DUA pekan lalu, Ketua Kadin Aceh M. Nur Nikmat mengungkapkan
adanya "harta karun": Sekitar Rp 10,8 milyar hasil perdagangan
barter 178 pengusaha Aceh dengan Malaya (kini Malaysia dan
Singapura) antara 1958-1963 kini sebagian besar masih tersimpan
di bank Singapura. Waktu itu Perwakilan Indonesia di Penang dan
Singapura yang menangani dagang barter ini. Karena terjadinya
konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963, uang ini membeku.
Setelah konfrontasi berakhir, sekitar Rp 3 milyar telah berhasil
dicairkan , menurut Nikmat, kabarnya Rp 2,4 milyar di antaranya
kemudian berhasil dicairkan pemerintah, namun belum diterima
yang berhak. Konon uang tersebut kini didepositokan di BNI 1946
Singapura oleh seorang "pengusaha" bernama Kartono Gunawan
dengan bunga 5,5%.
Pengungkapan Nikmat yang disiarkan Antara pekan lalu ini serta
merta membawa akibat. Kartono Gunawan ternyata adalah Kepala
Pusat Informasi & Analisa Depkeu. Sejak 1973 ekonom itu
mengetuai panitia yang panjang namanya: Panitia Penyelesaian
Nilai Lawan Rupiah Konsinyatir bertalian dengan Outstanding
Barter Trade Balances Singapura-Penang.
Kartono pekan lalu menjelaskan, yang dipersoalkan adalah uang
hasil barter sejumlah M. $ 32,1 juta yang semula tersimpan di
Malaysian Bank Linlited (MBL). Sekitar Mal. $ 7,9 juta sebelum
1970 telah diselesaikan oleh tim negosiasi yang dipimpin Bambang
Trisulo. Tim yang dipimpin Kartono kemudian berhasil
menyelesaikan sisanya. "Sebagian uang itu ada di sini, sebagian
lagi atas izin Menteri Keuangan didepositokan dengan bunga 6%
setahun di BNI 1946 Singapura," kata Kartono yang juga menjabat
dosen FEUI itu.
Mengapa uang itu tidak diserahkan pada yang berhak? "Kami sulit
mencari siapa eksportir yang berhak. Selain banyak dokumen yang
hilang, juga banyak eksportir yang tak memenuhi syarat yang
diminta Panitia," jawab Kartono. Ia menolak usul wartawan agar
nama-nama yang berhak diumumkan saja. Alasannya: ada eksportir
yang nakal dan mencoba mendapat pembayaran ganda. "Siapa yang
berani bertanggungjawab, jika di kemudian hari ada yang menuntut
pemerintah karena uangnya diambil orang lain?" kilah Kartono.
Karena itu Panitia hanya menunggu tuntutan dari eksportir.
Dengan cara yang menurutnya memang harus hati-hati ini, Kartono
membeberkan, sejak 1970 sudah dibayarkan sekitar 15 juta dollar
Malaysia pada eks portir. Menurutnya, para eksportir yang berhak
bisa melapor pada panitia untuk mendapat verifikasi yang
positif. Setelah mendapat verifikasi itu, sang eksportir
kemudian mengiklankan di suratkabar bahwa dia mempunyai tagihan.
Jika dalam tempo 3 bulan tidak ada bantahan, panitia akan
membayar.
Itu tak lantas berarti para pedagang Aceh akan menikmati "harta
karun" ini. M. Nur Nikmat menganggap soal ini tidak akan segera
bisa selesai. Menurutnya, tidak pernah ada pemberi-tahuan resmi
dari pemerintah tentang telah di selesaikannya soal tersebut.
Pemilik tiga perusahaan yang mengaku punya tagihan sekitar 360
ribu dollar Malaysia ini juga meragukan cara kerja Panitia.
"Banyak tindakan Panitia yang tidak mentaati peraturan Menteri
Keuangan. Kalau ada uang yang belum dibayarkan , kepada
eksportir, mengapa tak dimasukkan ke rekening khusus menteri?"
katanya sambil menunjuk keputusan Menteri Keuangan yang
memperinci soal ini. Pada TEMPO, Nikmat juga mengungkapkan
adanya biaya 2,5% yang dipungut panitia dari eksportir. Padahal
lewat SK Menkeu no. 118 tanggal 14 Maret 1970 jelas disebutkan
pembiayaan panitia dibebankan ke Bank Indonesia.
Kartono Gunawan mengakui uang yang didepositokan di Singapura
itu disimpan atas namanya. "Saya dan pak Salamun (kini Sekjen
Depkeu) diberi kuasa untuk mengatasnamakan rekening di bank
itu," katanya sambil memperlihatkan secarik fotokopi surat kuasa
dari Menkeu. Alasannya? "Agar lebih mudah dibagikan pada
eksportir. Kalau untuk itu harus Menteri kan repot," ujarnya
pada Marah Sakti dari TEMPO.
Lalu bagaimana dengan soal pungutan biaya? "Lha, mana ada
anggaran untuk membiayai pengurusan itu?" sahutnya tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini