Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Yang "Hijau" Atau "Lembut"

Konperensi PBB tentang sumber energi baru dan diperbarui (unerg) di Nairobi, Kenya, membahas berbagai sumber energi alternatif di negara berkembang, seperti tenaga surya, angin, biogas, air, dst.(ilt)

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITIKAD negara industri maju terhadap Dunia Ketiga disorot lagi. Kali ini dalam Konperensi PBB tentang Sumber Energi Baru dan Diperbarui (UNERG). Berlangsung pekan ini di Nairobi, Kenya, konperensi itu bertujuan mengembangkan berbagai sumber energi alternatif di negara berkembang. Pada hakikatnya ia suatu kelanjutan dialog antara negara Dunia Ketiga dan negara industri maju dalam masalah pengalihan ilmu dan teknologi. Para penyelenggaranya berusaha tidak terlalu mengungkapkan segi politis. Namun sebagian negara Barat sudah berbicara dengan nada pongah. David Howell, Menteri Negara Energi Inggris, misalnya, mengatakan, negara Dunia Ketiga bisa mengharapkan bantuan Inggris bagi proyek energi hanya "jika negara Dunia Ketiga membantu membuat konperensi (Nairobi) itu konstruktif." Howell yang memimpin delegasi Pasaran Bersama Eropa bisa bernada demikian. Soalnya, Inggris dengan sumber minyak di Laut Utara kini cukup memiliki persediaan sumber energi bagi kebutuhannya. Sebaliknya banyak negara berkembang terpaksa memikirkan sumber energi alternatif. Begitu komentar John Stansell dari majalah New Scientist yang mewawancarai Howell. Memang konperensi Nairobi bukan tempat berpolitik. Seperti dikemukakan Menteri Pertambangan dan Energi, Soebroto, pekan lalu, "Kita tidak bermaksud menjadikan konperensi itu forum politik." Soebroto memimpin delegasi Indonesia ke konperensi itu. "Masalahnya adalah pembangunan teknis dan ekonomis," ujarnya. Ia mengakui memang ada aspek politisnya dalam bentuk perkembangan kerjasama antara negara berkembang. Konperensi ini penting walaupun bagi negara produsen minyak seperti Indonesia. "Jika kita bisa mengembangkan sumber energi alternatif, minyak itu bisa kita pakai dalam jangka waktu cukup lama," kata Soebroto. Sumber energi yang bakal dibahas di Nairobi meliputi tenaga surya, angin, panas bumi, biogas, air, pasang surut, gelombang dan berbagai macam lagi. Juga disorot kemungkinan pemanfaatan sumber energi seperti batu dan pasir minyak. Di dunia Barat semua itu dikenal sebagai teknologi energi "hijau" atau "lembut" atau "tepat guna". Sebaliknya di negara berkembang sumber energi semacam itu sering dilihat sebagai teknologi bermutu rendah, sehingga dicurigai itikad negara industri maju dalam hal ini. Teknologi itu bermutu rendah yang belum teruji, menurut pandangan Dunia Ketiga umumnya. Seperti dikemukakan Enrique Iglesias, orang Uruguay yang memimpin UNERG, banyak negara curiga bahwa mereka hanya digunakan sebagai "kelinci percobaan" bagi hasil utak-atik negara industri maju di bidang teknologi, sementara negara kaya itu terus ingin memonopoli sumber minyak sedunia. Kenyataannya sekarang hanya 8% suplai minyak sedunia dimanfaatkan langsung oleh negara Dunia Ketiga. Tapi problem energi yang dihadapi negara Dunia Ketiga agaknya terlalu serius untuk tidak menjajaki kemungkinan yang terkandung dalam sumber energi alternatif itu. Sebagian terbesar negara Dunia Ketiga terutama bergantung dari sumber energi minyak yang dari tahun ke tahun bertambah mahal. Bersamaan dengan itu harga produk ekspor utama negara Dunia Ketiga semakin merosot. Tahun 1975, misalnya, 1 ton gula masih bisa membeli 42 barrel minyak, tapi tahun ini hanya 15 barrel. Satu ton goni (ekspor utama Bangla Desh dan India) di tahun 1975 menghasilkan 35 barrel minyak, sedang tahun ini hanya 10 barrel. Faktor lain yang memperluas perbedaan pandangan itu ialah sikap negara industri maju yang tampaknya enggan menyediakan dana bagi berbagai proyek internasional hasil rumusan konperensi PBB terdahulu. Amerika Serikat misalnya -- terutama setelah Ronald Reagan terpilih sebagai presiden -- menolak menyumbang kepada dana atau lembaga baru PBB yang bertujuan mengembangkan energi alternatif. Berkata James Stromayer, pemimpin delegasi AS ke konperensi Nairobi: "Sekalipun pemerintah AS tidak menyediakan dana baru, hendaknya sektor swasta jangan diabaikan ." Berbagai perusahaan raksasa dari negara kaya itu memang bergairah. Terutama bidang pengembangan tenaga surya, menurut mereka, merupakan big business yang sangat padat modal -- bisa menandingi industri mobil dan baja dalam sepuluh tahun mendatang. Sekitar US$ 2 milyar (Rp 1,25 trilyun) setiap tahun dituangkan perusahaan raksasa Amerika dan Eropa ke dalam upaya pengembangan sumber tenaga alternatif itu. Nama-nama seperti Exxon, Shell, Boeing Co., Phillips, Westinghouse, Bell Telephone Co., Atlantic Richfield dan banyak lagi kini mendominasi teknologi itu. Terutama di bidang tenaga surya dan angin. AbduI Hameed Itu sebabnya semula konperensi di Nairobi hampir gagal karena tak banyak negara Dunia Ketiga yang berminat hadir. Tapi upaya diplomatik yang intensif sejak beberapa bulan lalu menyelamatkan pertemuan itu. Antara lain Menlu Sri Lanka, Abdul Hameed, mengelilingi Asia dan Timur Tengah untuk usaha itu. Betapa pun kecurigaan tadi itikad negara industri maju agaknya tak bisa diabaikan dalam usaha menghemat pemakaian energi minyak. Apa saja yang bisa disumbangkan sumber energi alternatif itu pada Dunia Ketiga hendak dijawab konperensi Nairobi. Secara teoretis kincir angin memang dapat memompakan air, dan listrik bisa dihasilkan dengan sel surya atau bendungan air mini. Tebu, ubi jalar ataupun hasil pertanian lainnya bisa dijadikan alkohol yang mengurangi kebutuhan akan bensin. Tapi semua itu tidak tanpa kesulitan. Brazil mengalaminya ketika mengembangkan program alkoholnya yang tersohor. Ternyata banyak teknologi pengolahan alkohol itu sudah menjadi paten berbagai perusahaan raksasa. Tampaknya tidak ada pemecahan menyeluruh yang berlaku rata bagi semua negara. Pemecahannya tergantung dari problem energi secara terperinci di negara masing-masing. Sebagian negara dalam dasawarsa mendatang, misalnya, bakal menemukan pemecahan problem energi mereka dalam memanfaatkan batubara. Dengan menambangnya sendiri atau melalui impor. Bagi sebagian negara, mungkin teknologi tenaga surya masih terlalu rumit. Semua problematik ini dibahas dalam konperensi Nairobi selama dua pekan sampai 21 Agustus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus