Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WALI Kota Balikpapan, H. Imdaad Hamid, meradang saat melihat tumpahan minyak (sludge oil) yang menggenangi sekitar pantai Balikpapan. Tumpahan minyak itu membentang tak kurang sepanjang tiga kilometer dengan lebar sekitar 10 hingga 15 meter. Warnanya kehitaman dan membuat pemandangan Pantai Balikpapan menjadi buruk sekaligus jorok. "Saya tak rela rumah kita diobok-obok," ujar Imdaad geram.
Lantung, itulah sebutan warga setempat terhadap limbah semacam itu, yang mencemari pantai di wilayahnya. Pada 26 Juni tahun lalu, Imdaad memimpin pembersihan pantai itu selama sebulan. Untuk mengambil lantung itu, Imdaad juga meminta bantuan Badan Pengelola Migas, Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan, Total Indonesia, Unocal, dan PT Expan. Semua diperintahkannya ambil bagian membersihkan ceceran minyak itu.
Tak berhenti sampai di situ, Wali Kota membentuk Tim Advokasi Kasus Pencemaran Tumpahan Minyak. Tim ini bertugas menghitung besar ganti rugi dan menyeret pelakunya ke pengadilan. "Wali Kota bertekad memberi pelajaran kepada mereka yang mencemari pantai itu," kata Neil Makinudin, aktivis lembaga swadaya masyarakat Mitra Pesisir.
Sumber lantung itu ternyata sebuah kapal berbendera Siprus, MT Panos G. Kapal tersebut dicarter PT Pertamina (Persero) dari Soumelia Marine Company Limited, yang beralamat di Yunani. Agennya adalah PT Bandar Harapan Prima Jakarta. Tiga pihak inilah, plus kapten kapal Michail Kavaurgias dan Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan, yang lantas digugat Pemerintah Kota Balikpapan. Mereka secara tanggung renteng dituntut untuk membayar ganti rugi akibat pencemaran itu sebesar Rp 14 miliar.
Gugatan itu sempat bergulir di Pengadilan Negeri Balikpapan dan menarik perhatian, terutama para tokoh lingkungan hidup. Pada sidang pertama kasus ini, 16 Maret lalu, hakim sempat meminta penggugat dan tergugat bertemu untuk mediasi. Tapi mediasi mentok, tak ada hasilnya. Menurut Fadjry Zamzam, pengacara Pemerintah Kota Balikpapan, mediasi tak bisa membahas ganti rugi karena tergugat beralasan sedang menunggu proses pidana. "Padahal sampai sekarang tuntutan pidananya belum jalan," kata Fadjry.
Tapi, pada sidang 9 Juni lalu, pengadilan menyatakan tidak berwenang mengadili kasus ini karena domisili para tergugat bukan di Balikpapan. "Kami akan mengajukan gugatan kembali dengan memasukkan sejumlah warga Balikpapan, para pemilik tongkang yang terlibat kasus ini," kata Fadjry Zamzam.
Pertamina, salah satu pihak yang digugat, menilai gugatan terhadap mereka "salah alamat". Juru bicara Pertamina, Mohammad Harun, mengakui kapal yang disewa Pertamina memang untuk mengangkut minyak mentah. "Kapal itu sendiri mencuci crude oil sebelum akhirnya diangkut ke tongkang," ujar Harun. Saat proses pengangkutan ke tongkang itulah, kata Harun, terjadi tumpahan minyak. "Tapi itu sudah di luar wilayah kita," katanya.
Adapun gugatan pidana "kasus lantung" itu kini masih di laci Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Tersangkanya: kapten kapal MT Panos G. Michail Kavaurgias serta awak landing craft tank MT Banda, yaitu Alimin, Suhartono, Bakri, dan Ismail. Ketiganya warga Balikpapan. Polda Kalimantan Timur membantah tudingan sejumlah LSM yang menyebut kasus itu "jalan di tempat". "Berkas kami selalu ditolak kejaksaan dan belum P21 (belum lengkap). Kami sendiri terus melakukan penyelidikan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Timur, Kombes Pol. I Wayan Tjatra. Menurut Wayan, sudah tiga kali berkas acara pemeriksaan (BAP) pihaknya dikembalikan jaksa.
Tak hanya menetapkan status tersangka terhadap Kavaurgias. Kapal Siprus itu sebenarnya juga sempat ditahan polisi selama 10 hari. Menurut Kapolda Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Budi Utomo, polisi tak berani menahan kapal itu lebih dari 10 hari karena terbentur Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi terhadap Hukum Laut Internasional Tahun 1982.
"Kewenangan kepolisian menahan kapal asing atau nakhodanya cuma waktu 10 hari, setelah itu dilepas," ujar Kapolda. Menurut Benny Sudibyo Pontjo Soegito, pengacara Kavaurgias, kliennya harus memberi uang jaminan Rp 4 miliar agar dirinya dan kapalnya bisa berlayar lagi. "Sekarang Kavaurgias berada di Meksiko, sedangkan kapal Panos G. ada di Cina," kata Benny.
Noda lantung di perairan Balikpapan bukan sekali ini saja terjadi. Menurut catatan LSM Mitra Pesisir, pada 2000, 2001, 2002, dan 2003 juga terjadi hal serupa. "Tapi sekarang ini yang paling besar," kata Neil Makinudin. Menurut Neil, tindakan hukum atas kasus memang tak lepas dari komitmen Wali Kota Balikpapan yang peduli terhadap lingkungan. "Soal kalah atau menang di pengadilan, menurut beliau, itu urusan nanti," ujar Neil.
Abdul Manan, Sakti Gunawan (Balikpapan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo