Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Sejarawan Nilai Permintaan Maaf Belanda soal Perbudakan Punya Maksud Tertentu

PM Belanda meminta maaf secara resmi atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan selama 250 tahun. Apa maknanya?

23 Desember 2022 | 19.22 WIB

Tentara Indonesia dengan berbagai senjata dan seragam berfoto bersama, di Sumatera Selatan, antara tahun 1946 dan 1948. Permintaan maaf yang disampaikan oleh PM Mark Rutte ini bahkan melebihi permintaan maaf Raja Willem-Alexander saat kunjungannya ke Jakarta pada 2020 lalu. The Netherlands Institute for Military History (NIMH)/collection Stoottroepen Museum/Handout via REUTERS
Perbesar
Tentara Indonesia dengan berbagai senjata dan seragam berfoto bersama, di Sumatera Selatan, antara tahun 1946 dan 1948. Permintaan maaf yang disampaikan oleh PM Mark Rutte ini bahkan melebihi permintaan maaf Raja Willem-Alexander saat kunjungannya ke Jakarta pada 2020 lalu. The Netherlands Institute for Military History (NIMH)/collection Stoottroepen Museum/Handout via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin, 19 Desember lalu meminta maaf secara resmi atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan selama 250 tahun. Permintaan maaf datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan Belanda terhadap koloni negara Eropa tersebut termasuk Indonesia, Suriname, dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menanggapi hal tersebut profesor di Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Saefur Rochmat mempertanyakan permintaan maaf Mark yang dinilai memiliki maksud tertentu. “Permintaan maaf PM Mark Rutte ini terkait dengan rencana kunjungan ke kepulauan Karibia. Berarti ada keinginan PM untuk memperbaiki hubungan dan kerja sama. Sejauh mana itu tulus?” katanya kepada Tempo pada Kamis, 23 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Saefur mengatakan banyak rakyat Belanda yang bahkan tidak setuju dengan permintaan maaf Mark Rutte. Musababnya, rakyat Belanda takut pada risiko yang tidak terduga seperti tuntutan kompensasi dan lain lain.

Awal Mula Perbudakan

Pada masa imperialisme kuno dilakukan oleh bangsa Eropa pada abad ke-15. Para ahli sepakat bahwa imperialisme kuno dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Tujuan dari imperialisme kuno ialah mencapai 3G, yaitu Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (penyebaran agama). 

Salah satu contoh dari gerakan imperialisme kuno adalah penjajahan oleh bangsa Portugis di Indonesia pada awal abad ke-16. Dampak yang dirasakan dengan adanya praktik imperialisme kuno di Indonesia adalah tersebarnya agama Katolik.

Saefur mengatakan bangsa Eropa yang melakukan penjajahan termasuk perbudakan merasa lebih unggul sebab memiliki persenjataan yang lebih maju. Mereka bisa memaksa orang dan melakukan monopoli perdagangan.

Berbeda dengan Spanyol dan Protugis, adanya perbudakan pada masa penjajahan Belanda lantaran Belanda sangat membutuhkan tenaga untuk mengembangkan tanaman perkebunan yang diperlukan di dunia. “Belanda mengubah pola perdagangan yang sudah dibangun pada masa kerajaan Hindu-Budha dan kerajaan Islam dengan kekerasan,” ujar Saefur.

Masalah perbudakan semakin menjadi perhatian dunia. Pada 7 Mei 1859 dibuat undang-undang tentang penghapusan perbudakan di seluruh Nederland India. Dengan undang-undang ini, secara resmi perbudakan dihapuskan di seluruh Hindia-Belanda sejak 1 Januari 1860. 

Fakta Sejarah Perbudakan yang Ditutupi

Fakta sejarah mengenai praktik perbudakan pada masa penjajahan tak diajarkan secara lengkap di sekolah. Hal itu, kata Saefur, terjadi lantaran materi ajar sejarah mengacu pada buku Sejarah Nasional Indonesia yang 6 jilid yang dipakai untuk tingkat SD hingga SMA. Materi yang diajarkan, menurut dia, mengulang dan tidak menceritakan secara lengkap berdasarkan logika sejarah.

“Siswa cenderung dipaksa menghafal fakta-fakta yang kering karena roh buku tersebut dicabut yakni berupa cerita yang didasarkan pada suatu kerangka teori," ujarnya.

Saefur mengungkapkan, seharusnya ada pembagian materi ajar di SD hingga SMA agar tidak terjadi pengulangan. “Sampaikan materi ajar di SMP dalam bentuk cerita utuh yang bermakna sehingga tidak perlu diulangi lagi di SMA. Saya lihat pengajaran sejarah hanya menyampaikan peristiwa tidak diceritakan dengan logika sejarahnya," ujarnya.

Sejarah perbudakan belum ditulis secara memadai pada materi ajar di sekolah. Menurut dia, hal tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah mengenai pengajaran sejarah berdasarkan pada kurikulum. Dia mengatakan semestinya penulisan sejarah perlu dilakukan bersama tim multidisiplin.

“Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap penulisan sejarah, termasuk sejarah perbudakan. Lalu dibuat strategi pengajaran dari tingkat SD hingga perguruan tinggi,” ujar Saefur.

ZAHRANI JATI HIDAYAH

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus