Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hampir seribu desa di Indonesia telah melakoni pemilihan langsung dengan sistem e-Voting. Proses demokrasi itu untuk memilih kepala desa di daerah terpencil tanpa aliran listrik. Intens, anak uisaha PT Inti di Bandung, Jawa Barat, sejak 2015 menyediakan sistem e-Voting itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur PT Inti Konten Indonesia (Intens) Rizki Ayunda Pratama kepada Tempo di kantornya mengatakan, pengguna e-Voting meningkat. “Tahun ini saja sudah seribu desa, peluangnya masih 2000-3000 desa,” katanya, Kamis, 2 Mei 2019.
Peningkatan itu seiring sosialisasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah. Pemilihan kepala desa 2019 secara e-Voting itu akan dilakukan mulai Agustus.
Misalnya di Kabupaten Brebes sekitar 300 desa, dan ratusan lainnya di Kabupaten Situbondo, Boyolali, Kabupaten Batubara, Indragiri Hulu di Riau, Sleman, Bantaeng, dan Toraja Utara. Kini sudah 981 desa di 18 kabupaten dan 11 provinsi se-Indonesia yang menggunakan e-Voting. Daerah yang paling banyak seperti di Sumatera Selatan pada 2015, yaitu Kabupaten Empat Lawang dengan 101 desa, juga 160 desa Kabupaten Banyuasin.
Sistem e-Voting kerjasama dengan BPPT ini menggunakan perangkat laptop, komputer pribadi, flash disk, pembaca KTP elektronik, kartu pintar sebagai surat suara dan mesin pembacanya, serta printer thermal. Harganya total berkisar Rp50-70 juta, tergantung biaya pengiriman dan jarak lokasi desa. Sepaket perangkat itu untuk sebuah desa, dan bisa dipakai bergantian.
Tanpa listrik, e-Voting bisa digelar dengan generator set. Genset juga bisa dipakai sebagai cadangan atau antisipasi jika listrik padam. Biasanya kata Rizki, dengan jumlah pemilih 3000 orang di sebuah tempat pemungutan suara, pemilihan dari jam 07.00 bisa selesai pukul 14.00. “Pemenangnya langsung ketahuan saat itu juga,” ujarnya.
Sementara ini cara e-Voting yang tidak total untuk pemilihan kepala daerah sudah dilakukan di Makasar, Sulawesi Selatan. “Terbatas baru untuk verifikasi KTP elektronik dan rekapitulasi data, cara lainnya masih manual, dan mencoblos kertas,” ujar Rizki.
Keterbatasan itu terkait anggaran dan aturan. Sebab e-Voting harus dilakukan serempak di semua tempat atau sebagian daerah yang memakai e-Voting dan manual. “Kemarin tidak dilakukan semua karena mepet waktunya,” katanya. Target berikutnya pada 2020 mereka ingin bisa melaksanakan dan menyiapkan Pilkada e-Voting.