PENYAKIT Kaki dan Mulut (AE) yang sering menyerang hewan jenis
berkuku genap -- seperti sapi, kerbau, domba atau kambing --
memang tidak mematikan. Tapi penyakit itu cukup merugikan kaum
peternak. "Sapi yang sudah kena penyakit AE, tidak bakal bisa
gemuk dan produksi susunya merosot drastis," ujar drh.lng. R.
Soetrisno, Kepala Pusat Veterinaria Farma (Vetma) di Surabaya.
"Yang semula mampu menghasilkan 15 liter susu per hari, kalau
kena AE tinggal 2 liter."
Soetrisno cukup mengetahui seluk-beluk penyakit AE itu. Vaksin
yang mencegah penyakit itu dibuat di laboratorium Vetma yang ia
pimpin.
Sekarang vaksin itulah satu-satunya cara mencegah penyakit itu.
Obat penyembuhannya belum diketahui. Jika ada sekelompok ternak
yang terserang, tak ada jalan lain kecuali membunuh semua, untuk
menghindari penularan lebih luas. Penularannya sangat cepat.
"Meski kemudian sapi itu bisa sembuh, produksi susunya paling
banter mencapai 4 liter," ujar Soetrisno lagi.
Beberapa tahun lalu 280.000 ekor sapi terpaksa dibunuh di
Inggris terserang penyakit AE itu. Juga Indonesia tidak luput
dari serangan virus ganas itu, meski terbatas pada pulau-pulau
Jawa, Madura, Sulawesi dan Bali. Daerah ternak lain seperti NTB
dan NTT memang tidak pernah terkena. Bahkan sejak tahun 1978
Bali dan Madura sudah dinyatakan bebas penyakit AE, demikian
juga Jawa Timur dan DKI Jaya tahun berikutnya. Sementara
Sulawesi Selatan diharapkan bebas tahun ini.
"Sebenarnya penyakit itu tidak begitu membahayakan secara
nasional," ujar drh. Teken Temejo. Direktur Kesehatan Hewan dari
Departemen Pertanan itu menjelaskan sisa daerah yang masih
terkena ialah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta. Itu pun,
menurut Temejo, tidak tergolong serius.
Tiga tahun berturut-turut sejak 1978, ternak di daerah itu
terserang penyakit AE, khususnya kerbau berumur 3 bulan ke atas.
"Tapi melihat kenyataan sekarang, Indonesia tahun 1984 mungkin
bisa dinyatakan bebas penyakit itu," ujar Temejo.
Otimismenya itu tidak tanpa dasar. Sudah tersedia vaksin yang
meningkatkan daya tahan ternak terhadap serangan penyakit AE
itu. Dulu vaksin itu diimpor, tapi sejak tahun lalu produksi
Vetma sudah bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Bahkan sempat
juga Vetma mengekspor sebagian produksinya ke Malaysia.
Faktor lain yang menguntungkan ialah keadaan geografis
Indonesia. "Wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau
memudahkan pembasmian penyakit itu," ujar Soetrisno. Dan
keberhasilan Vetma meningkatkan produksi vaksin secara
besar-besaran, sangat mempercepat pemberantasan itu.
Semula produksi laboratorium itu hanya 250.000 dosis setahun.
Tapi sejak 1975 diterapkan metode produksi baru hinga tahun
lalu produksinya mencapai 3 sampai 4 juta dosis. Upaya itu juga
mendapat bantuan pemerintah Australia.
Tahun 1978, Australia membantu, dengan dana sebesar A$ 2 juta,
melengkapi laboratorium di Surabaya itu. Ini bukan bantuan
pertama. Sejak 1974 Australia membantu membiayai impor vaksin
itu dari Inggris sebanyak 3,5 juta dosis setahun. "Australia
rupanya berprinsip, lebih baik perang di Indonesia pada perang
di negerinya sendiri.
Negeri kanguru itu memang khawatir kalau penyakit AE itu
menyebar dari Indonesia ke negerinya. Ini bukan tanpa alasan.
Setiap tahun ribuan orang Australia mengunjungi Bali, dan ribuan
turis lain berkunjung ke Australia setelah singgah lebih dulu di
Pulau Dewata itu. Kemungkinan mereka membawa virus itu besar
sekali, meski manusia belum diketahui terkena penyakit itu.
Bantuan Australia -- di luar laboratorium -- berjumlah A$ 8
juta. "Tapi sekarang kita sudah mandiri, karena laboratorium di
Surabaya sudah mampu membuat vaksin itu," ujar Temejo. "Tenaga
Australia masih dipakai hanya sebagai pembimbing."
Usaha membuat vaksin anti-AE di Surabaya sebetulnya sudah
berlangsung sejak 1959, ketika Vetma masih bernama Balai
Penyelidikan Penyakit Kuku dan Mulut. Tapi produksinya sangat
terbatas waktu itu, tergantung dari persediaan lidah sapi hidup.
"Cara itu memang tidak efisien," kenang Soetrisno. Setiap lidah
hanya bisa menghasilkan sekitar 200 dosis vaksin. "Apalagi dari
jumlah itu sekitar 50% gagal."
Sel Ginjal
Maka tahun 1967, diterapkan cara Frenkel yang juga mengandalkan
lidah sapi, tidak perlu dari sapi hidup. Sekalipun banyak lidah
yang bisa dikumpulkan waktu itu dari rumah potong di Surabaya,
kapasitasnya memproduksi hanya 200.000 dosis setahun. "Lagi pula
kasihan konsumen yang ketagihan daging lidah," ujar Soetrisno.
"Bisa protes mereka."
Kemudian diperkenalkan cara yang sama sekali meninggalkan lidah
sapi itu. Mutu vaksin tidak berbeda. "Hanya cara baru itu
memungkinkan produksinya dalam jumlah besar," ujar Soetrisno.
Yang perlu diimpor hanya sel ginjal anak hamster, sejenis tikus
kecil khas Eropa. Sel ginjal itu -- diimpor dari Inggris dan
selanjutnya dibiakkan oleh Vetma sendiri -- digunakan sebagai
media membiakkan virus AE yang "jinak" untuk digunakan sebagai
vaksin.
Selama belum dipakai, vaksin itu harus disimpan dalam ruang
pendingin dengan suhu 4øC. (Lihat Tanpa Risiko, Tanpa Pendingin).
Pengangkutannya ke daerah lain juga dilakukan dengan mobil
pendingin. Di lapangan, menjelang disuntikkan kepada ternak,
vaksin itu harus pula disimpan dalam kotak pendingin khusus.
Setelah 3 tahun vaksin itu dinyatakan tidak baik lagi dan harus
dimusnahkan.
Saat ini di Surabaya diproduksi vaksin tipe O. Sebetulnya ada 7
tipe utama penyakit AE yang dikenal. Yaitu tipe O, A, C, Asia,
SAT (South African Territories) 1, SAT 2, dan SAT 3. Tapi di
Indonesia untungnya hanya bersebar tipe O, maka hanya vaksin
tipe O itu yang diproduksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini