SEJUMLAH mobil pemadam kebakaran, yang sirenenya meraung-raung,
mengejar pesawat terbang yang laju menggeling ke ujung runway.
Asap pekat nampak mengepul dari tubuh pesawat Tristar, milik
perusahaan penerbangan Arab Saudi itu. "Kami ucapkan selamat
pada para penumpang atas pendaratan yang berhasil," ujar
pilotnya melalui sistem radio komunikasi. "Kami berusaha membuka
pintunya." Ini rupanya tidak berhasil.
Beberapa waktu sebelumnya pilot pesawat itu memberitahukan tower
di Riyadh bahwa ada kebakaran dalam kabin penumpang. Saat itu ia
berada sekitar 80 km dari Riyadh menuju Jeddah.
Lapangan udara di Riyadh malam itu, 19 Agustus, jadi heboh.
Ramai orang menyaksikan peristiwa itu. Di ujung runway, Tristar
L-1011 bikinan Lockheed di AS akhirnya berhenti. Kendaraan
pemadam kebakaran segera mengelilinginya. Tampak lidah api
mencuat dari semua jendela pesawat. Segala usaha untuk membuka
pintunya ternyata gagal, baik dari luar maupun dalam. Secara
berangsur api dan asap membalut seluruh tubuh pesawat. Terdengar
gemuruh api bercampur jeritan ratusan orang yang terjebak di
dalamnya.
Sekalipun sudah dikerahkan pula berbagai helikopter untuk
menyemprot dari udara, tak seorang yang bisa mereka selamatkan.
Setelah api mereda dan pintu berhasil dibuka, semua 301
penumpang dan awak pesawat dijumpai tewas.
Bagi Arab Saudi kecelakaan ini merupakan yang pertama dalam
sejarah penerbangannya selama 35 tahun. Tapi itu adalah
kecelakaan penerbangan kedua terbesar di dunia. Yang terbesar
terjadi di tahun 1974 ketika DC-10 milik perusahaan penerbangan
Turki jatuh dekat Paris dan menewaskan 346 orang.
Kecelakaan di Riyadh itu segera memfokuskan beberapa segi dari
keselamatan terbang. Penyelidikan sementara mengungkapkan dugaan
bahwa kebakaran itu disebabkan oleh meledaknya sebuah kompor gas
butane yang dibawa jamaah haji. Menurut Direktorat Penerhangan
Sipil Arab Saudi, jamaah haji memang sering menyelundupkan
kompor gas semacam itu ke dalam pesawat. Sebuah botol gas
ditemukan di atas bangku dan sebuah botol pemadam kebakaran
berada di dekatnya, yang mungkin digunakan awak pesawat untuk
memadamkan sumber api itu.
Bagaimana kompor gas itu berhasil lolos melalui petugas keamanan
di Karachi atau Riyadh? Mestinya petugas sudah menyadari akan
bahayanya. "Sangat disesalkan kebiasaan sejumlah jamaah untuk
menyelundupkan barang seperti itu ke dalam pesawat," ujar
jurubicara Direktorat Penerbangan Sipil di Arab Saudi. Mungkin
pula tidak ada peraturan yang lebih ketat?
Jamaah haji yang menuju Mekkah umumnya termasuk golongan
penumpang pesawat terbang yang paling miskin dan tidak
berpengalaman. Kalangan penerbangan tidak heran bila terjadi
kecelakaan yang melibatkan jamaah haji. Pesawatnya sering dimuat
secara maksimal, sedang rute perjalanannya sering tidak lazim,
dan singgah di pelabuhan udara yang kurang memenuhi syarat --
semua faktor ini menyumbang terhadap tingkat kecelakaan.
Masih orang teringat pada musibah jamaah haji 1974 yang menelan
191 jiwa di Kolombo, disusul malapetaka yang menewaskan 183 jiwa
di Kolombo lagi tahun lalu, serta musibah yang menimpa sebuah
pesawat Pakistan International Airlines ketika lepas landas dari
Jeddah. Seluruh 156 penumpangnya tewas karena terjadi kebakaran
dalam ruang kabin. Memang sejak dipergunakan pengangkutan udara
untuk jamaah haji, ada banyak kisah tentang penumpang yang
menyalakan kompor kecil dalam pesawat.
Secara teknis kecelakaan di Riyadh itu mestinya tidak
menimbulkan korban sebanyak itu. Keampuhan sistem darurat untuk
meninggalkan pesawat dipertanyakan. Pembuat pesawat menyediakan
sistem darurat ini yang memungkinkan semua penumpang
meninggalkan pesawat itu dalam waktu 90 detik. Celakanya hal ini
tidak pernah diuji dengan penumpang seperti jamaah haji.
SEJAK terjadi kecelakaan sebuah DC-10 yang terbakar sesaat
setelah mendarat di Los Angeles, terdapat berbagai saran agar
peraturan keselamatan lebih diperketat. Kecelakaan itu hanya
menewaskan dua orang, sedang 267 penumpang lainnya selamat.
Sebuah pesawat Boeing 707 milik Cathay Airlines Februari lalu
terbakar ketika mendarat di pelabuhan udara Manila. Menjelang ia
menyentuh landasan dua mesinnya copot dan badan kapal bagian
tengah meledak hingga api menyala. Tapi semua penumpangnya
berhasil keluar. Hanya seorang wanita meninggal akibat luka
bakar yang parah.
Tampaknya di Riyadh itu keadaan panik menyebabkan tak seorang
pun berhasil lolos. Diduga bahwa awak pesawat -- yang mengetahui
ra membuka pintu -- terhalang untuk mendekat karena kerumunan
dan serbuan banyak orang yang panik.
Karena sistem tekanan udara dalam kabin, ke-8 pintu sebelum
dibuka keluar, harus ditolak ke dalam dulu. Caranya sederhana
dan dapat dikerjakan dengan satu handle. Tapi bila sistem
tekanan dalam kabin belum dimatikan pintu memang tak bisa
dibuka. Dalam keadaan panik tak orang pun membaca cara pemakaian
yang tertera, sedang awak yang mengetahui caranya tak berdaya.
Sebetulnya ke-8 pintu itu bisa juga dibuka dari luar, namun tak
dapat didorong ke dalam karena kerumunan orang di sebelah
dalamnya.
Kecelakaan di Riyadh menunjukkan bahwa syarat keselamatan yang
sesuai bagi penumpang Amerika dalam tahun 1950-an, sama sekali
tidak cocok bila diterapkan pada golongan penumpang yang tingkat
budayanya masih lugu dan asing dengan teknologi modern macam
pesawat jet, apalagi dalam keadaan panik. Dugaan bahwa awak
pesawat terhalang terbukti dengan ditemukan 14 jenasah di kokpit
Tristar naas itu.
Setelah kejadian itu, Congress Amerika Serikat melancarkan
kritik pedas ke arah Badan Administrasi Penerbangan Federal
(FAA) karena kelambanannya menyusun standar keamanan terbang
yang lebih ampuh. Langhorn Bond, Ketua FAA, didengar sebuah
komisi Congress pekan lalu. Ia pernah terkenal dalam peristiwa
pelarangan terbang bagi semua DC-10 tahun lalu, setelah sebuah
DC-10 jatuh di Chicago yang menewaskan 273 orang.
Menurut Bond, setiap aspek problem keselamatan dalam kabin
penumpang sedang dikaji kembali oleh FAA. Tidak lama lagi sebuah
komitenya konon akan mengajukan hasil studi selama satu tahun.
Tapi Bond mengakui bahwa ini merupakan problem yang paling rumit
yang pernah dihadapinya.
Ketua Subkomite Pengawasan dan Pengkajian dari Komite Congress
untuk Pekerjaan Umum dan Transpor, Norman Mineta, mengungkapkan
FAA sudah mulai menyadari bahaya asap dan uap racun sekitar awal
tahun 60-an. "Namun dalam periode lebih 17 tahun itu, FAA tidak
mampu menghasilkan standar keselamatan apa pun."
Sebenarnya apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibawa
penumpang pesawat terbang sudah tercantum dalam Civil Aviation
Safety Regulation dan dalam Undang-undang RI No. 83/1958 tentang
Angkutan Udara. Salah satu pasalnya mencantumkan jenis barang
yang dilarang dalam pesawat terbang. Antara lain -- menurut Didi
Sudiono, Kepala Humas Ditjen Perhubungan Udara Rl -- senjata,
bahan peledak bukan mesiu, barang yang eksplosif sifatnya,
barang yang bisa membahayakan penerbangan dan binatang yang
sakit.
Minyak kayu putih? Sudiono berkata: "Saya kira itu tidak"
dilarang. Dalam beberapa kali penerbangan ia membawa minyak itu
dan menggunakannya di pesawat "untuk mencegah masuk angin."
Membawa minyak kayu putih adakalanya terlarang. Cairan ini
dianggap bisa mengganggu penumpang lain. "Tak semua orang tahan
baunya," ujar seorang petugas Sat-Pam (Satuan Pengaman) di Halim
Perdanakusumah.
Selain kayu putih, barang yang bisa mengganggu penumpang lain
adalah buah durian, dendeng dan buah-buahan yang mulai busuk.
Orang Indonesia mungkin senang bau durian, "tapi orang Barat
belum tentu suka," ujar petugas itu lagi.
Ada sederetan benda yang memerlukan dokumen khusus kalau hendak
diangkut dengan pesawat terbang komersial. Di antaranya bahan
yang mudah meledak, gas LPG yang cair maupun padat dan mudah
terbakar, benda yang berbahaya kalau terkena cairan bahan
oksigen, bahan kimia, bahan beracun, benda radioaktif, bahan
yang mengandung magnit, biomedical material.
"Seharusnya alat pemeriksa seperti hand detector dan X-ray
checker disediakan Angkasa Pura," ujar petugas sebuah perusahaan
penerbangan asing. Kepala Sat-Pam Pelud Halim Perdanakusumah,
E.S.Manalu, mengatakan seharusnya pihak perusahaanlah yang
menyediakan peralatan itu untuk pengamanan barang bagasi. "Tapi
kalau mereka minta bantuan kami, bisa juga kami periksa."
HANYA penumpang Cathay Pacific yang bagasinya diperiksa oleh
X-ray checker milik perusahaan itu di Halim. Sedang Japan Air
Lines memeriksa seluruh tas penumpangnya dengan hand detector.
Perusahaan lain tidak memeriksa isi koper besar penumpangnya
yang masuk bagasi. "Kami percaya karena penumpang pasti tidak
mau bunuh diri," ungkap Felix H. Mulyanto, petugas bagian bagasi
Lufthansa. Meski begitu Mulyanto juga beranggapan bahwa Perum
Angkasa Pura perlu menyediakan peralatan pemeriksa.
Dalam praktek di Halim hanya tas tangan (kabin) yang diperiksa
dengan X-ray checker oleh Sat-Pam. Koper besar, setelah
ditimbang dan diberi label, langsung ditaruh di ruangan lain
untuk nantinya diangkut dengan kereta ke pesawat terbang --
tanpa diperiksa petugas biasanya.
Khusus tentang tabung gas seperti banyak digunakan untuk kompor,
Manalu menegaskan bahwa itu tak boleh dibawa dalam bentuk apa
pun. Larangan ini didasarkan atas peraturan internasional. Bila
terbawa dalam tas tangan, segera itu terlihat di layar tv,
bagian dari X-ray checker.
Tapi kecerobohan sudah terbukti. Sebelum kejadian di Riyadh,
pesawat Garuda DC-9 Citarum mendarat di lapangan Juanda,
Surabaya, dengan asap pekat mengepul dari bawah sayapnya.
Pemadam kebakaran segera dikerahkan, sementara ke-65 penumpang
diselamatkan melalui pintu darurat. Sumber asap itu yang
ternyata dari ruang bagasi dapat diatasi. Beberapa koper hancur
terbakar. Penelitian segera dimulai, namun hasilnya saat ini
belum diketahui.
Masih di Juanda, sebuah pesawat Vicker Viscount dari Mandala
Airlines terbakar ruang bagasinya, yang terjadi sejak ia terbang
di atas Semarang. Semua penumpangnya selamat. Hanya beberapa
koper terbakar, seperti halnya dalam pesawat Garuda sebelumnya.
Peristiwa misterius itu pun tidak terungkap sebabnya.
Yang jelas pengawasan terhadap barang yang boleh dibawa ke dalam
pesawat terbang mulai diperketat setelah dua kejadian itu.
Syahrul Bachtiar, seorang penumpang, terkejut di pelabuhan
Juanda ketika barang bawaannya dalam kotak karton tidak bisa
masuk bagasi pesawat Garuda. Ia bermaksud menuju Balikpapan
suatu pagi pekan lalu.
Menurut Yun Zainuddin, Deputi Manajer Garuda di Juanda, hanya
barang yang bisa dibungkus dalam koper bisa masuk bagasi.
"Peraturannya sebetulnya memang begitu, tapi selama ini
diabaikan," ujarnya. "Sekarang kita tertibkan lagi."
Dirjen Perhubungan Udara, Soegiri, mengatakan kini pihaknya
sedang menelaah cara pengamanan barang ke pesawat terbang.
"Mungkin check in dilakukan bukan satu jam, tapi dua jam
sebelumnya," ujarnya.
Di Juanda, barang yang dikirim oleh FMKU atau Travelbiro bahkan
harus diserahkan 24 jam sebelum terbang dan diinapkan dulu dalam
gudang. "Kalau ada yang mau meledak, biar meledak di situ dulu,"
kata seorang petugas.
Itu juga berlaku di pelabuhan udara Polonia, Medan, sejak 1
September. Cargo via Polonia baru boleh dikirim setelah 24 jam
disimpan di gudang perusahaan penerbangan masing-masing. Tapi
kelonggaran diberikannya untuk suratkabar, majalah dan barang
yang tak tahan lama seperti ikan atau daging. "Tindakan ini kita
tempuh sesuai instruksi Dirjen Perhubungan Udara," jelas Hadi
Oetoro, pimpinan Polonia.
Kasus menyolok dan fatal di Polonia belum pernah terjadi, tapi
selama ini pengecekan kurang teliti. Terkadang surat muatan
sering diisi oleh pengirim sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini