Gemuruh mesin jet beradu dengan gelombang panjang tepuk tangan ribuan orang di Bandar Udara Heathrow, Inggris, suatu petang dua pekan lalu. Cahaya ratusan kamera saku pun berkilatan, membidik peristiwa yang segera jadi langka. Kegaduhan serupa berulang tiga kali. Masing-masing berselang sekitar lima menit. Yang paling akhir terjadi saat pesawat Concorde ketiga dari New York menyentuh landasan, tepat pukul 16.05 waktu Heathrow. Sejarah sebuah tonggak penerbangan komersial pun ditutup.
British Airways dan Air France, dua maskapai raksasa pemilik Concorde, memutuskan mengandangkan semua pesawat supercepatnya. Padahal pesawat jet komersial itu masih mengantongi sertifikat terbang sampai tahun 2009. Alasannya, pengoperasian Concorde tak lagi menguntungkan.
Secara umum, setelah serangan 11 September 2001 di New York, bisnis penerbangan sipil memang kurang bergairah. Perang di Afganistan dan Irak memperparah kelesuan itu. Padahal, menurut para analis, 80 persen perjalanan dengan Concorde merupakan perjalanan bisnis. Tak mengherankan, pada bulan-bulan terakhir, dalam satu penerbangan, Concorde kerap hanya terisi 20 penumpang dari 100 kursi yang disediakan. Jumlah penumpang yang terus menukik ini sangat kontras dengan ongkos pemeliharan yang malah meroket.
Concorde memang teknologi biaya tinggi. Biaya operasionalnya tak kalah boros. Ongkos pembuatan per unitnya saja mencapai US$ 3,5 miliar. Itu pun belum cukup. Inggris masih harus merogoh dana sekitar US$ 25 juta untuk memodifikasi Concorde dan US$ 20 juta lagi untuk merombak kabinnya.
National Air and Space Museum Washington mencatat, untuk setiap jam terbang di udara, Concorde menghabiskan 14 jam perawatan di darat. Untuk setiap kursi yang diangkut menyeberangi Atlantik, Concorde harus mengangkut satu ton bahan bakar. Bahkan, jika pesawat hanya separuh terisi, perbandingannya pun naik: perlu dua ton bahan bakar untuk setiap kursi. Sebagai pembanding, dengan rute yang sama, Concorde menghabiskan bahan bakar dua kali lebih banyak dibanding Boeing 747. Padahal jumlah penumpangnya empat kali lebih sedikit. Biaya yang begitu mahal itu jatuhnya ke kocek penumpang juga. Harga tiket pu-lang-pergi London-New York mencapai US$ 13.500 (Rp 116 juta lebih pada kurs Rp 8.600 per dolar).
Dari sisi teknologi, Concorde memang sekelas lebih modern dibanding pesawat sipil komersial mana pun. Dari bentuknya saja Concorde sudah unik. "Elang besi" raksasa yang anggun itu punya hidung yang bisa menekuk, baik saat mendarat maupun saat tinggal landas. Saat mendarat, gerakan menekuk hidung ini membantu pilot melihat landasan.
Tarikan dahsyat empat mesin jet Olympus 593 begitu terasa saat tinggal landas. Mesin berdaya dorong 4 x 17,4 ton—seperempat kekuatan roket Ariane 1—membuat perasaan penumpang seperti terdorong ke belakang. Proses tinggal landas pun berlangsung sangat cepat. Dalam hitungan detik, pesawat berbobot 185 ton itu mencapai kecepatan lepas landasnya: 390 kilometer per jam, lebih cepat dari mobil balap Formula 1.
Ketinggian jelajah Concorde mencapai 18 kilometer. Ini jauh lebih tinggi ketimbang puncak jelajah Boeing 747, yang hanya 11 kilometer. Pada ketinggian ini, penerbangan Concorde lebih mulus karena turbulensi jarang terjadi. Pemandangan di luar jendela pun berbeda. Cekungan langit tampak biru tua, dengan hamparan awan putih jauh di bawahnya.
Pada ketinggian maksimal, penunjuk kecepatan digital Concorde perlahan bergerak, melewati kecepatan suara, Mach 1, menyentuh kecepatan maksimal, Mach 2,05—sekitar 2.100 kilometer per jam. Ini menyamai kecepatan peluru yang melesat dari pistolnya. Ini juga lebih cepat daripada Boeing 747, yang kecepatannya hanya sekitar 900 kilometer per jam.
Dengan kecepatan itu, London-New York, rute komersial reguler Concorde yang berjarak 6.000 kilometer, bisa ditempuh dalam waktu sekitar tiga setengah jam. Memperhitungkan perbedaan waktu, jika take off dari London pukul 09.00 pagi, Concorde sampai di New York pukul 06.30 pagi. Ada yang berseloroh, jika mau, penumpang dari Inggris bisa sarapan dua kali.
Saat mengudara, Concorde dipandu sistem autopilot otomatis. Dua sistem auto-pilot terintegrasi dengan sistem kendali pesawat. Kenyamanan terbang masih dibantu perangkat stabilisasi otomatis. Saat mendarat, Concorde memanfaatkan fasilitas landing yang juga otomatis.
Kecepatan supertinggi sejak awal memang mendatangkan tantangan aerodinamika tersendiri. Kinerja sayap, misalnya. Pada kecepatan tinggi, sayap harus sangat kukuh agar bisa tahan hantaman udara. Namun, pada kecepatan lebih rendah, misalnya saat take off atau landing, sayap yang kaku kurang menguntungkan. Agar aman bermanuver, sayap justru harus bisa mengangkat. Komprominya, sayap dirancang mirip model delta-shaped wing, sayap khas pesawat militer tahun 1950-an.
Dengan perangkat pengaman maksimal, Concorde dipercaya cukup aman. Sejak melayani penerbangan komersial pada 1976, tingkat kecelakaan Concorde relatif rendah. Satu-satunya tragedi besar adalah jatuhnya Concorde di Paris, Juli 2000. Penumpang dan awak Concorde berjumlah 114 tewas seketika.
Kecelakaan itu sempat membuat sertifikat layak terbang Concorde dicabut. Untung saja, para ahli dan pimpinan Air France dan British Airways mampu meyakinkan kembali dunia: terbang dengan Concorde cukup aman. Jaminan ini dipercaya setelah ada perbaikan sistem yang melibatkan pabrik pembangun Concorde asli, BAE System dan EADS Airbus, dan pembuat mesin Olympus, Rolls-Royce, dan Snecma.
Apakah pensiunnya Concorde jadi tanda akhir era pesawat komersial supersonik? Banyak jawaban optimistis sempat muncul. Tapi, jawaban pesimistis juga tak kalah banyak. Sejak dekade 1980, misalnya, bermunculan studi tentang penerus Concorde. Sejumlah kriteria generasi kedua jet penumpang supersonik pun tercipta.
Kriteria yang dibayangkan saat itu, misalnya, kecepatan jelajah antara Mach 2 dan Mach 2,2, daya angkut 200 sampai 220 penumpang, dan jangkauan jelajah 8.000-10.000 kilometer. Prototipe yang terbayang saat itu adalah pesawat berbobot take-off 220 ton metrik, bersayap delta ganda dengan rentangan sekitar 500 meter persegi. Dengan teknologi lebih maju, derajat kebisingan pesawat turun drastis. Biaya operasional tinggal sepertujuh biaya Concorde.
Sebelumnya, sempat juga muncul gagasan membuat pesawat hipersonik, berkecepatan Mach 5, lima kali kecepatan suara, sekitar 5.500 kilometer per jam. Gagasan yang lebih ambisius, National Space Plane AS membahas kemungkinan membuat pesawat hipersonik berkecepatan Mach 25, sekitar 28 ribu kilometer per jam. Tapi, rencana tinggal rencana. Sebagai negara industri terdepan, AS saja tak pernah merealisasi mimpinya.
Boeing Co. memang pernah merancang Sonic Cruiser, pesawat transonik yang kecepatannya mendekati supersonik, Mach 0,98. Namun, Boeing membatalkan rencana itu karena kurang mendapat sambutan maskapai penerbangan lainnya. Di Prancis juga pernah muncul program Avion Supersonique Transport Future (ASTF). Program ini merancang pesawat berpenumpang 300 orang, berkecepatan Mach 2,4, berketinggian jelajah sekitar 14 ribu kilometer. Namun, rancangan yang diharapkan melayani penerbangan lintas Pasifik ini pun tak pernah nyata.
Lomba adu cepat pesawat komersial pun mandek. Pengamat kedirgantaraan meramalkan, paling tidak sampai 2025 tidak akan ada generasi penerus Concorde. "Saya belum melihat penggantinya," kata David Learmont dari Flight International. Maskapai dunia kini memang lebih memilih pesawat super-efisien ketimbang supercepat. Konsorsium Eropa, Airbus, misalnya, memilih membuat pesawat superjumbo A380, sementara Boeing memilih jenis yang lebih kecil tapi lebih efisien, mirip Boeing 767 yang mereka miliki saat ini.
Di luar hitung-hitungan ekonomi, kehadiran Concorde lama mengundang pro-kontra. Di luar perancangnya, termasuk yang pro antara lain para selebriti yang menjadikan Concorde sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Di pihak kontra, warga sekitar bandara banyak yang menjadi penentang fanatik. Mereka mengaku tak tahan dengan suara dan getaran Concorde, baik saat mendarat maupun saat lepas landas. Di samping suara yang teramat bising, warga juga mengeluhkan getaran Concorde menyebabkan retakan pada dinding dan langit-langit rumah mereka.
Aktivis lingkungan jelas menjadi musuh bebuyutan Concorde. Tim Johnson, aktivis Aviation Environment Federation, misalnya, berkesimpulan bahwa kesulitan ekonomi bukan satu-satunya penyebab "terjungkalnya" Concorde. Bangkitnya gerakan pencinta lingkungan menambah panjang daftar musuh penerbangan supersonik itu. "Concorde terbang di atas ketinggian normal. Nitrogen oksida yang dibuang mesinnya merusak lapisan ozone. Penghentian operasinya pantas ada yang merayakan," ujar Johnson.
Ya, ada yang merayakan, ada juga yang kehilangan.
Jajang Jamaludin (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini