Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Universitas Indonesia membangun proyek riset PLTS terapung dua sisi pertama.
Dua sisi panel surya mampu menangkap cahaya matahari lebih banyak.
Penggunaan PLTS lebih ramah lingkungan.
PEMBANGKIT listrik tenaga matahari biasanya memanfaatkan panel surya atau sel fotovoltaik satu sisi yang hanya menghadap atas. Tim Universitas Indonesia membangun rangkaian pembangkit listrik tenaga surya terapung dengan panel dua sisi (bifacial) di Danau Mahoni di area kampus di Depok, Jawa Barat. Proyek ini adalah PLTS terapung dua sisi pertama yang dikembangkan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan PLTS terapung ini merupakan kerja sama antara Tropical Renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik UI dan PT Sky Energy Indonesia serta PT Quint Solar Indonesia. “Proyek perdana ini bisa menjadi media pembelajaran bagi para peneliti dan industri lokal untuk membuat pembangkit listrik tenaga surya yang sesuai dengan karakter alam Indonesia,” kata Direktur TREC UI Eko Adhi Setiawan pada Selasa, 10 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Eko, pembangunan pembangkit energi terbarukan di Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi alam tropis. Selama ini, banyak produk energi terbarukan yang dipakai di Indonesia justru dibuat dan diperuntukkan bagi pengguna di negara-negara subtropis. Padahal Indonesia mendapat radiasi matahari lebih banyak dengan suhu lebih panas dan tingkat kelembapan tinggi. Kecepatan angin pun lebih lambat dibanding kawasan subtropis. “Kondisi itu mempengaruhi teknologi yang dibuat,” ucap Eko.
PLTS terapung dua sisi UI diresmikan pada 25 Februari lalu. Studi pembangkit yang didasarkan pada kombinasi potensi perairan alam, seperti danau, waduk, dan setu, dengan paparan matahari daerah tropis itu dimulai pada November tahun lalu. Pembangkit terapung juga dinilai lebih unggul dibanding PLTS di darat, antara lain mudah dipasang dan tidak memerlukan pembebasan lahan. Menurut Eko, ada potensi penurunan biaya produksi listrik karena tidak ada komponen beli atau sewa tanah.
PLTS terapung ini menggunakan sel fotovoltaik dua sisi yang dapat menangkap cahaya matahari lebih banyak dibanding model panel surya biasa. Sisi bawah panel dapat menangkap pantulan cahaya matahari di air. Dengan lebih banyak cahaya matahari yang diperoleh, energi listrik yang dihasilkan pun meningkat.
Energi listrik dari PLTS terapung tersebut sudah dipakai untuk menghidupkan lampu dan peralatan elektronik lain di kantin Fakultas Teknik UI. Energi yang dipasok dari pembangkit itu sepanjang hari bisa mencapai 40 kilowatt-jam. Pembangkit ini dirancang tanpa baterai sehingga hanya berfungsi selama ada matahari. Meski demikian, menurut Eko, baterai tinggal ditambahkan jika pengguna ingin menyimpan energi untuk dipakai pada malam hari.
Penggunaan PLTS terapung juga dapat membantu menekan jumlah karbon dioksida yang lepas ke udara. Hasil kalkulasi sistem menunjukkan 6.600 watt dari PLTS pada siang hari setara dengan pengurangan 4,6 kilogram CO2 yang dilepaskan pembangkit berbahan bakar fosil untuk memproduksi listrik. “Pembangunan PLTS ini tidak cuma memproduksi listrik, tapi juga ramah lingkungan,” tutur Eko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo