebuah tempat atau peristiwa.
Membaca Jalansutra lebih dari sekadar membaca sebuah panduan perjalan-an ”biasa”. Tulisan-tulisannya serasa mampu menghadirkan suasana—bahkan di beberapa tulisan pembaca rasa-nya ikut ”mencicipi” makanan— yang di-ceritakan itu. Ini yang mem-bedakannya dari sekadar buku panduan perjalan-an. Label sastra perjalanan sangat tepat disematkan pada Jalansutra. Kita bisa men-dapatkan sekaligus panduan dan cerita tentang sebuah daerah dengan gaya pe-nulisan yang mengalir.
Di negara-negara Er-opa dan Amerika, literatur perjalanan telah lama dianggap sebagai genre yang penting. Beberapa nama besar di dunia telah melahirkan tu-lis-an muhibah yang dikenang se-jarah. Dalam beberapa kasus, tulisan esai ”biasa” akhir-nya bisa dikategorikan masuk ke genre ini karena mampu me-rekam sebuah bangsa dan orang-orangnya. Mi-salnya, V.S. Naipaul yang me-nulis, antara lain, India, A Wounded Civilization dan Ups and Downs of Life in the Indies tentang Indonesia.
Tulisan-tulisan tentang pelancong-an ini termasuk salah satu jenis sastra yang tertua. Salah satu tulisan perjalan-an tertua yang ditemukan dibuat pada 1336. Bahkan para penjelajah dunia se-perti Marco Polo dan Columbus dikenang sejarah lantaran kerajinan mereka menuangkan perjalanan mereka dalam bentuk tulisan. Pada awal abad ke-15 pun Richard Hakluyt telah menerbitkan Voyages, sebuah buku panduan menulis genre sastra perjalanan.
Pada masa kini, tak sedikit penulis yang memang spesialis menulis sastra perjalanan. Satu nama yang identik de-ngan genre ini adalah Bill Bryson. Sebut saja beberapa judul novelnya: Neither Here nor There tentang beberapa ne-gara Eropa, African Diary tentang ne-gara-negara di benua itu, dan Notes from a Small Island tentang kota-kota Inggris. Buku yang terakhir bahkan di-bikin versi televisinya.
Dalam Notes from a Small Island, penulis Amerika ini menulis dengan be-gitu detail dan kocak tentang peng-alam-an-pengalamannya menjelajah berbagai kota di Inggris. Ia menyebut de-ngan jelas nama toko, jalan, acara te-levisi, jenis makanan, hingga dialek khas tiap daerah yang didatanginya. Ia bahkan begitu ”iseng” menghitung jumlah nama jalan di London: 45.687! Termasuk sejumlah nama jalan yang ”terdengar seperti jenis-jenis penyakit”. Ia juga menyatakan ”sebal” dengan seluruh kota di Inggris yang sukar dibeda-kan satu dengan yang lain lantaran ”se-mua memiliki Boots, W.H. Smiths, dan Marks and Spencer.” Ketiga toko retail itu memang ”Inggris banget”.
Sebenarnya sastra perjalanan bukan hal baru bagi Indonesia. Dulu Abdullah bin Abdulkadir Munsyi men-ulis la-poran perjalanannya ke Mekah dan Gujarat dalam tulisan yang layak disebut sastra perjalanan. Sekarang, se-iring de-ngan gelombang penerbitan novel oleh para penulis muda, peran catatan tentang negeri asing tidak lebih dari se-ting cerita. Dalam novel, subyektivitas sebagaimana dalam sastra perjalanan tak perlu hadir.
Penyair, pengajar kesusastraan Sapardi Djoko Damono mencatat, betapa para penulis kita terpukau pada genre baku seperti puisi, novel, atau drama. ”Padahal pilihan mereka jauh lebih luas, biografi atau sastra perjalanan, mi-salnya,” kata Sapardi.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo