Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tiga Lakon Raden Bagus

Gunung Kelud menanti kelahiran anak. Ada tiga skenario letusan. Apa itu?

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lampu menyala di warung makan milik Diono. Sang pemilik mengaduk-aduk baskom berisi gulai kambing yang tinggal setengahnya. ”Pelanggan saya kembali lagi,” katanya kepada Tempo, Rabu malam pekan lalu. Pak To, yang menjual bakso, juga membuka dagangannya di samping balai desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur.

Selain kedua warung itu, toko-toko kelontong milik warga Sugihwaras ramai lagi dikunjungi warga. Desa yang terletak 10 kilometer dari kawah Gunung Kelud itu ”hidup” kembali. Maklum, pekan sebelumnya, sebagian besar warga mengungsi ke Desa Tawang di Kecamatan Wates.

Rupanya upaya aparat pemerintah mengosongkan desa yang letaknya paling dekat dengan kawah Kelud ini tak berhasil. Banyak warga yang cuma satu atau dua malam bertahan di pengungsian. Mereka tak percaya Gunung Kelud, atau biasa disebut sebagai Raden Bagus, akan meletus. Mulyasih, 62 tahun, contohnya. Setiap hari, di sisi tempat tidurnya, ada sesaji 12 gelas kopi pahit dan sebungkus rokok. ”Den Bagus belum memberikan isyarat bahwa Kelud akan meletus,” katanya.

Diono, yang memiliki delapan sapi perah, waswas binatang piaraannya hilang. Dia menolak mengungsi meskipun petugas menjelaskan bahwa letusan Gunung Kelud yang tingginya 1.731 meter itu tinggal menunggu waktu. ”Kalau sudah bunyi jeger, baru saya keluar dari desa ini,” katanya. Pria 45 tahun ini selalu memarkir motornya menghadap jalan raya agar mudah dijalankan.

Raden Bagus memang belum jeger. Namun ulah Kelud yang sejak 16 Oktober masuk status ”awas” membuat geger ahli gunung berapi. Ini status paling tinggi, yang artinya dalam tempo 24 jam berpeluang terjadi letusan. Namun, sudah hampir sebulan, ternyata letusan belum muncul juga.

Malahan yang menyembul dari dalam kawah Kelud adalah batu andesit dengan garis lebar 100 meter dan tinggi 10 meter. Pada Senin pekan lalu, kehadiran batu yang menyerupai Pulau Samosir di tengah Danau Toba itu terekam kamera pengintai yang dipasang di Gunung Sumbing, di selatan Kelud.

Dua hari kemudian, pulau tersebut membesar menjadi 150 meter, dengan ketinggian 20 meter. ”Itu kubah lava yang merupakan anak gunung. Ini fenomena yang luar biasa,” kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Menurut Surono, jika anak gunung terus membesar, hal itu bakal mendekonstruksi kawah. Seluruh permukaan kawah Kelud menghilang dan berubah menjadi puncak gunung. Lama-lama bentuk Kelud berubah menyerupai Gunung Merapi. ”Marilah kita tunggu bersama-sama, sandiwara apa lagi yang akan dipertontonkan Kelud,” katanya. Dia minta masyarakat tetap waspada atas segala kemungkinan buruk yang terjadi setiap saat.

Ada tiga sandiwara atau lakon yang akan ditampilkan Kelud. ”Ketiganya memiliki probabilitas yang sama,” kata Agus Budianto, Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi. Pertama, aktivitas gunung menurun akibat adanya embusan asap putih yang keluar dari celah pulau.

Asap ini terjadi karena masuknya air dari kawah ke celah pulau menuju dapur magma. Jadi, air danau yang bocor ini secara perlahan menggembosi tekanan di bawah. Menurut Agus, kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan energi sehingga menutup kemungkinan terjadinya letusan.

Kedua, air di danau kawah yang volumenya 2,5 juta meter kubik perlahan-lahan menyebabkan letusan freatik. Letusan jenis ini cuma mengeluarkan debu vulkanik dan gas. Skenario atau lakon ketiga lebih berbahaya. Menurut Agus, batu andesit terbentuk dari endapan sisa-sisa material letusan pada 1990. Batu inilah, ujarnya, yang menyumbat lubang magma sehingga energi Kelud tidak meletus. Namun air yang menuju dapur magma bisa membuat tekanan semakin kuat. ”Jika semakin besar, akan terjadinya letusan magmatik yang sangat kuat,” kata Agus, yang memantau dari pos di Desa Sugihwaras. Apalagi suhu air saat ini di atas 70 derajat Celsius.

Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, menjelaskan bahwa tekanan dari bawah selama ini tertahan oleh batu andesit itu. ”Jika tak kuat, lama-lama akan jebol dan membuat ledakan besar,” katanya. Andai kata terjadi, ujarnya, letusan akan berbeda dengan tahun 1966 dan 1990.

Menurut Andang, untuk mempelajari kompleksitas Kelud, harus melihat sejarah gunung ini yang telah berlangsung ribuan tahun. Jadi, tak hanya melihat dua atau tiga letusan terakhir. Frekuensi meletus gunung yang terletak di Kabupaten Kediri dan Blitar ini antara 15 dan 30 tahun. Bisa jadi, kata Andang, pada letusan tahun 1586 didahului munculnya batu andesit.

Letusan pada 1586 menimbulkan korban tewas 10 ribu orang. Pada 1919, kemarahan gunung itu menewaskan 5.160 jiwa. Lalu pada 1951 gunung ini meledak. Batuan berdiameter 25,6 sentimeter dilontarkan sampai empat kilometer di utara Blitar. Ketika itu hujan abunya sampai ke Bandung dan Pamekasan di Madura. Letusan berikutnya, pada 1966, korban tewas mencapai 210 orang.

Pada 10 Februari 1990, letusan gunung ini memuntahkan 57,3 juta meter kubik material vulkanik. Lahar dingin menjalar sampai 24 kilometer dari danau kawah, melalui 11 sungai di sekeliling gunung. Besarnya dampak letusan membuat masyarakat membuat mitos terhadap Raden Bagus ini. Jika Kelud meledak, kata mitos itu, Blitar dadi latar (jadi rata), Kediri dadi kali (jadi sungai), dan Tulungagung dadi kedung (jadi bendungan).

Apa dampak yang akan terjadi jika Kelud meletus kini? Dari peta rawan bencana, arah pergerakan lahar diperkirakan ke barat, yaitu ke Kediri dan Blitar. Di Kediri ada empat kecamatan yang bakal terancam, yakni Ngancar, Puncu, Plosoklaten, dan Kepung. Jumlah penduduk di kawasan ini sedikitnya 8.135 jiwa.

Pemerintah membagi Kelud ke dalam tiga wilayah. Pertama, daerah terlarang dalam radius 5 kilometer dari kawah dengan luas 91 kilometer persegi. Di daerah ini, hujan batu, awan panas, lahar letusan, dan lahar hujan bakal mengancam.

Kedua, daerah bahaya I dalam radius 10 kilometer dari kawah dengan luas 223 kilometer persegi dengan ancaman hujan batu dan rempah-rempah batuan. Terakhir, daerah bahaya II yang ancamannya lahar sekunder. Daerah ini meliputi bantaran sungai-sungai lahar yang luasnya 56 kilometer persegi.

Untung Widyanto, Dwidjo U. Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus