Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kekosongan Setelah Hamka

Buya Hamka berhasil menanamkan kecintaan terhadap masjid agung Al Azhar di kalangan masyarakat. Banyak yang merasa kehilangan atas meninggalnya.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA Masjid Agung Al Aznar tetap penuh sesak pada salat Ied 1 Agustus yang lalu. Meski, tanpa Buya Hamka lagi. "Buya telah berhasil menanamkan kecintaan terhadap masjid ini di kalangan masyarakat," tutur K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Periodik MUI, selesai salat Ied. Tak salah. Bahkan rasanya, peserta salat Ied di Al Azhar tahun ini lebih sesak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Toh, ada yang merasakan kekosongan itu. "Rasanya salat Ied lebih khidmat sewaktu masih ada Buya," tutur H. Yunus Yahya, tokoh PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Ia menunjuk, betapa sebagian peserta meninggalkan masjid di tengah khotbah berlangsung -- konon, itu tak pernah terjadi sewaktu Hamka yang memberikan khotbah. Sejak Masjid Agung Al Azhar berdiri, 1958, Buyalah yang selalu menjadi imam, bila tak sedang ke luar kota atau sedang sakit. Dan seusai salat subuh ia selalu memberikan kuliah subuh. Kehadirannya yang rutin dan kuliahnya yang selalu menarik itulah yang menurut Rusydi Hamka, 53 tahun, anak keduanya, menjadikan masjid tersebut disayangi umat. Sejak kesehatannya mundur, Buya hanya memberikan kuliah subuh dua minggu sekali tentang tafsir. Tempatnya digantikan K.H. Hasan Basri yang memang sudah seringkali mewakili Buya apabila berhalangan memberikan kuliah atau ceramah atau khotbah. Sedangkan untuk bertugas sebagai imam ada tiga wakilnya: Habib Abdillah, A. Wachid Zaini dan Nurmin Dachlan. Hanya saja yang kadang-kadang dilakukan Hamka pada salat subuh, yaitu membaca Sajadah dengan sujud tilawah di pertengahan membaca surat tersebut, agaknya agak susah digantikan. Khotbah Hamka memang khas. Suaranya serak. Yang dikhotbahkan rasanya selalu sesuai dengan jamaah yang mendengarkan. "Itu memang kelebihan Hamka," cetus H.B. Jassin, kritikus sastra yang telah menerjemahkan Quran. Dan tambahnya: "Buya selalu memaskkan unsur sastra dalam dakwah, ceramah maupun khotbahnya. Makanya selalu menarik, manusiawi dan santai." Dan Buya tak hanya berkhotbah. Ia pun menulis untuk rubrik Dari Hati ke Hati dalam majalah Panji Masyarakat (PM) -- majalah yang didirikannya 23 tahun yang lalu. Rubrik itu merupakan rubrik tetap, selalu berisi masalah aktual yang berkaitan dengan agama Islam, dan merupakan cetusan nurani Buya sendiri. Menurut Rusydi, rubrik itulah yang paling digemari pembaca PM. Tulisan Buya dalam rubrik Dari Hati ke Hati terakhir tentang turunnya Quran. Dimuat dalam PM, 21 Juli yang lalu. Judulnya: 17 Ramadhan. Sebagai sastrawan yang pernah menulis enam novel dan sejumlah cerita pendek, tulisan dalam rubrik itu memang lain. Hamka tak hanya berpetuah. Ia pun menyuguhkan data sejarah, menambah pengetahuan bagi pembacanya. Dan terkadang tulisannya seperti menghibur. Misalnya penutup tulisan terakhirnya itu: "Kemenangan terakhir tetap pada orang yang bertaqwa . " Terasa Lowong Adapun tentang majalah PM sendiri, agaknya tak menghadapi kegawatan berhubung meninggalnya Hamka. Sudah sejak 10 tahun lalu, kedudukannya sebaga pemimpin redaksi dan penanggung jawab telah digantikan Rusydi. Hamka hanya mengisi Dari HAti ke Hati. Itu pun tak selalu: kalau dia sedang tak berada di Indonesia, Rusydi yang mengisinya. Tapi, kekosongan yang barangkali paling terasakan adalah bagi umat yang suka mendengarkan kuliah subuhnya, khotbah Jumatnya, ceramah-ceramahnya dan yang suka bertemu Buya di rumahnya. "Susah mencari ganti Buya," kata Yunus Yahya. "Rasanya semua persoalan jika dihadapkan kepadanya.selalu selesai dengan memuaskan." Bagi Ibu Hatimah Santoso, 53 tahun, kabar meninggalnya Hamka memang cukup mengejutkan. Ibu dari Surabaya itu selama ini sering mengunjungi Buya ke Jakarta. "Hati saya tenteram apabila sudah bertemu Buya dan bisa mengutarakan isi hati. Buya adalah penunturl jiwa dan iman saya," tutur ibu dari 17 anak dan nenek dari 9 cucu itu. Agaknya perannya sebagai pembimbing umat itulah yang paling terasa lowong. Sebagai orang tua yang banyak membaca, seorang ulama yang juga gemar musik dan mistik, jalan yang diberikan kepada mereka yang sedang dirundung masalah memang bisa menenteramkan . Maka bagi yang ditinggalkan, akan ada selalu kenangan: di Padang baru-baru ini sebuah jalan mendapat nama baru Jl. Ki Hajar Dewantara telah diubah menjadi Jl. Prof. Dr. Hamka *). *) Ki Hajar Dewantara, tokoh Taman Siswa itu pernah berwasiat agar namanya jangan dijadikan nama jalan .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus