Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menanggapi reaksi yang muncul dari kebijakannya memindahkan periset di daerah-daerah ke homebase unit penelitian masing-masing sesuai penempatan dan kepakarannya. Surat terbuka antara lain telah dikirimkan sejumlah periset yang saat ini bernaung di Kawasan Kerja Bersama (KKB) Naniek Harkantiningsih di Medan, Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terungkap dalam surat itu keberatan atas opsi-opsi yang disediakan jika mereka menolak pindah dari daerah domisilinya saat ini. Opsi-opsi itu adalah pindah ke BRIN daerah (pemda) dengan jabatan fungsional tetap sebagai periset, kembali ke kementerian/lembaga asal dengan alih jabatan fungsional selain periset, atau mundur sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat dimintai konfirmasinya, Handoko membenarkan adanya kebijakan penataan SDM periset yang akan diberlakukan tahun depan tersebut. Dia mengatakan kalau saat ini adalah tahap akhir transisi dari para periset eks kementerian dan lembaga.
"Dalam dua tahun terakhir masih diberi kesempatan untuk tetap di domisilinya sembari diberi waktu untuk memilih, apakah bergabung ke lokasi pusat riset atau mutasi ke Pemda (BRIDA dll) di daerahnya,” kata dia ketika dihubungi, Senin 14 Oktober 2024.
Untuk opsi mundur dari ASN, Handoko menegaskan bahwa itu merupakan pilihan normatif. “Karena sesuai ketentuan ASN, sejak awal telah bersedia ditempatkan di mana saja,” tuturnya.
Menurut dia, penugasan dan SK penempatan para periset memang bekerja di Pusat Riset masing-masing yang sudah ditetapkan. "Namun, ada mekanisme WfA (Work from Anywhere) yang diberlakukan selama masa transisi," katanya.
Dia juga menyinggung ketiadaan fasilitas seperti laboratorium yang memadai jika tetap di daerah. BRIN, disebutkannya, hanya memiliki fasilitas co-working space (CWS) dan kawasan koleksi ilmiah seperti kebun raya, stasiun bumi, dan stasiun lapangan di kebanyakan daerah. Sedangkan 85 Pusat Riset berada di kawasan Serpong, Cibinong, Bandung, Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ketika dihubungi terpisah, Defri Simatupang, salah satu peneliti BRIN yang kini berada di bawah naungan Kawasan Kerja Bersama (KKB) Naniek Harkantiningsih di Medan menyampaikan bahwa kebijakan atau arahan itu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja penelitian yang telah dibangun selama ini. Doktor dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan ini menekankan bahwa keberadaan para peneliti di daerah sangat penting untuk menjaga relevansi penelitian dengan konteks lokal.
“Sejak awal terbentuknya BRIN, kami para periset dari eks kementerian/lembaga, yang suka tidak suka harus bergabung ke BRIN, tentu direpotkan kalau ke pusat karena objek penelitian kami sudah di daerah masing masing,” katanya.
Defri bersama beberapa rekannya di KKB Medan telah melayangkan surat terbuka kepada Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, untuk menyuarakan pertimbangan tersebut. “Solusi dengan kami (periset) tetap di daerah sambil selalu koordinasi ke pusat itu sudah yang terbaik,” katanya.
Defri menilai bahwa selama ini mereka berhasil berkomunikasi secara efektif melalui platform daring dan malah menghemat anggaran negara. Dia mengungkap alasan pimpinan BRIN untuk pemindahan karena ada pegawai yang tak pernah lapor bahkan berada di luar negeri. “Bagi kami itu kasuistik. Ya, dihukum saja si oknum, jangan dipukul rata ke semua,” katanya.