TERNYATA Masjid Agung Al Aznar tetap penuh sesak pada salat Ied
1 Agustus yang lalu. Meski, tanpa Buya Hamka lagi.
"Buya telah berhasil menanamkan kecintaan terhadap masjid ini di
kalangan masyarakat," tutur K.H. Hasan Basri, Ketua Umum
Periodik MUI, selesai salat Ied. Tak salah. Bahkan rasanya,
peserta salat Ied di Al Azhar tahun ini lebih sesak dibanding
tahun-tahun sebelumnya.
Toh, ada yang merasakan kekosongan itu. "Rasanya salat Ied lebih
khidmat sewaktu masih ada Buya," tutur H. Yunus Yahya, tokoh
PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Ia menunjuk, betapa
sebagian peserta meninggalkan masjid di tengah khotbah
berlangsung -- konon, itu tak pernah terjadi sewaktu Hamka yang
memberikan khotbah.
Sejak Masjid Agung Al Azhar berdiri, 1958, Buyalah yang selalu
menjadi imam, bila tak sedang ke luar kota atau sedang sakit.
Dan seusai salat subuh ia selalu memberikan kuliah subuh.
Kehadirannya yang rutin dan kuliahnya yang selalu menarik itulah
yang menurut Rusydi Hamka, 53 tahun, anak keduanya, menjadikan
masjid tersebut disayangi umat.
Sejak kesehatannya mundur, Buya hanya memberikan kuliah subuh
dua minggu sekali tentang tafsir. Tempatnya digantikan K.H.
Hasan Basri yang memang sudah seringkali mewakili Buya apabila
berhalangan memberikan kuliah atau ceramah atau khotbah.
Sedangkan untuk bertugas sebagai imam ada tiga wakilnya: Habib
Abdillah, A. Wachid Zaini dan Nurmin Dachlan. Hanya saja yang
kadang-kadang dilakukan Hamka pada salat subuh, yaitu membaca
Sajadah dengan sujud tilawah di pertengahan membaca surat
tersebut, agaknya agak susah digantikan.
Khotbah Hamka memang khas. Suaranya serak. Yang dikhotbahkan
rasanya selalu sesuai dengan jamaah yang mendengarkan. "Itu
memang kelebihan Hamka," cetus H.B. Jassin, kritikus sastra yang
telah menerjemahkan Quran. Dan tambahnya: "Buya selalu
memaskkan unsur sastra dalam dakwah, ceramah maupun khotbahnya.
Makanya selalu menarik, manusiawi dan santai."
Dan Buya tak hanya berkhotbah. Ia pun menulis untuk rubrik Dari
Hati ke Hati dalam majalah Panji Masyarakat (PM) -- majalah yang
didirikannya 23 tahun yang lalu. Rubrik itu merupakan rubrik
tetap, selalu berisi masalah aktual yang berkaitan dengan agama
Islam, dan merupakan cetusan nurani Buya sendiri. Menurut
Rusydi, rubrik itulah yang paling digemari pembaca PM.
Tulisan Buya dalam rubrik Dari Hati ke Hati terakhir tentang
turunnya Quran. Dimuat dalam PM, 21 Juli yang lalu. Judulnya: 17
Ramadhan. Sebagai sastrawan yang pernah menulis enam novel dan
sejumlah cerita pendek, tulisan dalam rubrik itu memang lain.
Hamka tak hanya berpetuah. Ia pun menyuguhkan data sejarah,
menambah pengetahuan bagi pembacanya. Dan terkadang tulisannya
seperti menghibur. Misalnya penutup tulisan terakhirnya itu:
"Kemenangan terakhir tetap pada orang yang bertaqwa . "
Terasa Lowong
Adapun tentang majalah PM sendiri, agaknya tak menghadapi
kegawatan berhubung meninggalnya Hamka. Sudah sejak 10 tahun
lalu, kedudukannya sebaga pemimpin redaksi dan penanggung jawab
telah digantikan Rusydi. Hamka hanya mengisi Dari HAti ke Hati.
Itu pun tak selalu: kalau dia sedang tak berada di Indonesia,
Rusydi yang mengisinya.
Tapi, kekosongan yang barangkali paling terasakan adalah bagi
umat yang suka mendengarkan kuliah subuhnya, khotbah Jumatnya,
ceramah-ceramahnya dan yang suka bertemu Buya di rumahnya.
"Susah mencari ganti Buya," kata Yunus Yahya. "Rasanya semua
persoalan jika dihadapkan kepadanya.selalu selesai dengan
memuaskan."
Bagi Ibu Hatimah Santoso, 53 tahun, kabar meninggalnya Hamka
memang cukup mengejutkan. Ibu dari Surabaya itu selama ini
sering mengunjungi Buya ke Jakarta. "Hati saya tenteram apabila
sudah bertemu Buya dan bisa mengutarakan isi hati. Buya adalah
penunturl jiwa dan iman saya," tutur ibu dari 17 anak dan nenek
dari 9 cucu itu.
Agaknya perannya sebagai pembimbing umat itulah yang paling
terasa lowong. Sebagai orang tua yang banyak membaca, seorang
ulama yang juga gemar musik dan mistik, jalan yang diberikan
kepada mereka yang sedang dirundung masalah memang bisa
menenteramkan .
Maka bagi yang ditinggalkan, akan ada selalu kenangan: di Padang
baru-baru ini sebuah jalan mendapat nama baru Jl. Ki Hajar
Dewantara telah diubah menjadi Jl. Prof. Dr. Hamka *).
*) Ki Hajar Dewantara, tokoh Taman Siswa itu pernah berwasiat
agar namanya jangan dijadikan nama jalan .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini