Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menagih harta karun

Masalah hasil dagang barter antara pengusaha aceh dengan malaya yang dibekukan karena terjadinya konfrontasi indonesia-malaysia pada th 1963, kini sebagian sudah berhasil dicairkan, yang berhak belum menerima. (eb)

6 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan lalu, Ketua Kadin Aceh M. Nur Nikmat mengungkapkan adanya "harta karun": Sekitar Rp 10,8 milyar hasil perdagangan barter 178 pengusaha Aceh dengan Malaya (kini Malaysia dan Singapura) antara 1958-1963 kini sebagian besar masih tersimpan di bank Singapura. Waktu itu Perwakilan Indonesia di Penang dan Singapura yang menangani dagang barter ini. Karena terjadinya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963, uang ini membeku. Setelah konfrontasi berakhir, sekitar Rp 3 milyar telah berhasil dicairkan , menurut Nikmat, kabarnya Rp 2,4 milyar di antaranya kemudian berhasil dicairkan pemerintah, namun belum diterima yang berhak. Konon uang tersebut kini didepositokan di BNI 1946 Singapura oleh seorang "pengusaha" bernama Kartono Gunawan dengan bunga 5,5%. Pengungkapan Nikmat yang disiarkan Antara pekan lalu ini serta merta membawa akibat. Kartono Gunawan ternyata adalah Kepala Pusat Informasi & Analisa Depkeu. Sejak 1973 ekonom itu mengetuai panitia yang panjang namanya: Panitia Penyelesaian Nilai Lawan Rupiah Konsinyatir bertalian dengan Outstanding Barter Trade Balances Singapura-Penang. Kartono pekan lalu menjelaskan, yang dipersoalkan adalah uang hasil barter sejumlah M. $ 32,1 juta yang semula tersimpan di Malaysian Bank Linlited (MBL). Sekitar Mal. $ 7,9 juta sebelum 1970 telah diselesaikan oleh tim negosiasi yang dipimpin Bambang Trisulo. Tim yang dipimpin Kartono kemudian berhasil menyelesaikan sisanya. "Sebagian uang itu ada di sini, sebagian lagi atas izin Menteri Keuangan didepositokan dengan bunga 6% setahun di BNI 1946 Singapura," kata Kartono yang juga menjabat dosen FEUI itu. Mengapa uang itu tidak diserahkan pada yang berhak? "Kami sulit mencari siapa eksportir yang berhak. Selain banyak dokumen yang hilang, juga banyak eksportir yang tak memenuhi syarat yang diminta Panitia," jawab Kartono. Ia menolak usul wartawan agar nama-nama yang berhak diumumkan saja. Alasannya: ada eksportir yang nakal dan mencoba mendapat pembayaran ganda. "Siapa yang berani bertanggungjawab, jika di kemudian hari ada yang menuntut pemerintah karena uangnya diambil orang lain?" kilah Kartono. Karena itu Panitia hanya menunggu tuntutan dari eksportir. Dengan cara yang menurutnya memang harus hati-hati ini, Kartono membeberkan, sejak 1970 sudah dibayarkan sekitar 15 juta dollar Malaysia pada eks portir. Menurutnya, para eksportir yang berhak bisa melapor pada panitia untuk mendapat verifikasi yang positif. Setelah mendapat verifikasi itu, sang eksportir kemudian mengiklankan di suratkabar bahwa dia mempunyai tagihan. Jika dalam tempo 3 bulan tidak ada bantahan, panitia akan membayar. Itu tak lantas berarti para pedagang Aceh akan menikmati "harta karun" ini. M. Nur Nikmat menganggap soal ini tidak akan segera bisa selesai. Menurutnya, tidak pernah ada pemberi-tahuan resmi dari pemerintah tentang telah di selesaikannya soal tersebut. Pemilik tiga perusahaan yang mengaku punya tagihan sekitar 360 ribu dollar Malaysia ini juga meragukan cara kerja Panitia. "Banyak tindakan Panitia yang tidak mentaati peraturan Menteri Keuangan. Kalau ada uang yang belum dibayarkan , kepada eksportir, mengapa tak dimasukkan ke rekening khusus menteri?" katanya sambil menunjuk keputusan Menteri Keuangan yang memperinci soal ini. Pada TEMPO, Nikmat juga mengungkapkan adanya biaya 2,5% yang dipungut panitia dari eksportir. Padahal lewat SK Menkeu no. 118 tanggal 14 Maret 1970 jelas disebutkan pembiayaan panitia dibebankan ke Bank Indonesia. Kartono Gunawan mengakui uang yang didepositokan di Singapura itu disimpan atas namanya. "Saya dan pak Salamun (kini Sekjen Depkeu) diberi kuasa untuk mengatasnamakan rekening di bank itu," katanya sambil memperlihatkan secarik fotokopi surat kuasa dari Menkeu. Alasannya? "Agar lebih mudah dibagikan pada eksportir. Kalau untuk itu harus Menteri kan repot," ujarnya pada Marah Sakti dari TEMPO. Lalu bagaimana dengan soal pungutan biaya? "Lha, mana ada anggaran untuk membiayai pengurusan itu?" sahutnya tenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus