Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, membeberkan bagaimana detail dari pengembangan Vaksin Merah Putih hingga progres saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Amin, pihaknya mengembangkan vaksin Covid-19 itu dengan memilih platform protein rekombinan untuk menghasilkan sub-unit protein, artinya hanya menggunakan satu atau dua bagian dari virus, yakni protein Spike (S) dan Nucleocapid (N).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protein S akan memfasilitasi menempelnya virus pada permukaan sel manusia melalui reseptor ACE2, sedangkan N adalah bagian yang mengikat materaial genetik atau RNA di dalam virus dan berfungsi untuk melepaskan RNA-nya apabila virus sudah berhasil masuk ke sel manusia.
“Itu yang menjadi target kami,” ujar dia dalam acara webinar bertajuk Kemajuan Riset Vaksin Merah Putih: Tantangan dan Peluangnya Terkini yang digelar Socienty of Indonesian Science Journalism (SISJ), Senin, 23 Agustus 2021.
Lalu, bagaimana roadmap pengembangan Vaksin Merah Putih Eijkman? Pengembangannya diawali dengan fase riset and development (R&D), klinis, hingga industri. Eijkman menggunakan virus yang diisolasi dan diamplifikasi dengan protein S dan N yang berasal dari PCR analisa gen ekspresi protein. Setelah itu, protein dikloning secara bertahap, dengan tujuan untuk memasukkannya ke dalam sistem ekskresi yang adalah sel mamalia atau pun sel ragi.
Intinya, Menurut Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu, Eijkman menggunakan sel-sel tersebut untuk nantinya dijadikan sebagai pabrik. Jadi, kata dia, pabrik tersebut akan membuat sel mamalia atau ragi menghasilkan protein-protein yang sudah didesain.
“Nanti kalau sudah berjalan kita tidak lagi akan mengulangi proses-proses ini, tapi kita akan fokus membuat sel itu menghasilkan protein. Nah protein ini akan menjadi seed vaksin atau bibit vaksin,” tutur Amin.
Setelah itu, seed vaksin atau bibit vaksin itu akan diproses di industri setelah melalui proses optimasi, scalling up, dan meningkatkan nilai yield-nya. Lalu, akan disiapkan Good Manufactoring Practice (GMP), untuk selanjutnya dilakukan penyuntikan pada hewan coba. Jika semua hasilnya baik, maka bisa berlanjut ke uji klinis fase 1 hingga fase 3.
“Dan jika nanti sudah dapat Emergency Use Authorization (EUA) baru akan dilakukan produksi dengan skala yang lebih besar,” katanya.
Untuk progres teknis metode sel mamalia, Eijkman sudah berhasil melakukan kloning protein S dan N yang dimasukkan ke dalam sel mamalia. Saat ini Eijkman sedang melakukan verifikasi apakah benar-benar protein S dan N yang dimasukkan. “Jadi setelah dimasukkan kami isolasi lagi, dicek lagi, disekuens lagi, untuk memastikan bahwa protein S dan N sudah masuk secara utuh.”
Lebih spesifik lagi, Amin berujar, Eijkman juga menargetkan pengikatan protein S ke reseptor ACE2 dan akhir dari protein S ini adalah reseptor binding domain (RBD). Tahapan ini juga sudah dilakukan pengujian, dan hasilnya terlihat bahwa ekskresi atau antigen sudah ada, yang juga sudah dicek dan disuntik ke hewan uji.
“Hasilnya luar biasa, jelas sekali perbedaannya antara kelompok yang disuntik dengan protein S itu menghasilkan antibodi jauh lebih tinggi daripada yang tidak mendapatkan protein S,” ujar dia.
Amin yang merupakan peraih Ph.D Immunogenetic dari Jepang itu menambahkan, pengujian itu sekaligus membuktikan bahwa setelah vaksinasi tidak ada kerusakan jaringan apapun. “Jadi kami periksa organnya, paru-paru, liver, dan sebagainya untuk mengamati apakah ada kerusakan jaringan akibat suntikan tadi.”
Sedangkan progres dari teknis metode sel yeast, Amin melanjutkan, secara umum serupa dengan proses pada sel mamalia. Protein S dan N dikloning dan dimasukkan ke dalam sel yeast, dan sudah bisa dibuktikan mengekspresikan protein yang diinginkan.
Baca:
BRIN Gelontorkan Rp 200 Miliar untuk Pengembangan Vaksin Merah Putih