Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau Slamet Abdul Sjukur sedang bleng, ia sama sekali tak bisa diganggu. Jangan coba-coba mengajaknya ngobrol. Dia bisa marah. Tak ada yang tahu sampai kapan kondisi seperti itu bertahan. Bisa tiga hari, bisa juga tiga bulan. "Kalau Ayah sedang bikin lagu, memang selalu seperti itu," kata Tiring Mayangsari, 54 tahun, anak pertama Slamet.
Bleng—yang dibaca dengan e lemas—adalah kata rekaan Slamet yang dipakai untuk menjelaskan kondisi ekstase ketika ia sedang berkarya. "Dia bisa lupa makan kalau sedang ngebleng," ujar Tiring, 3 Juli lalu.
Di lobi Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, kita bisa melihat partitur-partitur yang dibikin Slamet saat sedang bleng. Sebuah perhelatan digelar untuk memperingati 80 tahun komponis pelopor musik kontemporer di Indonesia itu. Pengunjung dibebaskan membuka-buka buku partitur untuk melihat bagaimana Slamet—yang sering dipanggil dengan inisial SAS—menulis musik.
Ada yang seragam di antara buku-buku partiturnya. Di bagian awal selalu ada penjelasan ihwal tanda baca tak lazim yang digunakan Slamet dalam menulis lagu. Beberapa tanda baca bisa jadi tak dikenal dalam musik klasik. Slamet membuat tanda baca yang gambarnya menyerupai gerigi gergaji, bahkan ada yang mirip grafik pergerakan saham di bursa efek.
Sebelum sampai pada pamungkas acara, yakni pementasan karya musik, pengunjung disuguhi memorabilia dalam bentuk film dokumenter tentang Kursus Kilat Komposisi, biasa disingkat Kukiko. Berbahagialah mereka yang pernah ikut Kukiko karena dari kursus sepanjang tiga jam itu peserta bisa memahami intisari kekaryaan Slamet. Musik, menurut Slamet, bukan milik mereka yang jago main instrumen saja. Musik adalah milik semua dan bisa dibikin dari bebunyian apa saja.
Layaklah SAS disebut sebagai pahlawan emansipasi bunyi, karena ia mengangkat harkat segala bunyi yang ada di dunia. Bagi Slamet, semua suara berpotensi menjadi musik. Bunyi geret kuku di atas meja, bunyi jemari menggelitiki selembar kertas, dan bunyi mulut ditepuk-tepuk bisa menjadi musik. Yang penting, sebagaimana disampaikan Slamet dalam film, memenuhi prinsip tukang copet dan cinta abadi. Apa pun musiknya, ia mesti mampu mencuri perhatian dalam sekejap, layaknya tukang copet; dan membuat pendengar tidak kehilangan ketertarikan pada lagu yang sedang dimainkan, ibarat menemukan cinta abadi.
Peringatan 80 tahun SAS sudah direncanakan sebelum Slamet wafat. Bahkan ia sudah menyiapkan sebuah karya baru untuk dipentaskan, yakni komposisi untuk piano dan gong. Ia bercita-cita mementaskan komposisi itu di banyak negara. Perpaduan kedua instrumen itu dinilai tepat mewakili warna Indonesia di kancah musik kontemporer dunia. Tapi acara akan terlalu singkat jadinya jika hanya memainkan satu komposisi.
Karena itu, Slamet mengajak sejumlah musikus membuat komposisi juga untuk piano dan gong. Sebelum acara itu terealisasi, komponis yang sepanjang hidupnya tercatat membuat 55 karya ini meninggal. Awal Maret lalu, ketika sedang seorang diri di rumah, ia jatuh dan pinggulnya patah. Dua pekan kemudian, tepatnya 24 Maret, ia meninggal di rumah sakit—sehari sebelum hendak dioperasi.
Ada enam komposisi yang dimainkan dalam pentas peringatan 80 tahun SAS. Dua di antaranya karya orisinal Slamet. Yang pertama adalah Suroboyo (2013), dimainkan Ika Sri Wahyuningsih (soprano), Irianto Suwondo (horn), Ade Sinata (cello), Andika Chandra (flute), dan Yuty Lauda (piano). Yang kedua Cucukucu (1992), yang dimainkan gitaris Hery Budiawan.
Tiga sisanya komposisi untuk gong dan piano yang dibikin Aksan Sjuman (Walking in the Clouds), Indra Perkasa (Aureola), dan Gema Swaratyagita (Tuwakatsa). Dan yang terakhir adalah penampilan solo tanpa instrumen dari Gatot Danar Sulistyanto, yang membuat tembang bertajuk Ular-ular.
Jangan bayangkan gong akan ditabuh dengan pemukul gong sebagaimana lazimnya gong gamelan. Pada Walking, Aureola, dan Tuwakatsa, gong dimainkan dengan cara dipukul menggunakan telapak dan jari. Kadang digaruk, ditampar, bahkan dikelitiki. Pada Tuwakatsa, Gema menyelipkan unsur teatrikal dalam komposisinya. Ia berdiri dari kursi piano, melotot kepada penonton, dan menyuruh mereka tenang.
Penampilan terakhir oleh Gatot paling mengejutkan penonton. Idenya membuat lagu dengan bebunyian dari mulut mencerminkan konsep bermusik minimax yang diusung Slamet: membuat sesuatu yang megah dari hal-hal sederhana, bahkan kesunyian sekalipun. Ular-ular karya Gatot terdiri atas bunyi cuap-cuap bibir, bunyi lidah keluar-masuk mulut, tepukan tangan di pipi pada mulut yang sedang menganga, dan nyanyian satu huruf vokal yang dilantunkan seperti orang sedang mengaji. Malam itu, Slamet dirayakan kembali.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo