MAKIN ramai saja upaya menggalakkan ilmu dan teknologi di negeri ini. Rabu pekan lalu, di Istana Negara, Presiden Soeharto melantik Dewan Riset Nasional (DRN), yang diketuai Menristck B.J. Habibie. "Kita harus meningkatkan kemampuan efektivitas dan efisiensi para ahli ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Kepala Negara dalam amanat pelantikan. Presiden berbicara, dengan rasa prihatin, tentang "jurang pemisah yang sangat lebar dan dalam" di lapangan ilmu dan teknologi antara negara maju dan negara sedang membangun. Indonesia, tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan yang datang dari luar, diharuskan mandiri di lapangan ini. Dan DRN, antara lain, bertugas "mempersiapkan perumusan program utama nasional dalam bidang riset dan teknologi". Dewan ini memang bukan lahir sekonyong-konyong. "Sudah lama republik ini mengidam-idamkan tempat bagi para ilmuwannya," kata Sediono M.P. Tjondronegoro kepada TEMPO, pekan lalu. Menurut sekretaris DRN itu, rintisan sudah dilakukan sejak 1967, ketika Sumitro Djojohadikusumo menjabat menteri riset. Misalnya dengan mendirikan Pusat Penelitian Ilmu dan Teknologi (Puspitek) di Serpong. Ketika Habibie diangkat menjadi menteri ristek, 1978, ia membentuk dewan yang bertugas menyiapkan saran tentang bagaimana riset dan teknologi, juga ilmu pengetahuan dan teknologi, dikembangkan. "Salah satu tugas Pak Habibie memang mengelola penelitian dan pengembangan teknologi di Indonesia," kata Sediono, doktor sosiologi yang pernah menuntut ilmu di Universitas London, Universitas Amsterdam, dan Universitas Wisconsin itu. UNTUK itulah, antara lain, dilakukan tiga kali Loka Karya Nasional Riset dan Teknologi, 1978,1980, dan 1982. Dan dalam pidato pengarahannya pada rapat kerja tim perumus dan evaluasi program-program utama nasional riset dan teknologi, 12 November 1981, Habibie mulai berbicara tentang sebuah Research Council. "DRN berbeda dengan lembaga-lembaga penelitian semacam LIPI, Batan, atau lainnya," ujar Sediono menjawab pertanyaan yang banyak beredar. Lembaga-lembaga itu bisa melakukan penelitian langsung, sedangkan DRN tidak. Dewan ini lebih berat kepada masalah policy. "Dan tidak akan menggantikan tugas lembaga yang sudah ada," kata Prof. Dr. Ir. Achmad Baiquni, ketua Kelompok II (Sumber Daya Alam & Energi) DRN. Selain kelompok yang diketuai Baiquni, DRN yang beranggotakan 64 orang ini didukung Kelompok I (Kebutuhan Dasar Manusia) yang diketuai Prof. Dr. Ir. Sayogyo, Kelompok III (Industrialisasi) yang diketuai Dr. R.B. Soehartono, Kelompok IV (Pertahanan & Keamanan) yang diketuai Brigjen TNI Hardijono, dan Kelompok V (Sosial, Ekonomi, Falsafah, Hukum) yang diketuai Prof. Dr. Soekadji Ranoemihardjo. Wakil ketua DRN ialah Prof. Dr. Doddy Tisnaamidjaja. Pada 1978 memang sudah ditetapkan matriks nasional yang mencakup kelima kelompok itu. "Dengan matriks ini kita dapat melihat dan mengecek apakah program-program ristek yang ada seimbang dan sesuai dengan sasaran pembangunan," kata B.J. Habibie di depan kursus reguler Lemhanas, 1980. Semua penelitian diharapkan berorientasi pada matriks ini. Setelah DRN, akan dibentuk Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). "Mungkin tahun depan," kata Sediono. AIPI itu akan terdiri dari sejumlah ilmuwan "yang betul-betul top, sangat terhormat, dan berprestasi". Proyeksi kebutuhan tenaga ilmiah dan peneliti Indonesia pada 1985 dan 2000 memang menuntut perhatian yang sungguh-sungguh. Pada 1985, kebutuhan di sektor pertanian 55.800, industri 44.700, energi dan mineral 11.600, perhubungan 1.500, dan pekerjaan umum 5.900. Pada 2000, sektor-sektor itu masing-masing membutuhkan tenaga ilmiah dan peneliti 288.900, 57.000, 30.900, 3.400, dan 11.600.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini