Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Kata majemuk membabi-buta diungkapkan sebagai perilaku kalap. Lalu, kalau binatang ini tak buta, apakah ia tak akan mengamuk dengan sengit? Mungkin kita tak perlu mengusik asal-usul kata sejauh itu. Hanya, kita mafhum bahwa binatang acap digunakan sebagai bahasa kiasan untuk menggambarkan perilaku manusia, buruk atau baik. Menariknya, meskipun kata tersebut juga dijumpai dalam Kamus Dewan Malaysia, warga jiran lebih memilih kata membuta-tuli, yang sama sekali tak menyebut binatang tertentu, meskipun maknanya sama dengan membabi-buta.
Menariknya, terkait dengan membabi-buta dan membuta-tuli, mengapa warga Malaysia jarang menggunakan kata yang pertama dalam percakapan sehari-hari? Ini bisa dikaitkan dengan keengganan orang Melayu menyebut babi, yang tidak halal untuk dimakan sehingga tak enak diungkapkan. Namun sebagian orang melihat perilaku ini sebagai penghormatan orang Melayu kepada dua etnis besar lain, Tionghoa dan India, yang mengkonsumsi hewan tersebut. Jadi, meskipun berbahasa itu bersifat suka-suka, dalam praktek komunikasi, penutur menjaga perasaan mitra agar percakapan mendatangkan keakraban, bukan ketidaknyamanan.
Kuda, yang pada asalnya merujuk pada binatang, juga digunakan untuk kiasan perilaku sewenang-wenang, seperti majikan memperkuda pembantunya. Karena itu, kata kuda tunggangan tidak hanya berarti hewan yang dinaiki, tapi juga orang yang diperlakukan seperti budak. Lalu mengapa kata kerbau, yang juga dimanfaatkan manusia untuk bekerja seperti kuda, tak mengandaikan makna memperkuda sehingga kata kerja memperkerbau tak mengandaikan makna perlakuan tak elok? Malah kata kerbau lebih kental dengan penggunaan peribahasa seperti kerbau dicocok hidung, yang berarti orang yang tidak mempunyai pendirian. Sedangkan sapi perahan acap digunakan untuk obyek "pemerasan", padahal ada banyak hewan lain, seperti kambing, yang juga bisa diperah.
Bagaimanapun, Indonesia-Malaysia, yang mempunyai rasa bahasa serumpun, mengalami kesulitan dalam menyerap kiasan binatang tertentu dalam bahasa Inggris. Kata watchdog yang acap dijadikan analogi untuk pengawasan tidak diterjemahkan dengan anjing pengawas. Dalam ranah kebudayaan Nusantara, binatang ini lebih menonjol dalam sumpah-serapah sebagai wujud kemarahan. Tak ayal, Pak Sakerah, pahlawan Madura, menyebut orang Belanda dengan pate' cèllèng (anjing hitam) untuk meluapkan amarahnya. Bayangkan, kita menyebut lembaga swadaya masyarakat sebagai anjing pengawas! Tak ayal, kebanyakan wartawan sering menyebut watchdog tanpa menerakan arti harfiah dalam laporannya.
Tentu kata adu domba sama-sama digunakan untuk menunjukkan perilaku seseorang yang suka melihat orang lain berselisih dengan tipu dayanya. Menariknya, kata domba jarang diucapkan oleh kedua warga dalam keseharian. Binatang yang sering dikorbankan pada Idul Adha ini lebih dikenal dengan kambing. Selain itu, orang ramai jarang menyebut sate domba. Hampir-hampir istilah adu domba telah paten untuk menunjukkan sifat culas, sehingga kita tak menggunakan adu kerbau meskipun tradisi ini dirawat warga Minangkabau hingga kini. Mengapa adu domba mengandaikan makna denotatif dan konotatif, sementara adu kerbau tetap mengandaikan makna yang pertama? Jawaban paling sederhana adalah penentuan makna kata bersifat suka-suka (arbitrer) dan kebiasaan.
Tapi mengapa orang ramai di sini acap mengatakan "dasar unta!" kepada orang Arab yang berperilaku menjengkelkan? Jelas, kekesalan ini berasal dari pandangan umum bahwa binatang yang berleher panjang itu identik dengan tanah Arab, meskipun hewan bernama Latin Camellia sinensis ini juga ditemukan di Afrika Selatan. Padahal hewan berpunuk ini digunakan dalam peribahasa unta serah diri yang bermakna baik dan lemah, yaitu orang yang lurus dan bodoh yang menjadi korban dari orang-orang cerdik, orang yang sangat menuruti perintah, dan orang yang mengaku salah serta bertobat (Kamus Besar Bahasa Melayu, 2002: 2150). Sementara itu, orang Arab akan menyebut anjing (kalb) untuk menunjukkan kekesalannya kepada orang lain.
Lain halnya dengan cacing kepanasan yang merupakan ungkapan untuk menunjukkan orang yang selalu gelisah dan tak tenang. Nyatanya cacing akan selalu bergerak apabila terpapar oleh sinar matahari atau panas api. Sebenarnya binatang-binatang lain akan melakukan hal serupa apabila diterjang hawa panas. Pemilihan cacing tentu terkait dengan fakta biologis bahwa binatang melata ini berada di dalam tanah atau tubuh yang basah, sehingga hewan ini akan memberontak jika terdedah pada keadaan kering. Lalu mengapa ikan yang mempunyai dunia yang sama dan menggelepar apabila keluar dari habitatnya tak mendapatkan kiasan serupa? Ikan kepanasan, misalnya? Lagi-lagi kata dan makna itu tak lebih dari kesepakatan pemakainya. Betapa manusia sewenang-wenang mem-perlakukan hewan yang tak pernah mengesahkan apa yang dibayangkan oleh manusia. Bukankah begitu?
*) Dosen filsafat dan etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo