SEBUAH rumah sakit kereta api yang bisa berkeliling ke daerah-daerah sedang dirintis pembuatannya di Madiun Jawa Timur. Rumah sakit itu dikhususkan untuk pembedahan dan diutamakan untuk pemasangan cincin KB. Pemrakarsanya, yang kini masih sibuk membuat desain, adalah dr. Sudadi Effendi, 47, ahli bedah kandungan pada Klinik KB Flamboyan, Madiun. Bila gagasan Sudadi jadi terlaksana - kini masih diperhitungkan PT Inka berdasarkan bantuan dana dari luar negeri - banyak kawasan di Jawa Timur akan tertolong. Sudadi yang juga suka membuat peralatan sendiri memperkirakan ia bisa operasi ke daerahdaerah: Lamongan, Blitar, Nganjuk, Jombang, dan juga Surabaya. Ini berarti memecahkan masalah yang sudah lama dihadapinya. "Pasien saya ada yang datang dari jarak 120 kilometer," katanya. Rumah sakit itu, menurut Sudadi, nantinya punya sebuah kamar bedah dengan dua meja operasi, sepuluh kamar perawatan, sebuah kamar mandi dan WC - terpecah ke beberapa gerbong. Soal biayanya, Sudadi optimistis bisa membangun dengan dana Rp 42 juta saja, karena semua peralatan operasi dan kamar perawatan didesain dan dibuatnya sendiri dengan bahan-bahan lokal yang murah. Kalau tidak, untuk kamar bedahnya saja diperlukan dana Rp 10 juta. Sudadi, perwira TNI-AU, bukan cuma mendesain gerbong kereta api dan menjadikannya kamar bedah. Sudah sejak 1979 ia dikenal tukang ngulik, membuat berbagai peralatan operasi. Di Klinik KB Flamboyan, tempat ia bekerja, hampir semua peralatan yang mendukung kerja medis dibuatnya sendiri dengan berbagai bahan lokal. "Sebuah kamar operasi sederhana dengan peralatan standar biasanya berharga sekitar Rp 9 juta," katanya. "Dengan biaya sebesar itu, saya bisa membuat lima kamar operasi." Tak percaya? Klinik KB Flamboyan telah membuktikannya. Umpamanya, sebuah meja operasi, yang menurut harga impor sekitar Rp 4,5 juta, di tangan Sudadi jadi murah. Peralatan itu dibuat Sudadi dari pipa besi, lengkap dengan jok di daun mejanya total toh hanya menelan biaya Rp 225.000. Lampu di atas meja bedah juga dibuat Sudadi. Lampu itu perlengkapan paling menonjol di kamar bedah: berbentuk seperti piring terbang, berjuntai rendah di atas meja bedah. Harga impornya, Rp 5 juta. Lalu Sudadi membuatnya dari lampu halogen untuk mobil, sebuahnya berharga sekitar Rp 20.000 - seluruhnya terdapat lima lampu. Tangkai pemegang lampu dibuat Sudadi dari besi pipa dengan bantuan Gondo, 23, lulusan STM - tentu dengan teknik las. Seluruh pembuatan tangkai ini Rp 150.000. Maka, lampu operasi total cuma berharga Rp 250.000. Masih ada sejumlah peralatan lagi yang dibuat Sudadi. Yang cepat menarik perhatian, alat pengisap darah. Mesinnya memang barang impor, tapi peralatan perlengkapannya semua barang lokal. Yang tampak lucu, dua tabung penampung darah: tak lain stoples buatan Kedawung yang biasanya digunakan menyimpan kue-kue kering. "Kalau tabung impor harganya Rp 75.000 sebuah, stoples ini 'kan cuma Rp 1.500," ujar Sudadi. Sejauh ini, semua peralatan berjalan baik. Tak ada kemacetan, dan tak ada pula keluhan dari perawat atau pasien. "Seharusnya semua dokter kandungan memodifikasi alat-alatnya sendiri seperti itu," ujar Prof. Haryono, ahli kandungan dari Universitas Airlangga, "Buat apa impor?" Dengan cara ini, kurangnya peralatan bedah di puskesmas - yang tak bisa dipenuhi karena mahal - bisa diatasi, dan secara tidak langsung ini memecahkan pula masalah tersendatnya pengiriman spesialis bedah dan ahli kandungan ke daerah-daerah terpencil karena kurangnya peralatan. Untuk program ini, seandainya digariskan, dr. Sudadi, sang teknikus, dengan teknologi tepat guna siap membantu. Putu Setia Laporan Saiff Bakham (Surabaya) & Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini