Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seputih Cinta Melati
Judul: Seputih Cinta Melati
Sutradara: Ari Sihasale
Skenario: Armantono
Pemain: Naomi Ivo, Fatih Unru, Chicco Jerikho, Asrul Dahlan, Gery Puraatmadja, Sabai Morscheck, Yayu Unru
Produksi: Alenia Pictures
Durasi: 107 Menit
Suatu hari pada bulan Ramadan, dua narapidana kasus penculikan dan perampokan, Ivan (Chicco Jerikho) dan Erik (Asrul Dahlan), lari dari sebuah penjara di Jawa Barat. Mereka bersembunyi di hutan, di sebuah pondok usang di tepi danau kecil. Di danau itulah dua bocah kakak-adik Rian (Fatih Unru) dan Melati (Naomi Ivo) kerap menghabiskan waktu dengan bermain dan memancing.
Suatu kali ketika hendak memancing, Melati terjerembap di tepi danau. Ivan, si buron perasa yang mudah tersentuh hatinya, segera menolong bocah yang tinggal di desa tak jauh dari hutan itu. Sejak pertemuan itu, mereka jadi berteman. Erik, yang pemarah dan emosional, jadi sahabat setia Rian memancing. Sedangkan Ivan sering menemani Melati menghafal ayat-ayat Al-Quran di pondok.
Rian dan Melati tak paham bahwa teman baru mereka adalah penjahat. Padahal kampung sudah geger karena Briptu Yana (Gery Puraatmadja) sibuk menyebar poster pencarian buron. Dan Pak Haji (Yayu Unru) sudah menengarai keberadaan dua napi itu karena gamisnya hilang saat dijemur.
Kisah dua buron yang bersahabat dengan dua anak desa ini disuguhkan Ari Sihasale dalam film terbarunya, Seputih Cinta Melati. Film ini juga menjadi film religi pertama yang disutradarainya. Untuk penulisan skenario, ia menggandeng Armantono, yang juga menulis skenario Tanah Air Beta, film garapan Ari pada 2010. Seperti film-film produksi Alenia Pictures sebelumnya, Seputih Cinta Melati kembali memberikan porsi besar untuk pemeran anak-anak. "Film ini memang ditujukan untuk ditonton sekeluarga sebagai film libur Lebaran," kata Ari.
Sementara di film-film sebelumnya Ari memotret anak-anak di kawasan timur Indonesia, kali ini dia mengambil latar daerah perkebunan teh Ciwidey, Jawa Barat. Dari segi cerita, ide yang ditawarkan film ini sebetulnya tak baru. Kisah bocah yang menaklukkan hati para buron pernah dibuat Wim Umboh dalam film Senyum di Pagi Bulan Desember (1974). Film yang naskahnya ditulis Wim bersama Arifin C. Noer ini bercerita tentang persahabatan tiga narapidana, yakni Buang, Bernardus, dan Bakar (diperankan aktor kawakan Kusno SuÂdjarwadi, Rachmat Hidayat, dan Sukarno M. Noor), dengan gadis kecil bernama Bunga (Santi Sardi).
Ari sendiri mengaku terinspirasi film yang sukses merebut Piala Citra sebagai film terbaik pada 1975 itu. "Saya pernah nonton film itu ketika masih kecil. Tapi film itu sekarang sudah tidak ada. Di cari di mana-mana tidak ada," ujarnya. Meskipun demikian, Ari menolak bila cerita yang dia sodorkan disebut meniru film itu. "Cerita seperti ini bukan film Wim saja. Ada banyak sekali film napi kabur dan ketemu anak-anak. Saya hanya memberitahukan garis besar cerita, lalu Armantono yang menulis. Dia belum tentu tahu soal film Wim," katanya.
Sayang, eksekusi film ini kurang baik. Ari gagal membangun hubungan emosional antara Ivan-Erik dan Rian-Melati. Padahal ikatan emosi itulah yang menjadi fondasi cerita. Penonton jadi bingung, kok bisa tiba-tiba mereka mesra. Padahal cara Ângobrol mereka kaku dan minim canda. Ivan dan Erik berinteraksi dengan Rian-Melati seperti berhadapan dengan orang dewasa.
Tapi, harus diakui, Fatih, 9 tahun, yang memerankan Rian, menunjukkan bakat akting yang luar biasa. Fatih adalah putra Yayu Unru, pemeran Pak Haji dalam film ini yang kita kenal sebagai aktor senior Institut Kesenian Jakarta. Akting Naomi Ivo, 10 tahun, juga lumayan. Gadis kecil ini lolos casting karena lancar melafalkan ayat-ayat Al-Quran. "Hafal ayat penting soalnya di film banyak ayat yang dibacakan," ucap Ari. Sayangnya, kedua pemeran napi, Chicco, yang bermain bagus di Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), dan Asrul Dahlan, justru terlihat tak prima di film ini. Tampak keduanya malah gagap beradu akting dengan anak-anak.
Nunuy Nurhayati, Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo