Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panen kopi tahun ini terasa kurang semarak bagi Sumiyati. Sudah tiga jam ia menyuÂsuri kebun kopi di Desa Semarang Jaya, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Lampung Barat, Sabtu pekan lalu, tapi keranjang di punggungnya tak kunjung penuh terisi buah berwarna merah itu.
"Buahnya jarang-jarang," kata Sumiyati dengan napas sedikit tersengal. Buruh pemetik kopi berusia 38 tahun ini sedang memanen kopi robusta di kebun Kirno. Bersama tiga buruh perempuan lain, Sumiyati menjelajahi dua hektare lahan milik tetangga mereka di lereng bukit yang curam itu.
Sebagai pemilik kebun, Kirno lebih galau lagi. Pria 45 tahun ini mengaku panen kopinya hanya sepersepuluh dari tahun lalu. Hasil ini menjadi pukulan telak bagi Kirno di sepanjang 20 tahun kariernya sebagai petani kopi. Tahun lalu ia bisa memanen tiga ton buah kopi kering per hektare. Semuanya siap dijual. "Kali ini paling banyak empat kuintal," ujarnya.
Masa panen yang semestinya empat bulan pun hanya berjalan separuhnya. Musim petik yang biasanya semarak kini sunyi. Buruh-buruh petik kopi seperti SumiÂyati mendadak sepi order. Pemilik kebun lain memilih memetik sendiri lantaran jumlah buah kopi tak seberapa.
Nasib serupa dialami Zaini, 46 tahun, petani kopi arabika di Desa Meurah Meuge, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Lima belas tahun lalu, ia dan para petani kopi lain rata-rata mampu memanen 1,2-1,5 ton biji kopi per hektare. "Sekarang rata-rata petani hanya mendapat 500-700 kilogram," katanya.
Pagi itu, Sabtu pekan lalu, Zaini mengecek jejeran pohon kopi miliknya yang ditanam di perbukitan pada ketinggian 1.400-1.700 meter dari permukaan laut. Sorot matanya tertuju pada setiap tanaman yang dilaluinya. Ia mengamati pucuk pohon yang tak lagi rimbun, menyisakan beberapa helai daun dengan ranting yang mengering.
Sesekali ia berhenti, lantas mengutip buah kopi merah yang masih tersisa di ranting. Dengan tatapan serius, ia memecahkan buah kopi itu dan memperhatikan secara teliti bijinya. "Agak kecut," ucapnya setelah mencicipi buah kopi yang dipegangnya.
Hasil panen yang merosot membuat Zaini harus lebih sering memeriksa kondisi kebunnya. Ia mengatakan satu dasawarsa terakhir tanaman kopi masyarakat rawan terserang penyakit yang dipicu oleh hama penggerek batang dan biji. Hal ini muncul seiring dengan polah musim dan suhu yang tak lagi bersahabat. Kini suhu udara berkisar 25-27 derajat Celsius, naik nyaris 7 derajat dibanding sebelumnya.
Dulu musim kemarau rutin tiba setiap bulan Juni. Musim hujan jatuh pada Agustus. "Tapi kini tidak jelas lagi kapan hujan dan kapan kemarau," kata bapak tiga anak pemilik tiga kebun kopi ini ketika Tempo mengunjunginya.
Menurut Kirno, cuaca yang labil memicu turunnya hasil panen kopi. Curah hujan tinggi disertai angin kencang membuat bunga kopi rontok dan membusuk. Namun, ketika biji kopi memasuki mata ketam—tahap mengisi buah—kemarau datang, sehingga buah pun mengering. "Buah kopi yang kami panen saat ini merupakan hasil seleksi alam," ujarnya.
Di Aceh, perkebunan kopi arabika dipengaruhi suhu udara yang makin panas. Tovan Marhennata, peneliti dari Conservation International Indonesia, mengatakan varietas kopi paling unggul ini dulu biasa ditanam di ketinggian 1.000-1.600 meter di atas permukaan laut. Sekarang para petani harus menjangkau lokasi yang lebih tinggi agar tanaman kopi mereka tetap terpapar udara sejuk.
Zaini dan Kirno rupanya tak sendirian. Para pakar iklim dunia yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan efek perubahan iklim perlahan menggerus perkebunan kopi di semua negara. Wilayah yang cocok untuk produksi kopi akan menyempit pada 2050. "Luas perkebunan kopi terus menurun akibat kenaikan suhu," tulis IPCC seperti dikutip Guardian.
Ya, bumi memang makin gerah. Laporan IPCC yang diterbitkan September tahun lalu memperkirakan suhu bumi akan memanas 2,6-4,8 derajat Celsius pada akhir abad ini. Skenario itu bakal terjadi jika negara-negara tidak mengupayakan pemotongan emisi gas rumah kaca. Ini berbahaya karena peningkatan suhu 2-2,5 derajat saja mampu mengancam keberlanjutan produksi kopi global.
"Perubahan iklim adalah ancaman paling serius bagi keberlanjutan rantai paÂsokan kopi dunia," kata Mauricio Galindo, Kepala Operasi Organisasi Kopi Internasional (ICO), seperti dikutip CNN, 19 April lalu.
IPCC memperkirakan produksi kopi global merosot 34 persen pada 2020. Keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kopi anjlok drastis dari US$ 200 per hekÂtare menjadi kurang dari sepersepuluhnya. Selain itu, nasib 25 juta penduduk yang menggantungkan hidup pada industri kopi di seluruh dunia berada di ujung tanduk.
Bagi Brasil, negara penghasil kopi terbesar di dunia, kenaikan suhu tiga derajat saja bisa berakibat fatal. Kondisi itu akan memangkas dua pertiga wilayah yang cocok untuk produksi kopi, terutama di Minas Gerais dan São Paulo, dua area utama penghasil kopi di sana. Bahkan perkebunan kopi di beberapa daerah lain terancam lenyap.
Hasil penelitian Ramiro Ruiz Cardenas dari Federal University of Minas Gerais menguatkan laporan IPCC. Data dari 68 stasiun meteorologi dan 264 alat pengukur hujan menunjukkan bahwa iklim di Minas Gerais berubah. Hampir semua wilayah negara bagian di tenggara Brasil itu mengalami pemanasan signifikan selama 1960-2011. "Suhu hangat ekstrem meningkat dan suhu dingin ekstrem menurun," tulis Cardenas dalam laporannya.
Tren anomali iklim ini merisaukan para petani kopi di Minas Gerais. "Menghangatnya suhu memicu penyebaran penyakit karat daun yang merusak tanaman kopi," demikian hasil riset tim ilmuwan dari United Nations University. Kekhawatiran mereka cukup beralasan karena 25 persen dari total produksi kopi Brasil berasal dari kawasan ini. Selain melanda Brasil, kekeringan melanda trio produsen kopi global: Vietnam, Kolombia, dan Ethiopia. Akibatnya, harga biji kopi arabika di pasar dunia kini telah merangkak naik sebesar US$ 2 per pon. "Itu hampir dua kali lipat harga tahun lalu," tulis tim ilmuwan.
Pujiyanto, Kepala Balai Penelitian Kopi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, mengatakan gejala perubahan iklim ditandai oleh fenomena El Nino dan La Nina. Perubahan suhu muka laut di Samudra Pasifik ini memicu perubahan pola hujan menjadi makin kering atau makin basah. Pengaruhnya terhadap produksi kopi bisa berlangsung hingga dua tahun sesudahnya.
Di Indonesia, El Nino hanya mempengaruhi produksi kopi di Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara Timur. Sebab, daerah-daerah itu memiliki curah hujan tipe sedang sampai kering, dalam setahun mengalami empat-tujuh bulan kering. "El Nino mampu menurunkan produksi hingga 30 persen," kata Pujiyanto. Adapun di Jawa Barat dan Sumatera dampaknya tidak terlalu terasa.
Menurut Pujiyanto, anomali cuaca sebenarnya terjadi secara siklis. Hanya, kemunculannya memang semakin sering. Kekeringan panjang pada 1980-an hanya dijumpai sekali. Lalu meningkat dua kali pada 1990-an. Sejak milenium, kekeringan mampir saban tiga tahun. "Ini mungkin memang pengaruh global," ucapnya.
Ya, gerahnya bumi cukup membikin repot para petani kopi. Setidaknya itu yang dialami Zaini. Labilnya cuaca menyebabkan penyerbukan biji kopi tidak maksimal. Tanaman kopi berbunga dan berbuah ketika musim hujan. Namun, saat pematangan biji sedang berlangsung, kemarau tiba-tiba datang. Akibatnya, "Banyak biji yang kecut sehingga produksi kopi menurun," katanya.
Toh, Pujiyanto tidak setuju terhadap anggapan bahwa perubahan iklim menjadi aktor tunggal penyebab anjloknya produksi kopi. Selain anomali cuaca, degradasi lahan berperan penting. Erosi mengakibatkan kualitas tanah merosot dan menjadi kering. Sayangnya, faktor yang dipicu oleh aktivitas manusia ini tidak hanya menimpa Lampung dan Aceh. "Tapi hampir semua sentra kopi di Indonesia," ujarnya.
Mahardika Satria Hadi, Nurochman Arrazie (Lampung), Imran M.A. (Aceh Tengah)
Kopi dan Perubahan Iklim
Kopi arabika
Kopi robusta
Dampak perubahan iklim
Berpindah ketinggian
ICO, Guardian, FAO, Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo