Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kala Umat Menggugat

Merasa diperlakukan sewenang-wenang, seorang umat menggugat pastornya sendiri. Preseden buruk?

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI mendapat tentangan, Irene Elisabeth Laurentia, 50 tahun, umat Gereja Santo Fransiskus Asisi, Sukasari, Bogor, tetap ingin menggugat pastornya. Untuk itu, hampir sebulan ini ia bolak-balik ke Pengadilan Negeri Bogor, Jawa Barat. Lawannya beperkara adalah Romo B. Sudarto, imam dari gereja yang sama.

Apa pasal? Alkisah, Irene adalah pengurus lembaga pengembangan sosial ekonomi yang bertugas mengumpulkan dana kematian dan kegiatan sosial lain di bawah payung gereja tersebut. Tapi, Januari silam, ia dipecat dari kepengurusan lembaga itu. Dan Irene pun memprotes. Tak ditanggapi, ia memilih menggugat sang Imam dengan ganti rugi uang yang lumayan besar, Rp 1,1 miliar. Joseph Budiyanto, pemimpin lembaga tersebut, ikut tergugat.

Perkara itu berawal pada Januari silam. Ditinggal mati suaminya sejak 10 tahun lalu, Irene memutuskan mengabdikan diri di Gereja Santo Fransiskus Asisi di Sukasari. Bertugas sebagai pengurus subseksi Kardiwilasa, yang khusus menangani sumbangan dana kematian, pada Januari lalu ia dipecat. Padahal, kata Irene, dia baru bisa diganti pada Oktober 2003. Sebenarnya pihak gereja sudah memberitahukan perihal pencopotannya. Namun justru pemberitahuan itulah yang dianggap Irene sebagai jebakan. "Saya merasa dijebak secara lisan," katanya.

Belum lagi urusan itu selesai, Joseph Budiyanto sudah mengangkat orang pengganti Irene. Tapi desakan agar ia segera menyerahkan jabatan tak ditanggapinya. Alasan Irene, penggantian itu tak sesuai dengan prosedur (buku petunjuk) yang berlaku. Menurut prosedur tersebut, seorang anggota baru boleh diganti setelah dewan pastoral paroki di gereja itu diganti dengan dewan pastoral yang baru. Nyatanya, dewan tadi tetap menjalankan tugas, sehingga posisi yang dipegangnya pun tetap bertahan, kata Irene.

Permasalahan makin rumit setelah dewan pastoral mengumumkan bahwa uang Rp 83 juta milik lembaga masih dipegang Irene. Bagi Irene, pengumuman itu merupakan tudingan penggelapan oleh dirinya. Padahal, katanya sambil menunjukkan bukti kepada TEMPO, "Demi Tuhan, uang itu masih ada di bank. Ini buktinya." Toh, pihak gereja tak menganggap semua ucapan Irene tadi benar. Menurut Agus Mudjiman, kuasa hukum Romo Sudarto, uang yang tersisa seharusnya bukan Rp 83 juta, melainkan Rp 143 juta.

Lebih jauh, Agus Mudjiman menyesalkan tindakan Irene yang melaporkan kasus itu ke pengadilan. Soalnya, pihak gereja tak ingin masalahnya sampai ke telinga orang di luar lingkungan gereja. "Kami sudah berusaha damai, tapi malah kasusnya dibawa ke pengadilan," katanya.

Dalam pembelaannya, Agus menjelaskan semua peraturan organisasi yang diatur dalam pedoman yang selalu direvisi oleh Keuskupan Bogor. Di sana disebutkan, pengangkatan dan pemberhentian seorang pengurus organisasi dalam gereja merupakan kewenangan dewan pastoral paroki. Jadi, kata Agus, apa yang dilakukan Romo Sudarto sudah sesuai dengan prosedur.

Tapi, menurut Irene, surat yang selama ini dilayangkan kepada dewan pastoral malah dijawab dengan hal-hal di luar materi perkara. Dalam memori gugatan disebutkan, surat itu berisi penekanan bahwa dewan pastoral paroki tidak mengacu pada hukum negara, melainkan hukum kanonik (hukum gereja) dan hukum moral. Irene juga dianggap sebagai penghujat Tuhan.

Hakim Djuarni, yang menyidangkan gugatan itu, ingin agar kasusnya tidak berlarut-larut. Dia mendesak kedua pihak agar berdamai. "Kalau persoalan ini tidak selesai, akan jadi preseden buruk di luar gereja," ujarnya. Irene mengakui gugatannya itu bukan untuk membuka masalah intern gereja ke publik. Cuma, institusi pastor sebagai pelayan Tuhan sebaiknya tidak sewenang-wenang terhadap umatnya sendiri. "Saya tak ingin ada kesewenang-wenangan," kata Irene.

Di luar negeri, gugatan terhadap lembaga pastoral pernah terjadi di Meksiko. Pertengahan Juli lalu, di negeri Latin itu sebuah keluarga menggugat pastor yang dianggap melontarkan doa-doa yang tak layak dalam sebuah penguburan massal. Di sini, meski materinya berbeda, inilah kasus pertama dan mudah-mudahan yang terakhir.

Juli Hantoro, Deffan Purnama (TNR Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus