MAY DAY ... May day ... May day ... saya akan melakukan
ditching!" Kata-kata ini jelas terdengar dalam earphone petugas
Menara pengawas di Kemayoran, Jakarta. Juga terdengar oleh pilot
pesawat Pelita Air Service yang berada pada ketinggian 2.600 m,
300-an meter di atas pesawat Bouraq Vickers Viscount. Kemudian
kapten pesawat F-28 Pelita, Soebondo, melihat kemudi-naik kanan
Vickers Viscount itu patah dan jatuh. Segera setelah itu pesawat
Bouraq tadi menukik ke dalam rawa di Ujung Karawang. Semua 25
penumpang dan enam awaknya tewas.
Dalam komunikasi radiotelepon internasional panggilan May day
merupakan kode untuk keadaan darurat. Mungkin asal mula kode itu
timbul dari kata bahasa Prancis, m'aid'ez yang berarti
"tolonglah saya!"
Dengan isyarat itu pemanggil sadar akan suatu malapetaka. Dan
ini memperkuat dugaan bahwa Kapten Mulyono, yang mengemudikan
pesawat yang naas itu, sadar akan adanya suatu kelainan pada
pesawatnya. Karena kecelakaan pekan lalu itu sukar dikatakan
akibat kelalaian pilot, melainkan menunjuk pada kegagalan teknis
pesawat itu sendiri. "Baru kali ini ada panggilan May day dalam
berbagai kasus kecelakaan pesawat terbang di Indonesia," ujar
seseorang yang sangat dekat dengan kalangan penerbangan.
Seperti halnya kecelakaan pesawat Tristar di Riyadh, jatuhnya
Vickens Viscount itu membangkitkan pertanyaan tentang
keselamatan terbang. Dalam kasus ini terutama aspek kelalaianya
dari segi teknis disain dan maintenance pesawatnya.
Hari Rabu, sehari setelah kecelakaan itu, Ditjen Perhubungan
Udara menyatakan grounded sisa 11 pesawat jenis Vickers Viscount
VC-8 yang dioperasikan di Indonesia. Selain Bouraq yang masih
memilikinya satu lagi, ada enam pesawat di tangan Merpati dan
empat lagi di Mandala.
Setelah diadakan penelitian ulang, hari Kamis semua pesawat
Vickers Viseount sudah terbang lagi kecuali satu, milik Merpati
yang sedang berada di Manado. Malam Kamis itu kesibukan luar
biasa meliputi hanggar Merpati di Kemayoran. "Sampai pagi kami
sibuk," ujar Prayogo, ahli teknik Merpati.
Apakah memang sudah layak terbang? Dir-Ut Merpati, R.A.J.
Lumenta menerangkan kepada TEMPO bahwa pesawat Viscount yang
dimiliki perusahaannya mempunyai batas jam terbang sebanyak
10.000 dari overbaul ke overhaul. Tapi 65 jam terbang pertama
harus dilakukan pemeriksaan yang dinamakan check I. Lalu 125 jam
terbang check A. Begitu seterusnya, tiap 65 atau 125 jam
terbang. Di samping jadwal pemeriksaan itu, semuanya terkena
preflight check (sebelum terbang), dan daily check A sesudah
terbang. Juga dilakukan pengecekan waktu transit. Ada juga
perawatan diluar jadwal operasi. "Semua dilakukan dengan double
check oleh mechanic dan inspector," jelas Lumenta.
Jadwal pengecekan bagi berbagai jenis pesawat tentu berlainan.
Seorang ahli teknik di sebuah perusahaan penerbangan swasta
menjelaskan overhaul untuk pesawat F-27, misalnya, dilakukan
sesudah 5.000 jam terbang. F-28 mungkin lebih. Setiap pesawat
terbang mengalami checking setiap hari. Misalnya inspeksi A
dilakukan sebelum terbang, biasanya selama dua jam, lalu ada
inspeksi transit dan inspeksi B sesudah terbang. Yang terakhir
ini bisa makan waktu 5-6 jam.
Selain itu ada lagi pengecekan setelah pesawat itu mencapai
sejumlah jam terbang tertentu. Untuk F-27, misalnya, biasanya
setelah 75 jam terbang. Lama pengecekan ini bisa berlangsung
selama satu hari penuh. Semuanya dilakukan berdasarkan
check-list, ujar ahli teknik yang tak mau disebut namanya.
Ada pula check II setelah 75 jam terbang berikut dan seterusnya
check III, IV, V dan seterusnya hingga saat over haul. Kalau
pesawat sudah di-overhaul kondisinya seperti baru kembali dan
disebut jam terbang 0. Tapi jam terbang sebelumnya harus tetap
dicantumkan.
Pemeriksaan pesawat di samping menggunakan peralatan standar,
ternyata sering secara "tradisional". Misalkan memeriksa kabel
yang terdiri dari 97 helai. Mula-mula memang diteliti dengan
mata, cerita Lumenta yang mengungkapkan pengalamannya sendiri.
Lalu dengan lap di tangan, kabel diurut dari ujung ke ujung.
Bila ada kabel yang putus, tentu akan nyangkut. Untuk lebih
meyakinkan, tangan dioleskan dengan gemuk dan kabel diurut lagi.
Bila ada yang putus, tentu nyangkut di tangan. "Itu kan
pemeriksaan yang jitu," sambung Lumenta.
Apakah betul para teknisi sudah teliti? "Kita kan juga
penumpang. Sekali waktu mungkin istri saya yang naik pesawat
ini, mungkin anak saya atau keluarga lain," ujar seorang teknisi
di Merpati.
"Kir pada pesawat tidak seperti oplet minta kir," sambung
seorang teklisi di Pelita. Ia menjelaskan bahwa setiap komponen
sebuah pesawat dipasang dengan cermat dan diperhitungkan.
Dari Medan juga terdapat nada meyakinkan. "Pokoknya, selama ini
setiap pesawat yang berangkat dari Medan tetap dalam keadaan
fit," ujar Hadi Oetoro, kepala pelabuhan udara Polonia. "Kalau
ada kerusakan kecil saja pada salah satu pesawat, kami sudah
larang terbang." Perbengkelan di Polonia rata-rata melayani 15
pesawat per hari.
Di Jakarta seorang ahli teknik lain menceritakan bahwa di
hanggar para teknisi mengecek. Hasilnya dicek kemhali oleh crew
(lihat box) sebelum terbang, ujarnya.
Seorang pejabat Deperhub menjelaskan bahwa pesawat Vickers
Viscount milik Bouraq yang jatuh pekan lalu dibuat tahun 1958.
Ia tiba di Indonesia awal Agustus tahun ini, setelah di Taiwan
dipakai cukup lama. Taiwan sudah mengeluarkan sertifikat layak
terbang untuk pesawat itu.
Dirjen Soegiri menjelaskan kepada TEMPO bahwa pihaknya sudah
mengirim sejumlah ahli ke negara penjualnya. Berdasarkan
penelitian tim ahli itu baru Deperhub berani mengeluarkan
sertifikat kelaikan terbangnya, demikian Soegiri. Tapi belum
jelas apakah itu berupa sertifikat baru, atau sekedar pengesahan
atas sertifikat Taiwan itu.
Mohamad Yunus dari Qualitv Conrrol Dep. Maintenance Bouraq
menjelaskan bahwa selama pesawat Vickers itu beroperasi di
Indonesia, pihak Taiwan menyediakan enam teknisinya. Mereka
mendampingi teknisi dari Bouraq khusus untuk merawatnya.
Bagi teknisi Bouraq pesawat jenis itu masih termasuk barang
baru. Selama ini mereka hanya mengenal seluk beluk pesawat
Hawker Sideley. Bouraq sekarang memiliki 11 pesawat Hawker
Sideley tipe 748. Semua itu bekas pakai.
Bouraq sibuk berurusan dengan Perusahaan Asuransi Waringin Lloyd
yang berkantor di Jalan Kebon Sirih setelah kecelakaan Viscount.
Tapi tak diketahui berapa besar pertanggungannya.
Pertanggungan atas pesawat Bouraq itu konon ditutup di Hongkong
oleh perusahaan Bouraq. Pihak Waringin Lloyd mendapatkan
kliennya melalui broker di Indonesia. Jadi pertanggungan itu
nantinya sebagian besar dibayar pihak asuransi yang di Hongkong.
Tapi persoalannya tak gampang, mungkin.
Direktur Teknik Perusahaan Asuransi Timur Jauh, Ir. Mustafa
menjelaskan kepada TEMPo bahwa pertanggungan setiap polis
asuransi pesawat terbang biasanya dibayarkan sebanyak yang
ditanggung dalam polis. "Tapi umumnya asuransi tidak akan
menanggung bila ada pesawat jatuh, padahal sudah tidak laik
terbang," ujar Mustafa. Menurut dia, sertifikat kelaikan terbang
yang dikeluarkan oleh negara yang satu belum tentu berlaku untuk
negara lain, sekali pun pesawat itu dicarternya. "Di Indonesia
dalam hal itu sepengetahuan saya, sertifikat negara lain harus
disahkan oleh Dirjen Perhubungan Udara" ungkap Mustafa yang
perusahaannya banyak memegang asuransi pesawat terbang
perkebunan dan swasta lainnya di Indonesia.
Perusahaan asuransi, menurut Mustafa, juga menyelidiki sebab
jatuhnya sebuah pesawat terbang. "Tapi kami menyelidiki dokumen
yang dihasilkan instansi berwenang." Penyelidikan teknisnya
dilakukan aircraft experts dari Ditjen Perhubungan Udara.
Setiap terjadi kecelakaan pesawat terbang, Ditjen itu memang
membentuk suatu tim peneliti. Kerjanya bisa cepat, tapi bisa
lama.
Setelah jatuh pesawat Panam tahun 1975 di Bali, misalnya, tim
penyelidik bekerja sampai dua bulan. Hasilnya baru diajukan ke
dalam sidang paripurna (semua pihak yang berkepentingan) setelah
satu tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini