ITIKAD negara industri maju terhadap Dunia Ketiga disorot lagi.
Kali ini dalam Konperensi PBB tentang Sumber Energi Baru dan
Diperbarui (UNERG). Berlangsung pekan ini di Nairobi, Kenya,
konperensi itu bertujuan mengembangkan berbagai sumber energi
alternatif di negara berkembang.
Pada hakikatnya ia suatu kelanjutan dialog antara negara Dunia
Ketiga dan negara industri maju dalam masalah pengalihan ilmu
dan teknologi. Para penyelenggaranya berusaha tidak terlalu
mengungkapkan segi politis. Namun sebagian negara Barat sudah
berbicara dengan nada pongah. David Howell, Menteri Negara
Energi Inggris, misalnya, mengatakan, negara Dunia Ketiga bisa
mengharapkan bantuan Inggris bagi proyek energi hanya "jika
negara Dunia Ketiga membantu membuat konperensi (Nairobi) itu
konstruktif."
Howell yang memimpin delegasi Pasaran Bersama Eropa bisa bernada
demikian. Soalnya, Inggris dengan sumber minyak di Laut Utara
kini cukup memiliki persediaan sumber energi bagi kebutuhannya.
Sebaliknya banyak negara berkembang terpaksa memikirkan sumber
energi alternatif. Begitu komentar John Stansell dari majalah
New Scientist yang mewawancarai Howell.
Memang konperensi Nairobi bukan tempat berpolitik. Seperti
dikemukakan Menteri Pertambangan dan Energi, Soebroto, pekan
lalu, "Kita tidak bermaksud menjadikan konperensi itu forum
politik." Soebroto memimpin delegasi Indonesia ke konperensi
itu. "Masalahnya adalah pembangunan teknis dan ekonomis,"
ujarnya. Ia mengakui memang ada aspek politisnya dalam bentuk
perkembangan kerjasama antara negara berkembang.
Konperensi ini penting walaupun bagi negara produsen minyak
seperti Indonesia. "Jika kita bisa mengembangkan sumber energi
alternatif, minyak itu bisa kita pakai dalam jangka waktu cukup
lama," kata Soebroto.
Sumber energi yang bakal dibahas di Nairobi meliputi tenaga
surya, angin, panas bumi, biogas, air, pasang surut, gelombang
dan berbagai macam lagi. Juga disorot kemungkinan pemanfaatan
sumber energi seperti batu dan pasir minyak.
Di dunia Barat semua itu dikenal sebagai teknologi energi
"hijau" atau "lembut" atau "tepat guna". Sebaliknya di negara
berkembang sumber energi semacam itu sering dilihat sebagai
teknologi bermutu rendah, sehingga dicurigai itikad negara
industri maju dalam hal ini.
Teknologi itu bermutu rendah yang belum teruji, menurut
pandangan Dunia Ketiga umumnya. Seperti dikemukakan Enrique
Iglesias, orang Uruguay yang memimpin UNERG, banyak negara
curiga bahwa mereka hanya digunakan sebagai "kelinci percobaan"
bagi hasil utak-atik negara industri maju di bidang teknologi,
sementara negara kaya itu terus ingin memonopoli sumber minyak
sedunia. Kenyataannya sekarang hanya 8% suplai minyak sedunia
dimanfaatkan langsung oleh negara Dunia Ketiga.
Tapi problem energi yang dihadapi negara Dunia Ketiga agaknya
terlalu serius untuk tidak menjajaki kemungkinan yang terkandung
dalam sumber energi alternatif itu. Sebagian terbesar negara
Dunia Ketiga terutama bergantung dari sumber energi minyak yang
dari tahun ke tahun bertambah mahal. Bersamaan dengan itu harga
produk ekspor utama negara Dunia Ketiga semakin merosot. Tahun
1975, misalnya, 1 ton gula masih bisa membeli 42 barrel minyak,
tapi tahun ini hanya 15 barrel. Satu ton goni (ekspor utama
Bangla Desh dan India) di tahun 1975 menghasilkan 35 barrel
minyak, sedang tahun ini hanya 10 barrel.
Faktor lain yang memperluas perbedaan pandangan itu ialah sikap
negara industri maju yang tampaknya enggan menyediakan dana bagi
berbagai proyek internasional hasil rumusan konperensi PBB
terdahulu. Amerika Serikat misalnya -- terutama setelah Ronald
Reagan terpilih sebagai presiden -- menolak menyumbang kepada
dana atau lembaga baru PBB yang bertujuan mengembangkan energi
alternatif. Berkata James Stromayer, pemimpin delegasi AS ke
konperensi Nairobi: "Sekalipun pemerintah AS tidak menyediakan
dana baru, hendaknya sektor swasta jangan diabaikan ."
Berbagai perusahaan raksasa dari negara kaya itu memang
bergairah. Terutama bidang pengembangan tenaga surya, menurut
mereka, merupakan big business yang sangat padat modal -- bisa
menandingi industri mobil dan baja dalam sepuluh tahun
mendatang. Sekitar US$ 2 milyar (Rp 1,25 trilyun) setiap tahun
dituangkan perusahaan raksasa Amerika dan Eropa ke dalam upaya
pengembangan sumber tenaga alternatif itu. Nama-nama seperti
Exxon, Shell, Boeing Co., Phillips, Westinghouse, Bell Telephone
Co., Atlantic Richfield dan banyak lagi kini mendominasi
teknologi itu. Terutama di bidang tenaga surya dan angin.
AbduI Hameed
Itu sebabnya semula konperensi di Nairobi hampir gagal karena
tak banyak negara Dunia Ketiga yang berminat hadir. Tapi upaya
diplomatik yang intensif sejak beberapa bulan lalu menyelamatkan
pertemuan itu. Antara lain Menlu Sri Lanka, Abdul Hameed,
mengelilingi Asia dan Timur Tengah untuk usaha itu.
Betapa pun kecurigaan tadi itikad negara industri maju agaknya
tak bisa diabaikan dalam usaha menghemat pemakaian energi
minyak. Apa saja yang bisa disumbangkan sumber energi alternatif
itu pada Dunia Ketiga hendak dijawab konperensi Nairobi. Secara
teoretis kincir angin memang dapat memompakan air, dan listrik
bisa dihasilkan dengan sel surya atau bendungan air mini. Tebu,
ubi jalar ataupun hasil pertanian lainnya bisa dijadikan alkohol
yang mengurangi kebutuhan akan bensin.
Tapi semua itu tidak tanpa kesulitan. Brazil mengalaminya ketika
mengembangkan program alkoholnya yang tersohor. Ternyata banyak
teknologi pengolahan alkohol itu sudah menjadi paten berbagai
perusahaan raksasa.
Tampaknya tidak ada pemecahan menyeluruh yang berlaku rata bagi
semua negara. Pemecahannya tergantung dari problem energi secara
terperinci di negara masing-masing. Sebagian negara dalam
dasawarsa mendatang, misalnya, bakal menemukan pemecahan problem
energi mereka dalam memanfaatkan batubara. Dengan menambangnya
sendiri atau melalui impor. Bagi sebagian negara, mungkin
teknologi tenaga surya masih terlalu rumit. Semua problematik
ini dibahas dalam konperensi Nairobi selama dua pekan sampai 21
Agustus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini