Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Musim Gugur Pers?

Gara-gara menyiarkan spanduk demonstran, wartawan Rakyat Merdeka diganjar enam bulan penjara. Musim gugur pers telah tiba?

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang Cakra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tak luas terasa makin sesak Senin pekan silam. Puluhan pengunjung, sebagian besar awak harian Rakyat Merdeka, tak kuasa menahan kecewa ketika majelis hakim yang dipimpin Zoeber Djayadi memutuskan Supratman bersalah. Redaktur eksekutif koran kelompok Jawa Pos Group itu dihukum enam bulan dengan masa percobaan satu tahun. Supratman tak perlu masuk bui, kecuali dia melakukan kesalahan yang sama. Awal mula Supratman menjadi pesakitan di Pengadilan Jakarta Selatan adalah dimuatnya sejumlah berita di harian Rakyat Merdeka yang dianggap menghina Presiden Megawati Soekarnoputri. Kisahnya, pada awal Januari 2003 Jakarta dibanjiri lautan demonstran yang memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak. Koran yang sebelumnya sering mengusung nama Megawati tersebut saat itu malah memuat berita yang membuat panas kuping penguasa. Lihat saja judul-judul dalam kepala berita (headline) di halaman satu Rakyat Merdeka, seperti Mulut Mega Bau Solar (6/1), Mega Lintah Darat (8/1), Mega Lebih Ganas dari Sumanto (30/1), dan Mega Cuma Sekelas Bupati (4/2). Judul-judul itu dianggap sebagai penghinaan terhadap Presiden Megawati. Rakyat Merdeka sendiri mengambil judul-judul tersebut dari spanduk yang dibentangkan para demonstran di jalanan. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas penurunan berita di halaman satu, Supratman lalu diadili dan dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Arnold Angkow. Jaksa menilai berita yang disiarkan koran itu telah menghina presiden. Supratman dibidik dengan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penyiaran penghinaan terhadap presiden. Namun, majelis hakim rupanya tak setuju. Zoeber mengatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara langsung menghina presiden. Judul-judul yang dimuat di harian tersebut bukan dibuat oleh Rakyat Merdeka, melainkan hanya diambil dari spanduk. Kendati demikian, Supratman tetap divonis bersalah karena telah memberi informasi kepada masyarakat melalui Rakyat Merdeka, tanpa memperhatikan kultur budaya Indonesia. Alasan majelis hakim ini kontan dipertanyakan oleh Adnan Buyung Nasution, penasihat hukum Supratman. Buyung mengatakan bahwa hakim menunjukkan sikap kolot dengan masih melihat pada nilai kultural bangsa yang seharusnya diubah. "Kultur kita seharusnya dikembangkan supaya masyarakat memiliki sense of humor dalam menanggapi kritik atau komentar yang menggunakan metafora atau lelucon," ujar Buyung kepada pers usai persidangan. Jaksa dan Supratman sama-sama mengajukan banding. Arnold yakin bahwa Supratman memang terbukti menghina presiden. Supratman sendiri merasa keputusan hakim itu ibarat menghukum guru sejarah yang ingin meluruskan sejarah akibat pergantian rezim. "Apa memberi tahu yang belum tentu salah itu salah," ujar Supratman. Dengan putusan ini, berarti sudah dua wartawan Rakyat Merdeka yang dijatuhi hukuman akibat pemberitaannya. Sebelumnya, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, di pengadilan yang sama dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan. Karim kala itu dinyatakan terbukti telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung. Melihat satu per satu wartawan dijatuhi hukuman, Direktur Eksekutif Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers, Hinca Pandjaitan, menyatakan kegundahannya. Hinca menilai bahwa nasib yang menimpa wartawan ini tak ubahnya seperti tanda-tanda musim gugur pers. Apalagi wartawan yang dijatuhi hukuman semua dijerat melalui pasal karet yang ada dalam KUHP. Sementara itu, ada aturan yang lebih khusus, yaitu Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Dalam undang-undang tersebut, kebebasan pers dijamin dan bahkan orang yang menghalangi pekerjaan pers bisa dikenai hukuman pidana. Akibat lain putusan itu, kata Hinca, wartawan dipastikan bakal ketakutan dalam menulis berita. "Setidaknya buat Supratman," ujarnya. Apalagi pasal yang dibidikkan kepada Supratman sebenarnya adalah pekerjaan hakiki pers, yaitu menyebarkan satu informasi, yang sebenarnya diakui oleh hakim. Seorang anggota majelis hakim, Fakih Yuwono, mengakui bahwa posisi Supratman diakui sebagai wartawan yang bertugas menyampaikan informasi. "Karena fungsi pers berkewajiban memberi info kepada masyarakat, dan masyarakat berhak memperoleh informasi," ucapnya. Tapi palu hakim telah jatuh. Juli Hantoro, Nunuy Nurhayati (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus