MELALUI Dana Inpres pada tiap tahun anggaran, pemerintah
menyediakan jamban keluarga bagi penduduk pedesaan. Angka dari
Biro Pusat Statistik, menunjukkan pertambahan jumlah kakus tak
begitu menggembirakan dibanding kebutuhan. Pada 1971 misalnya,
hanya 21,9% dari seluruh rumah tangga yang membutuhkan yang
memiliki jamban keluarga. Sedangkan pada 1978, angka itu naik,
meskipun hanya menjadi 28,8%.
Sisanya, berarti harus puas dengan kakus bersama, kakus umum,
maupun sungai atau semak-semak di sela rumpun bambu.
Meskipun tiap tahun jumlahnya bertambah, jambanjamban itu
ternyata kurang dimanfaatkan. Di Banjar Purwekerta, Desa Gerih,
Kabupaten Badung, Bali, misalnya: dari sekitar 50 jamban yang
telah dibagikan, baru setengahnya berfungsi. Yang lain, mudah
dijumpai telantar di pekarangan rumah-rumah penduduk. "Kami
kesulitan air, di samping biaya yang dibutuhkan untuk
memasangnya amat mahal," kata Pan Sudana 45 tahun, salah seorang
penduduk di banar itu. Menurut Sudana, biaya pemasangan dari
pemerintah Rp 1.800 per jamban, sedangkan biaya sebenarnya yang
harus ditanggung sendiri oleh si penerima, mencapai jumlah
puluhan ribu rupiah.
Babi
Namun, andaikata ada air, kata Sudana, jamban berbentuk "leher
angsa" dari semen tadi, sudah langsung ia pasang seterimanya dua
tahun lalu. "Soalnya pasir dan bata sudah tersedia," ujarnya.
Untuk menyiram jamban, penduduk seperti Sudana harus mengambil
air di sungai sejauh 1 km dari rumah. Membuat sumur sendiri ia
tak mampu. "Mesti tersedia uang paling tidak seratus ribu
rupiah. Ke mana saya cari uang sebanyak itu? " ungkapnya.
Karena itu, sampai saat ini tiap kali hendak buang air besar,
Sudana tetap menenteng pacul menuju semak. "Dibuat lubangnya
dulu, kalau sudah beres ditutup lagi. Ibarat penyu bertelur,"
ujarnya sambil tertawa. Kebiasaan serupa juga dilakukan para
tetangganya.
Lebih dari itu, bagi sebagian penduduk desa-desa di Badung,
jamban keluarga malah dianggap merugikan. Sebab babi-babi
piaraan mereka tak bakal mendapat makanan gratis lagi. Meskipun
memberi makanan babi dengan kotoran manusia dilarang, sebagian
penduduk masih saja melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Soalnya, "babi saya cepat gemuk kalau makan seporsi kotoran
manusia tiap pagi," seperti kata salah seorang penduduk di situ.
Membiasakan penduduk memanfaatkan jamban, menurut Ny. Gde Wirya,
pimpinan banjar di Purwekerta, Desa Gerih, memerlukan waktu
lama. Ia mengaku sudah menjabat pimpinan banjar sejak 13 tahun
lalu, dan setiap kali rapat banjar, ia menekankan pentingnya
jamban. "Tapi hasilnya belum memuaskan," katanya.
Apakah jamban keluarga telah meningkatkan kesehatan penduduk?
"Kami belum pernah menelitinya," jawab dr. Wartini Pendit,
dokter Kabupaten Badung.
Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, proyek jamban keluarga juga
belum menggembirakan. Dari 100 jamban yang dibagikan kepada
penduduk Desa Besito, hanya setengahnya yang berfungsi.
"Masyarakat di sini lebih suka buang hajat di sungai, parit,
atau di kebun," kata Noorchan, carik desa itu. Padahal, menurut
dia, penyuluhan gencar dilalukan. Tiap bulan, 47 tenaga penyuluh
kesehatan menyebar di tiap RT memberi penerangan dalam rapat
warga.
Tapi penduduk Desa Gribig, masih di Kudus, seperti Munandir, 44
tahun, tetap jarang menggunakan jambannya. Ia hanya sempat
memanfaatkan kakus pemberian pemerintah itu sebulan setelah
terpasang. Selanjutnya ia lebih sukanongkrong di sungai.
Di malam hari jika hajat mendesak, Munandir terpaksa
membangunkan anak-anaknya untuk menemaninya pergi ke sungai.
Dengan terbirit-birit sambil membawa senter, ia menuju sungai
yang jaraknya 150 meter dari rumah. Dan ia puas. "Berak di
sungai tak ada masalah air, sedangkan di jamban, dengan air
seember tak cukup," ujarnya. Lagipula, "di jamban, baunya
membuat saya tak betah, " sahut Ngaripan, tetangga Munandir.
Di Kudus, pembuatan jamban keluarga ditangani oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten. Penduduk menerimanya dalam keadaan tinggal
pakai. Sayangnya, menurut beberapa penduduk, bangunan jamban itu
kurang baik. Septic-tank atau waduk penampung kotorannya,
terlalu dangkal, hanya 1 atau 2 meter. Begitu pula, jarak antara
waduk dengan lubang jamban terlalu dekat, cuma setengah meter.
Ini menyebabkan bau kotoran mudah menguap tiap kali jamban
dipakai.
Tapi bukan hanya kondisi jamban demikian itu yang membuat
penduduk jera. Sumur pompa yang termasuk dalam paket bantuan
pemerintah di desa itu, banyak yang tak berfungsi lagi.
Sumur-sumur pompa dibuat dengan kedalaman hanya 8 meter, padahal
di daerah itu rata-rata kedalaman sumur 12 meter. Di musim
kemarau, tentu saja air makin sulit keluar. Ini semua dirasakan
juga oleh penduduk Desa Undaan, dan Tanjungrejo di Kudus.
Hal itu mungkin bukan kesalahan penduduk. Sebab, seperti
dikeluhkan Wiryo, Ketua RK Desa Tanjungrejo, "uang bantuan
pemeliharaan jamban Rp 3.500 yang mestinya diterima penduduk,
selama ini tidak pernah sampai," katanya.
Digalakkan
Pembuatan jamban keluarga di Pinrang Sulawesi Selatan,
digalakkan sejak 1974, berdasar Proyek Inpres No. 6. Tiap tahun
daerah itu mendapat jatah 300 sampai 700 buah. Dalam tahun
anggaran 1981 /82 tersedia jatah 300 jamban dengan dana sebesar
Rp 3.750.000 untuk dua desa. "Selalu kami prioritaskan desa yang
sering kena penyakit menular, akibat sanitasi lingkungan yang
kurang baik," ujar Kepala Dinas Klesehatan Pinrang, dr.
Syahruddin Sanusi.
Desa Manarang, Kecamatan Mattiro Bulu, 183 km dari Ujungpandang,
baru pada 1978 memperoleh bantuan 20 jamban. Menurut Andil
Beddu, Lurah Manarang, penduduk waktu itu enggan menerima
bantuan cuma-cuma itu. Untung ia dapat akal. Jamban mula-mula
diberikan kepada penduduk yang 'terpandang' di desanya. "Supaya
bisa dicontoh oleh masyarakat sekitarnya," kata sang lurah.
Hasilnya, memang penduduk banyak mencontoh. Bantuan jamban
didesanya disertai setengah zak semen dan gambar contoh.
Bagaimana kesehatan penduduk setelah ada jamban keluarga?
"Penyakit masih tetap seperti biasa," kata seorang penduduk
Manarang, Abdul Hafid. Yaitu, "anak-anak sering demam, muntaber
dan malaria."
Untuk setiap jamban keluarga di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara, hanya tersedia dana Rp 15.000. Tentu saja tidak cukup.
"Itu hanya untuk beli klosetnya saja," kata Jaman Tarigan SH,
Kepala Bagian Pembangunan Deli Serdang. "Biaya Inpres itu
sifatnya memang hanya untuk merangsang swadaya masyarakat,"
sambungnya. Di Desa Percut, 30 km dari Medan, telah didrop
sebanyak 400 unit, karena dianggap tingkat kesehatan dan
kebersihan desa itu rawan.
Yang sama sekali gratis diberikan kepada penduduk, adalah di
Desa Melati 11, Kecamatan Perbaungan, 50 km dari Medan. Sebanyak
425 unit jamban keluarga, berdinding triplek dan atap rumbia,
dibangun di desa berpenduduk mayoritas suku Jawa itu dari dana
Inpres No. 7 tahun 1980/81. Kenapa gratis? "Karena, lokasi Hari
Krida Pertanian 1981 ada di desa itu," kata Tarigan. Tinggal,
apakah sesudah hari krida itu, penduduk desa mau memanfaatkannya
dan memeliharanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini