Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketertarikan Johny pada astrofisika mulai tumbuh saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Marsudirini, Jakarta. Tertarik karena Bosscha di Bandung? "Saya belum pernah ke Bosscha, juga tak punya teropong," katanya. "Saya hanya suka baca buku ilmu pengetahuan."
Impiannya menekuni ilmu bintang terwujud saat dia melanjutkan pendidikan tinggi di Jerman. Lulus dari SMA Fons Vitae pada 1992, Johny langsung mencari ilmu di Albert-Ludwig Universitat, Freiburg, setelah setahun mengikuti pendidikan prauniversitas di Studienkolleg Ruprechts-Karl Universitat, Heidelberg.
Lepas dari pendidikan doktoral di Kiepenheuer-Institut fur Sonnenphysik, April 2003, Johny langsung diterima di Max-Planck Institut fur Astronomie. "Kebetulan mereka butuh tenaga ahli," kata post Doc scientist di institut itu. "Dan saya termasuk dari empat orang di seluruh Jerman yang menemukan planet."
Bukan berarti Johny punya tingkat kecerdasan di atas rata-rata atau jenius. Dia menyatakan dirinya orang biasa dengan kemampuan berpikir agak lamban saat ujian. "Nilai saya biasa saja," katanya. "Tapi asal ada kemauan pasti ada jalan dan saya tergolong rajin sejak sekolah sampai kuliah."
Di institut itu, Johny adalah satu-satunya orang Indonesia. Orang Asia lainnya hanyalah satu orang Jepang dan dua dari Cina. "Tapi rekan kerja saya semuanya sangat ramah dan senang sejak saya mulai bekerja," katanya, "terutama pada makanan Indonesia buatan saya."
Memang, selain tertarik pada bintang, Johny sebenarnya hobi masak. Kepiawaiannya mengolah makanan ini yang menolongnya ketika krisis moneter melanda Indonesia. Selama dua tahun dia pernah menjadi koki di sebuah rumah makan. Kerja sambilan saat kuliah di Freiburg ini terhenti ketika Johny mendapat beasiswa pemerintah Jerman. "Saya suka dengan profesi sebagai koki waktu itu, tapi penerima beasiswa tidak diperkenankan bekerja sambilan," tuturnya.
Hobi memasak tetap dilanjutkan di Max-Planck Institut, Heidelberg. Dalam setiap acara sosial seminggu sekali, sambil berkumpul dan berdiskusi bersama rekan kerjanya, Johny rajin menyajikan hidangan nusantara. "Yang paling mereka gemari sate, ketupat sayur, pepes ikan, dan bakmi goreng," kata putra seorang pejabat bank pemerintah ini. Tak mengherankan, saat merayakan penemuan planet baru ini, tiga pekan lalu, Johny tumpengan dengan rekan sekantor.
Tak sampai di situ saja cita-cita anak muda ini. Dia masih menyimpan keinginan menjadi duta besar untuk Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) agar bisa membantu secara aktif di bidang itu di tingkat internasional. "Mungkin terlalu tinggi, tetapi kalau tak tercapai mungkin saya bisa mengajar di universitas di sini."
Tinggal 14 tahun di Jerman, lelaki ini rajin pulang kampung, rutin dua kali setahun. Akhir Juli nanti, Johny akan hadir dalam sebuah konferensi astronomi Asia-Pasifik, APRIM 2005, di Denpasar, Bali. Pria lajang ini akan berbicara tentang survei pencarian planet ekstrasolar serta proyek yang akan datang.
Dia berharap pengembangan ilmu pengetahuan alam di Indonesia, khususnya astrofisika, mendapat dukungan dan meluas di masyarakat. "Bukan hanya ekonomi yang diperhatikan, namun juga ilmu-ilmu dasar. Hanya dengan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia kelak dapat bangkit di masa depan."
Tjandra Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo