Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian manusia mulai khawatir terkait eksistensinya akan tergantikan oleh artificial intelligence (AI). Padahal, AI memiliki pemikiran yang tidak lebih tinggi dari manusia, seperti penjelasan dari Dosen Filsafat Teknologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rangga Kala Mahaswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah pengembangan sistem komputer yang bertugas hanya membantu tugas terkait kecerdasan manusia. AI dalam perkembangannya hanya membantu manusia karena teknologi masih memiliki keterbatasan. Meskipun memiliki keterbatasan, tetapi AI sudah berperan besar dalam kehidupan sehari-hari manusia, seperti membersihkan ruangan, mengerjakan tugas sekolah, atau membuat keputusan.
Selama perkembangannya, AI dapat dilihat dari dua sisi, yaitu positif dan negatif. AI dapat menawarkan keefektifan dan memproses data dengan cepat serta akurat. Selain itu, AI dapat mempelajari suatu hal yang terkadang manusia abai, seperti memeriksa kesalahan mengetik. AI juga dapat melihat risiko ketika berkendara sehingga dapat menghindari kecelakaan di jalan raya. Di sisi lain, AI dapat berkembang ke arah negatif karena disalahgunakan oleh manusia. Namun, sampai saat ini, AI mengalami perkembangan yang lebih besar ke arah positif.
“Sampai saat ini, AI masih berkembang ke arah positif, terlepas dari hal negatifnya,” kata Rangga kepada Rachel Farahdiba R dari Tempo.co pada 19 September 2023.
Dari perkembangan AI yang lebih mengarah ke hal positif tersebut, manusia justru cemas terkait eksistensinya akan tergantikan. Namun, Rangga sangat optimistis bahwa manusia tidak tergantikan oleh AI.
“AI hanya membantu manusia dalam mencari ide-ide dasar. Manusia seharusnya menunjukkan sesuatu hal yang baru dari dirinya sehingga bisa mengarahkan dan mengkritisi cara kerja AI,” katanya.
Sampai saat ini, eksistensi manusia tidak akan tergantikan oleh AI. Sebaliknya, eksistensi manusia akan dipertanyakan ulang karena hadirnya AI. Manusia harus merumuskan kemampuan, kapabilitas, pengawasan, dan etika dalam bekerja bersama AI.
“Jangan sampai AI menjadi alat untuk mempertahankan status quo yang mengarah ke arah buruk, seperti melahirkan ruang publik tidak demokratis,” ujar Rangga.
Manusia memiliki pemikiran yang lebih tinggi dari AI. Sebab, manusia masih bertanggung jawab atas cara kerja AI. Akibatnya, eksistensi manusia masih dipertaruhkan untuk berkontribusi dalam segala ranah, termasuk lapangan kerja. AI tidak akan masuk ke dalam semua pekerjaan menggantikan manusia. Selain itu, terdapat pula beberapa pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh AI, seperti seorang seniman, desainer, dan tenaga pendidik.
“Semua pekerjaan tidak akan didominasi AI. Manusia harus memanfaatkan AI dengan baik sehingga sistem kerja menjadi lebih adil,” kata dia.
Lebih lanjut, Rangga juga menyebutkan beberapa cara agar manusia dapat hidup berdampingan dengan AI di masa depan dengan baik. Manusia harus melihat risiko sehingga dapat mengetahui apa langkah selanjutnya untuk menangani sebuah dampak jangka panjang. Manusia juga harus meningkatkan kreativitas dalam menciptakan suatu hal.
Selain itu, cara terpenting dalam menghadapi artificial intelligence (AI) adalah pendidikan masa depan sehingga dapat mengatasi percepatan ke depan. Alih-alih menggaungkan revolusi industri 5.0, tetapi apakah masyarakat Indonesia dapat menyampaikan hal tersebut dalam bentuk konkrit sesuai etika. Dengan demikian, manusia harus beradaptasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk hidup bergandengan dengan AI.
Pilihan Editor: Rektor IPB Klaim Penguasaan AI sampai IOT, Jokowi Minta Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini