PESAWAT telepon berdering. Bill Brisko bergegas ke meja kerjanya, dan mcnyambar gagang pesawat itu dengan tangan kanan. Sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi, tangan kiri Brisko meraih sebuah pesawat "televisi" kecil, yang layarna hana berukuran sckitar 6 x 8 cm. Lalu dia membuka sebuah katup di sebelah layar TV itu. Rupanya, ada sebuah kamera kecil di balik katup itu. Kemudian kamera diatur posisinya hingga berjarak sekitar setengah meter dari wajahnya. Sebuah tombol di bawah layar ditekan, menyusul sebuah tombol yang lain. Selama beberapa detik Brisko tcrdiam, kedua matanya mcnatap taJam ke arah layar. Lalu, tuing . . ., terdengar bunyi dari pesawat TV itu. Lantas sebuah gambar laki-laki 60-an tahun muncul di layar. "Apa kabar, Ayah," sapa Brisko mendahului si lawan bicara. Maka, selama beberapa menit dua laki-laki yang terpisah ratusan kilometer itu mengobrol ramai seperti layaknya berbicara dengan tatap muka, kendatipun gambar di layar TV itu tak bergerak. Hanya setiap 5,5 dctik layar itu menyajikan gambar baru. Begitulah, Brisko, desainer komputer Mitsubishi, mendemonstrasikan produk baru perusahaannya. Pesawat telepon yang dilengkapi dengan gambar, seperti yang digunakan Brisko dan ayahnya itu, belakangan tengah menyerbu pasaran Jepang dan Amerika. Video phone, nama alat itu, kini tak lagi menjadi benda eksklusif. Seperangkat video phone buatan Mitsubishi, yang diberi nama VisiTel, telah tersedia di pasaran dengan harga sekitar Rp 640 ribu. Alat elektronik ini pun bisa dihubungkan dengan pesawat telepon biasa. Generasi pertama video phone sebetulnya telah meluncur ke pasaran beberapa tahun lalu. Tapi tak semua pelanggan telepon bisa menikmati telepon bergambar buatan AT&T, perusahaan telepon dan telegraf Amerika itu. Selain harganya mahal, telepon bergambar generasi pertama itu hanya bisa dioperasikan dalam sistem saluran telepon khusus, yang memiliki rentangan frekuensi gelombang lebar. Sedangkan VisiTel bisa dilayani oleh saluran telepon biasa, yang memiliki kemampuan mengalirkan gelombang pada rentangan frekuensi 3,5 kilohertz. Proses pengembangan telepon bergambar itu ternyata makan waktu lebih dari 10 tahun. Pada mulanya, kegiatan riset itu merupakan bagian proyek riset Atari, perusahaan komputer Amerika. "Kami memulainya dengan membuat program dan perangkat keras untuk video games dan komputer," tutur Brisko, ahli Atari yang kemudian hijrah ke Mitsubishi itu. Riset Atari itu pun bergerak makin jauh, yakni mengirimkan data komputer melalui saluran telepon. Pada proses pengiriman itu diperlukan modem, yaitu alat untuk mentransmisikan sinyal digital melalui saluran telepon. Sampai tahap inl, hasil riset dijual ke Mitsubishi. Oleh perusahaan raksasa Jepang itu, sistem modem tersebut dikembangkan lebih jauh hingga memungkinkan pengiriman gambar melalul saluran telepon. Proses pengiriman suara dan gambar tentu berlainan. Gambar diperoleh melalui lensa dalam bentuk cahaya. Dalam VisiTel, gelombang cahaya itu diubah menjadi sinyal digital. Sinyal-sinyal itu dihimpun secara sistematis dalam unit DRAM (Dynamic Random-Access Memory). Secara berseri, DRAM mengirim sinyal itu ke modulator yang ada pada bagian lain dalam VisiTel. Setelah diubah menjadi gelombang suara, modulator mengirim gelombang suara itu ke seberang. Gelombang suara yang membawa pesan visual itu akhirnya masuk ke unit konverter pada VisiTel penerima. Di situ gelombang suara diubah memjadi sinyal digital, dan diteruskan ke unit DRAM. Pada bagian ini, sinyal dihimpun, lalu disajikan pada layar. Proses pengiriman satu gambar ini makan waktu 5,5 detik. Memang, citra yang disajikan VisiTel baru ini tak seindah aslinya: hanya gambar bisu dan hitam putih. Saluran telepon memang tak mampu mengalirkan informasi dalam jumlah besar. Dengan rentangan frekuensi 3,5 kilohertz, gelombang yang bisa dirambatkan lewat saluran telepon hanya memuat 3.500 buah informasi per detik. Padahal, untuk memperoleh gambar dan suara seperti pada pesawat TV, diperlukan aliran informasi sebanyak 4,5 juta buah per detik. Uniknya, dengan sebuah pita kaset standar, suara dan gambar bisa direkam sekaligus. Misalnya, ketika menerima telepon dari seorang yang dlanggap penung, slapkan sebuah tape. Setelah dihubungkan dengan VisiTel, panel perekam ditekan. Usai pembicaraan, tape diputar ulang, maka gambar lawan bicara bisa dilihat kembali. Bisa juga VisiTel dikombinasikan dengan ansering machine, alat untuk menyampaikan pesan ketika pemilik telepon tak ada di tempat. Jika rekaman telepon yang masuk diputar ulang, maka wajah-wajah penelepon akan tersaji pada layar. Pita kaset itu bisa menyimpan potret lawan bicara, karena gambar itu dicuri ketika masih berwujud gelombang suara, sebelum masuk modulator. Penggunaan VisiTel di Jepang tak dikenai rekening ekstra. "Rekeningnya sama dengan telepon biasa," kata Mike Takei, manajer Corporate Planning NTT (Nippon TeleRraph Telephone), Telekomnya Jepang. Alasannya, baik VisiTel maupun telepon biasa menggunakan saluran yang sama, dengan pelayanan yang sama. VisiTel tak menambah kerepotan petugas NTT. Bahkan pihak NTT menyambut gembira munculnya telepon bergambar itu. "Karena kami berharap orang akan lebih sering menelepon dan ngobrol lebih panjang," tambah Takei. Munculnya telepon bergambar itu juga membuka peluang bermacam kegiatan baru. Perusahaan real estate bisa menawarkan rumah-rumah barunya melalui telepon. Dan dua orang tunarungu bisa saling menyapa lewat telepon dengan bahasa isyarat. Di pasaran, VisiTel kini bersaing dengan Teleface, yang diproduksi Sony. Keduanya hanya berbeda dalam pengoperasiannya. Dalam waktu dekat ini, diperkirakan Fujitsu, Hitachi, Matsushita, Sanyo, Sharp, dan AT&T bakal menerjunkan produk serupa. Telepon bergambar memang bisa membuat obrolan jarak jauh lebih bersahabat, hangat, dan terasa dekat. Kata Daisy Ottmann, juru bicara AT&T, "Sebuah wajah bisa memberikan sejuta makna."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini