Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putut Irwan Pudjiono namanya. Seperti umumnya orang Jawa, dia penggemar berat tempe. Tapi Putut bukan hanya pelahap. Dia adalah pengabdi tempe nyaris dalam arti harfiah. Hampir seluruh kariernya di Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) ia habiskan untuk meneliti tempe. Sejak lulus dari Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung hingga meraih gelar doktor di Inggris, tangannya hampir tak pernah lepas dari urusan tempe.
"Lo, lulusan ITB kok ngurusin tempe," cemoohan itulah yang dulu kerap diterima Putut saat dia baru bergabung dengan Unit Pengelola Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI. Tapi Putut tak peduli. Doktor bidang rekayasa biokimia itu malah terobsesi menciptakan 1001 makanan dari tempe. Hasilnya? Dia menciptakan tepung campuran tempe untuk bahan dasar aneka makanan. Dari tepung itu bisa tercipta kudapan ringan nan renyah, donat, kue black forest, bahkan es krim. "Roti dari tepung dijamin tak kalah lezat dengan produk toko roti seperti Holland Bakery," kata Putut. "Padahal semua bahan dari kedelai lokal."
Tapi bukan hanya rasa lezat tujuan utama Putut. Ia yakin, dengan membuat tepung tempe yang dicampur makanan lain, nilai gizi makanan itu akan meningkat. Asal tahu saja, sekerat tempe mengandung komposisi gizi yang komplet: ada protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, dan besi dalam kadar relatif tinggi. Kandungan ini lebih baik ketimbang kedelai biasa karena tempe sudah melalui proses fermentasi. Dan, tentu saja murah.
Selain mutu protein tempe yang tinggi, makanan ini juga mengandung vitamin B12, yang tak ditemukan di bahan makanan nabati lain. "Vitamin itu muncul secara tak sengaja. Itu berkat kerja suatu bakteri yang bernama Klebsiela pneumonae," ujar Hermana, peneliti yang 20 tahun lalu meraih doktor dari Institut Pertanian Bogor karena meneliti tempe.
Sejumlah penelitian para calon doktor di Indonesia juga mengungkap bahwa tempe ampuh untuk mengusir penyakit diare. Dan yang lebih penting, kata Putut, tempe mengandung zat antioksidanzat penolak kanker. Kelak tempe bahkan bisa menjadi bahan pencegah diabetes, bila inokulum jamur yang digunakan dalam proses fermentasi diganti dengan jamur Rhizopus strain khusus antidiabetes.
Sifat-sifat unggul itulah yang mengilhami Putut untuk mengubah sepotong tempe menjadi aneka makanan sedap. Setelah melewati serangkaian penelitian bertahun-tahun, lahirlah produk yang disebut Bahan Makan Campuran (BMC) Tempe. Ini adalah tempe yang dikukus lalu dikeringkan dan dibikin tepung. Tepung ini kemudian diperkaya lagi dengan tepung kacang hijau, beras, telur, dan beberapa bahan lainnya.
Tepung tempe ajaib inilah yang kini sedang dimasyarakatkan oleh UPT Balai Pengembangan Proses LIPI di Yogyakarta. Tepung ini mengandung nutrisi: protein 16,4 persen, lemak nabati 2,5 persen, karbohidrat 71,7 persen, air 7,5 persen, serta vitamin B1, B2, B12, dan kalsium, zat besi, kalium. Kandungan kalorinya 375 per 100 gram bahan.
Dengan komposisi nutrisi seperti itu, tepung campuran tempe cocok untuk makanan jajanan bagi anak sekolah. Kandungan proteinnya yang 16,4 persen tak beda dengan protein dalam segelas susu cokelat, yang mencapai 20 persen.
Jika Anda belum yakin khasiat tempe ini, lihatlah hasil percobaan yang dilakukan konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat Penerapan Potensi Kemasyarakatan (LSM-PPK)organisasi nirlaba yang ditunjuk LIPI untuk memasyarakatkan tepung tempe ini. Mereka melakukan uji coba dengan memberikan kue berbahan tempe pada anak-anak di beberapa sekolah dasar. Jajanan itu diatur agar kandungan proteinnya di atas 5 persen dan nilai kalorinya 300 kalori per 100 gram makanan. "Ternyata anak-anak yang mendapat makanan BMC Tempe ini berat badan dan tinggi badan tumbuh lebih daripada anak yang tidak mendapatkan makanan dari tepung tempe," kata N. Sjahrul Manurung, ketua umum konsorsium LSM-PPK.
Penelitian itu tak mengherankan. Mujarabnya tempe untuk memperbaiki status gizi anak ini sudah teruji di Desa Bendungan (Bogor). Dari 300 anak di Bendungan, ternyata berat badan anak-anak yang mendapat tambahan makanan dari beras-tempe rata-rata naik 690 gram. "Sedangkan yang mendapatkan tambahan makanan dari beras-kedelai beratnya cuma naik 670 gram," kata Hermana beberapa waktu lalu.
LIPI berharap, kehadiran tepung tempe ini bisa menjadi dewa penolong bagi anak-anak miskin yang selama ini kekurangan kalori protein. Menurut data di Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, pada 2002 anak-anak yang lapar protein ini jumlahnya mencapai 38 persen dari total anak sekolah di Indonesia.
Pemerintah sebenarnya sudah mewajibkan sekolah dasar memberikan makanan tambahan bagi siswanya seminggu sekali. Namun banyak pengelola sekolah menyediakan makanan asal-asalan tanpa peduli soal gizi. "BMC Tempe ini bisa jadi solusi, karena murah dan berprotein tinggi," kata Putut. Saat ini LIPI saban minggu memproduksi tiga ton tepung tempe untuk program ini untuk wilayah Jakarta.
Sayangnya, belum semua sekolah di Jakarta setuju memakai tepung tempe. "Banyak kepala sekolah menolak dengan alasan yang dibuat-buat," kata Manurung menambahkan. Penolakan yang menyedihkan, karena negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia ternyata mulai kesengsem tempe. Di AS, misalnya, sudah bermunculan pabrik tempe. Pada 1977 saja sudah tumbuh 50 pabrik tempe di sana. Kini mereka malah menerbitkan buku berjudul The Book of Tempeh dan mempatenkan tempe.
Australia malah lebih agresif. Mereka ingin menjadi "bangsa tempe" dengan merayu LIPI untuk mengadakan kerja sama pembuatan tepung tempe. Hanya, mereka minta tempenya tak terbuat dari kedelai, tapi dari kacang lupin (Lupin anguspifolius) yang banyak ada di Negeri Kanguru. LIPI, menurut Putut, kini masih pikir-pikir karena takut hak cipta tepung tempe itu jatuh ke Australia.
Begitulah. Tempe yang dianggap rendah itu ternyata bernilai tinggi. Itu pula yang membuat Putut tak patah arang memasyarakatkan tepung tempe. Dalam waktu dekat mereka bakal menjual tepung tempe di pasar-pasar swalayan Jakarta. "Kami juga berencana membuka gerai toko roti tempe," ujarnya. Di luar itu, masih ada sederet rencana: seperti produksi makanan bayi dari tepung tempe dan membuat es krim tempe.
Nah, mengapa harus malu menjadi bangsa tempe?
Burhan Sholihin
Tempe Kari untuk London
Jamaknya, seorang doktor ada di sebuah laboratorium yang komplet dan diapit oleh alat-alat modern, serta jauh dari ingar-bingar kota. Putut Irwan Pudjiono berbeda. Doktor lulusan University of Manchester In-stitute of Science Technology itu memilih bekerja sebagai kepala laboratorium yang ada di desa terpencil, di ujung Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia bergabung dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia, LIPI.
Ini lembaga yang di mata banyak ahli kimia kurang bergengsi. Karena lokasinya ada di desa sunyi, yakni Desa Gading, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Bangunan laboratorium-nya pun tak baru, sudah berdiri sejak 1980-an, ketika Presiden Soeharto mengenalkan program lamtoro gung. Toh, kendati begitu, Putut tetap senang, karena laboratoriumnya punya karya-karya hebat. Selain membuat tepung campuran tempe, mereka juga sedang mengembangkan bahan makanan dari sukun dan labu merah. Mimpinya, tepung ini gizinya juga akan sehebat tepung tempe.
UPT ini juga sudah memproduksi tepung bengkuang dan mengkudu. Tepung-tepung itu diekspor ke Jepang. Putut bersama 13 staf peneliti lainnya juga telah mengembangkan tempe yang dimasak kari dan dikalengkan. Tempe kari kalengan ini diimpor khusus oleh sebuah rumah sakit di London, Inggris. "Menurut mereka, tempe membantu penyembuhan pasien yang telah menjalani operasi," kata Putut senang.
Lembaga ini juga dipercaya TNI Angkatan Darat untuk membuat nasi goreng kaleng untuk para prajuritnya yang ada di medan tempur. "Nasi gorengnya kita rancang berenergi dan berserat tinggi, sehingga prajurit bisa tahan lapar, he-he-he...."
BS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo