PERANG dingin di dalam perusahaan asuransi PT Periscope akhirnya
mendidih "asapnya" mulai tampak keluar. Bekas presiden direktur
perusahaan itu Drs. Syarifuddin Harahap, yang juga anggota DPR
dari fraksi PPP, dilaporkan kepada jaksa agung oleh direksi yang
baru. Ia dituduh menggelapkan uang perusahaan meliputi lebih
dari Rp 200 juta. "Kasus itu sudah diketahui sejak tahun lalu,
tapi waktu itu masih dicari penyelesaian secara baik-baik,"
ujar kuasa direksi Periscope, R.O. Tambunan, yang membuat
pengaduan.
Selain kepada jaksa agung, Tambunan juga melaporkan perkara itu
pada kepala Kepolisian RI. Pengaduan ke jaksa agung, menurut
Tambunan, diperlukan karena Syarifuddin Harahap adalah anggota
DPR. "Untuk mengusutnya diperlukan izin presiden melalui jaksa
agung - yang akan mengusut adalah polri," ujar Tambunan.
Belum ada kabar mengenai izin itu, Syarifuddin malah membuat
pengaduan balik. Ketada Presiden Soeharto, dalam surat 8
Desember lalu, Syarifuddin menuduh keluarga bekas wakil presiden
Adam Malik merebut Periscope dengan licik: menggunakan tekanan
politik. Keluarga Adam Malik, yang disebut secara khusus, adalah
Nyonya Nelly beserta putra-putrinya, Budi Sita Malik, Imron
Malik, dan Nyonya Antarini Malik. "Sudah dirampok, saya
diperkosa pula," kata Syarifuddin dengan aksen Tapanuli-nya.
Syarifuddin merasa bahwa Periscope yang didirikannya pada 1969
itu, diambil alih keluarga Adam Malik setelah berkembang pesat.
Padahal, menurut Syarifuddin, keluarga bekas wakil presiden itu
tidak menyetor modal barang sepeser pun, walau tercantum sebagai
pemegang saham. Ia, katanya, semula tidak ingin ribut-ribut
meski dijatuhkan dalam kedudukannya sebagai presiden direktur
di perusahaan itu.
Sebab itu, katanya lagi, ia merasa terkejut ketika koran-koran
memberitakan bahwa ia dituduh menggelapkan sejumlah uang dan
dilaporkan kepada Jaksa Agung Ismail Saleh.
Akhir November lalu, direksi Periscope, yang dipimpin presiden
direktur yang baru, A. Fauzi Achmad didampingi R.O Tambunan
mengadukan serangkalan perbuatan yan dilakukan Syarifuddin
sewaktu memimpin perusahaan asuransi itu, sejak 1969 sampai
1981. Sekitar Juni dan Juli 1981, kata mereka, Syarifuddin
menarik cek dari rekening perusahaan sebanyak tujuh kali dengan
nilai Rp 137 juta. Uang yang dikeluarkan tanpa diketahui anggota
direksi yang lain itu, menurut pengaduan, disebutkan untuk
membayar suatu biaya kepada Parolamas. Namun, setelah diteliti,
ternyata Parolamas membantah menerima uang itu.
Sebelumnya, menurut pelapor lagi, Syarifuddin pernah membeli
sebuah perusahaan PT Sumber Sari Agung (SSA), seharga Rp 35
Juta, dengan uang perusahaan. Perusahaan itu kemudian dijual
lagi seharga Rp 200 juta. Namun, tercantum pada pembukuan
pengeluaran untuk pembelian perusahaan SSA itu diubah menjadi
piutang kepada beberapa orang direksi. Hasil penjualan itu kata
pelapor, dibagi-bagikan di antara direksi waktu itu.
Selain itu, Syarifuddin juga dituduh melakukan manipulasi:
ketika mengontrak sebuah wisma untuk perusahaan, membuat
pembayaran atas utang-utang fiktif. "Datanya jelas dan kongkret
sebagai tindak pidana," ujar Tambunan. Sebab itu, pengacara yang
juga bekas anggota DPR itu menyatakan kekecewaannya bila
Syarifuddin menganggap perkara itu sebagai persoalan "politik".
"Hal itu hanya untuk mengalihkan perhatian saja dan tidak
relevan," kata Tambunan lagi.
Menurut Tambunan, yang bertindak sebagai justru bicara keluarga
Adam Malik, perusahaan asuransi yang didirikan Syarifuddin
sebenarnya dimodali Adam Malik, sebanyak Rp 10 juta. Modal itu,
katanya, diberikan Bung Adam ketika Syarifuddin masih hidup
susah - meminta dicarikan jalan untuk hidup. "Dengan modal itu,
Syarifuddin bisa berkembang, sehingga perusahaannya termasuk
dalam lima perusahaan asuransi terbesar di Indonesia," ujar
Tambunan.
Keterangan itu dibantah Syarifuddin. Menurut bekas tokoh HMI
itu, Adam Malik memang pernah memberikan uang Rp 5 juta melalui
Budi Sita Malik, tapi tidak pernah sampai ke perusahaan.
Sementara itu, sebuah mobil buatan Rusia yang pernah diserahkan
diminta kembali oleh Nyonya Nelly dalam bentuk Mercedes Benz
200. Sampai ia dicopot - dengan surat Presiden Komisaris Imron
Malik, 2 Februari 1982 - Syarifuddin yakin, keluarga Adam Malik
tidak pernah menyetorkan uang walau dalam akta pendirian
perusahaan disebutkan bahwa para pemegang saham telah menyetor
Rp 200 juta.
Tuduh-menuduh itu akan diselesaikan pengadilan. Tapi, jalan ke
pengadilan, rupanya, tidak begitu mudah. Menurut hukum acara,
KUHAP, tuduhan pidana penggelapan harus ditangani polisi. Sebab
itu, menurut surat jaksa agung ke kapolri, 1 Desember lalu,
perkara itu dilimpahkan ke polisi sambil menunggu izin presiden.
Namun, persoalan akan bertambah rumit, dengan pengaduan
Syarifuddin. Selain mengadu soal kepengurusan Periscope,
Syarifuddin juga menuduh Imron Malik "menilap" uang pesangonnya
sebanyak Rp 10 juta dari yang seharusnya, Rp 40 juta, ketlka ia
diberhentlkan dari perusahaan asuransi PT Yasudascope - sebuah
perusahaan lain yang separuh sahamnya milik Periscope.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini