MASA beberapa dasawarsa setelah Perang Dunia II merupakan zaman keemasan plastik. Untuk sementara ini, plastik - dalam arti luas - memang diperkirakan masih dapat bertahan. Tetapi saingannya, yang tidak kurang unggul, sudah mulai muncul. Yaitu silikon. Plastik diperoleh dari hidrokarbon, yakni minyak dan gas bumi. Dengan meningkatnya harga minyak, awal 1970-an, para ilmuwan berusaha mencari bahan pengganti. Perhatian ditujukan pada bumi sendiri, misalnya lempung, atau pasir. Masalahnya, bahan yang terbuat dari pasir atau lempung selalu lebih rapuh. Bagaimana membuatnya lebih liat dan kenyal seperti polymer, yang tcrbuat dari bahan karbon, misalnya polythene? Dari Laboratorium ICI di Runcorn, muncullah Dr. Dennis Balard yang menganggap bahwa kunci persoalan terletak pada struktur polythene itu. Jawabannya terletak pada usaha menemukan silikat alami yang mempunyai struktur seperti polythene. Dengan mengebom polythene dengan neutron, terungkap bahwa polythene terdiri dari lapisan-lapisan rantai yang terlipat. Karena tak disertai disiplin molekuler, polythene tidak memiliki kelenturan yang kita kenal sekarang. Lapisan yang teratur dapat beralih tempat dan berada di atas lapisan yang tidak teratur. Ternyata, banyak macam lempung memiliki struktur demikian, terutama kelompok besar yang dikenal dengan nama phyllosilicate. Dr. Balard memilih salah satu di antaranya, yakni vernikulit (verniculite), yang secara komersial banyak terdapat di Afrika Selatan. Lapisan-lapisan dalam vernikulit terdiri dari gumpalan silikat yang terisi oksida magnesium. Mereka terikat dengan kuat secara ionik. Permukaan lapisan bermuatan negatif, tetapi seakan-akan direkat oleh ion-ion magnesium positif. Jadi, tersusun seperti kartu. Memberikan kelenturan (fleksibilitas) pada vernikulit ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Langkah pertama ialah melepaskan lapisan-lapisannya, dengan menukarkan ion magnesium dengan ion natrium. Sesudah itu, menukarkan lagi ion natrium dengan amino organik. Ini memberi kesempatan kepada air untuk menyusup di antara lapisan silikat tadi, dan mengembangkan vernikulit menjadi gel dengan dasar air. Langkah berikutnya adalah memasukkannya ke dalam mesin koloidal, untuk menghasilkan semacam "sup" dari lempeng-lempeng tipis tidak lebih dari 20 mikron (1 mikron = 0,001 mm). Lempeng-lempeng ini sangat fleksibel, sehingga dapat melekat pada setiap serat yang dicelupkan ke dalam "sup" tadi. Film vernikulit yang dihasilkan secara ini tembus cahaya, dan kelihatan serta terasa seperti polythene, tetapi jauh lebih kuat. Tambahan pula, barang yang dilapisi film vernikulit tahan api. Sebabnya, panas diantarkan ke luar melalui lapisan-lapisan penahan tujuh kali lebih cepat. Karena vernikulit terdiri dari partikel dengan luas permukaan tinggi, ia tidak pecah menjadi jarum-Jarum seperti asbes. M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini