SEMPAT ditelantarkan selama sekitar dua tahun, akhirnya disentuh juga oleh parlemen. Mereka kini mulai membahas revisi Undang-Undang No. 4/1998 tentang Kepailitan. Perbaikan dipicu oleh dua perkara yang menghebohkan: Asuransi Jiwa Manulife dan Prudential. Keduanya dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, kendati putusan ini ujungnya dikoreksi oleh Mahkamah Agung.
Penggodokan rancangan perubahan atas beleid tersebut dilakukan oleh Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditargetkan selesai pada pertengahan bulan depan. "Kami sudah bergerak cepat. Sekarang seluruh masukan dari pemerintah dan fraksi-fraksi sudah terkumpul," ujar Faisal Baasyir, Wakil Ketua Komisi IX.
Kecaman sempat datang dari Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) gara-gara pembahasan dilakukan oleh komisi yang membidangi urusan ekonomi. Semestinya, rancangan itu di Komisi II, yang mengurusi masalah hukum. Menghadapi kritikan ini, Baasyir berjanji akan melibatkan anggota Komisi II dalam pembahasan.
Hal terpenting yang dikoreksi dari undang-undang tersebut tak lain menyangkut tata cara pengajuan kepailitan. Dalam Undang-Undang No. 4/1998, pengajuan pailit hanya diatur untuk perusahaan bukan bank, perusahaan bank, dan perusahaan efek, sementara untuk perusahaan pengumpul dana publik seperti perusahaan asuransi, reasuransi, dan dana pensiun belum dicantumkan.
Akibatnya, perusahaan asuransi dianggap sebagai perusahaan bukan bank biasa yang pengajuan pailitnya bisa dilakukan oleh kreditor perorangan. Inilah yang terjadi pada Asuransi Jiwa Manulife dan Prudential.
Biar kasus itu tak terulang, pemerintah menambahkan satu ayat dalam tata cara pengajuan pailit. Dalam Pasal 2 Ayat (5) rancangan tersebut dinyatakan dengan jelas: "Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, atau dana pensiun, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan."
Klausul baru tersebut cukup melegakan kalangan pengusaha asuransi. Bagaimanapun, menurut Ketua Dewan Asuransi Indonesia, Hotbonar Sinaga, perusahaan asuransi tidak bisa disamakan dengan perusahaan biasa. Soalnya, yang dikelola adalah dana publik yang jumlahnya banyak. Jadi, "Perusahaan asuransi atau dana pensiun tidak bisa begitu saja dipailitkan seperti perusahaan jasa non-keuangan," ujarnya. Dia juga menilai Departemen Keuangan yang paling layak mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga.
Tak hanya itu. Pengertian "utang" dalam rancangan revisi undang-undang tersebut juga diperjelas. Soalnya, gara-gara definisi utang yang tak jelas, muncul banyak putusan pengadilan yang kontroversial. Dalam kasus Prudential, misalnya, majelis hakim mengabulkan permohonan pailit Lee Boon Song karena sengketa ihwal pemutusan kontrak keagenan. "Kewajiban" Prudential terkait dengan pemutusan kontrak ini dianggap sebagai utang. "Hal ini terjadi karena tidak jelasnya definisi utang," ujar Denny Kailimang, Ketua AAI.
Nah, dalam rancangan dicantumkan definisi yang gamblang. Disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (4): "Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor."
Di mata Herni Sri Nurhayati, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, definisi tersebut sudah cukup bagus. Selama ini definisi utang hanya diartikan secara sempit. "Definisi yang ada dalam rancangan itu mengatur utang secara luas," kata Herni. Hanya, ia mengingatkan, peraturan sebaik apa pun tanpa penegakan hukum yang tegas tetap tidak akan berarti.
Juli Hantoro, Anastasya (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini