Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jamban, Di Sela Rumpun Bambu

Melalui dana inpres, pemerintah menyediakan jamban keluarga bagi penduduk di desa-desa. meskipun tiap tahun jumlahnya bertambah, namun jamban itu ternyata kurang dimanfaatkan.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELALUI Dana Inpres pada tiap tahun anggaran, pemerintah menyediakan jamban keluarga bagi penduduk pedesaan. Angka dari Biro Pusat Statistik, menunjukkan pertambahan jumlah kakus tak begitu menggembirakan dibanding kebutuhan. Pada 1971 misalnya, hanya 21,9% dari seluruh rumah tangga yang membutuhkan yang memiliki jamban keluarga. Sedangkan pada 1978, angka itu naik, meskipun hanya menjadi 28,8%. Sisanya, berarti harus puas dengan kakus bersama, kakus umum, maupun sungai atau semak-semak di sela rumpun bambu. Meskipun tiap tahun jumlahnya bertambah, jambanjamban itu ternyata kurang dimanfaatkan. Di Banjar Purwekerta, Desa Gerih, Kabupaten Badung, Bali, misalnya: dari sekitar 50 jamban yang telah dibagikan, baru setengahnya berfungsi. Yang lain, mudah dijumpai telantar di pekarangan rumah-rumah penduduk. "Kami kesulitan air, di samping biaya yang dibutuhkan untuk memasangnya amat mahal," kata Pan Sudana 45 tahun, salah seorang penduduk di banar itu. Menurut Sudana, biaya pemasangan dari pemerintah Rp 1.800 per jamban, sedangkan biaya sebenarnya yang harus ditanggung sendiri oleh si penerima, mencapai jumlah puluhan ribu rupiah. Babi Namun, andaikata ada air, kata Sudana, jamban berbentuk "leher angsa" dari semen tadi, sudah langsung ia pasang seterimanya dua tahun lalu. "Soalnya pasir dan bata sudah tersedia," ujarnya. Untuk menyiram jamban, penduduk seperti Sudana harus mengambil air di sungai sejauh 1 km dari rumah. Membuat sumur sendiri ia tak mampu. "Mesti tersedia uang paling tidak seratus ribu rupiah. Ke mana saya cari uang sebanyak itu? " ungkapnya. Karena itu, sampai saat ini tiap kali hendak buang air besar, Sudana tetap menenteng pacul menuju semak. "Dibuat lubangnya dulu, kalau sudah beres ditutup lagi. Ibarat penyu bertelur," ujarnya sambil tertawa. Kebiasaan serupa juga dilakukan para tetangganya. Lebih dari itu, bagi sebagian penduduk desa-desa di Badung, jamban keluarga malah dianggap merugikan. Sebab babi-babi piaraan mereka tak bakal mendapat makanan gratis lagi. Meskipun memberi makanan babi dengan kotoran manusia dilarang, sebagian penduduk masih saja melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Soalnya, "babi saya cepat gemuk kalau makan seporsi kotoran manusia tiap pagi," seperti kata salah seorang penduduk di situ. Membiasakan penduduk memanfaatkan jamban, menurut Ny. Gde Wirya, pimpinan banjar di Purwekerta, Desa Gerih, memerlukan waktu lama. Ia mengaku sudah menjabat pimpinan banjar sejak 13 tahun lalu, dan setiap kali rapat banjar, ia menekankan pentingnya jamban. "Tapi hasilnya belum memuaskan," katanya. Apakah jamban keluarga telah meningkatkan kesehatan penduduk? "Kami belum pernah menelitinya," jawab dr. Wartini Pendit, dokter Kabupaten Badung. Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, proyek jamban keluarga juga belum menggembirakan. Dari 100 jamban yang dibagikan kepada penduduk Desa Besito, hanya setengahnya yang berfungsi. "Masyarakat di sini lebih suka buang hajat di sungai, parit, atau di kebun," kata Noorchan, carik desa itu. Padahal, menurut dia, penyuluhan gencar dilalukan. Tiap bulan, 47 tenaga penyuluh kesehatan menyebar di tiap RT memberi penerangan dalam rapat warga. Tapi penduduk Desa Gribig, masih di Kudus, seperti Munandir, 44 tahun, tetap jarang menggunakan jambannya. Ia hanya sempat memanfaatkan kakus pemberian pemerintah itu sebulan setelah terpasang. Selanjutnya ia lebih sukanongkrong di sungai. Di malam hari jika hajat mendesak, Munandir terpaksa membangunkan anak-anaknya untuk menemaninya pergi ke sungai. Dengan terbirit-birit sambil membawa senter, ia menuju sungai yang jaraknya 150 meter dari rumah. Dan ia puas. "Berak di sungai tak ada masalah air, sedangkan di jamban, dengan air seember tak cukup," ujarnya. Lagipula, "di jamban, baunya membuat saya tak betah, " sahut Ngaripan, tetangga Munandir. Di Kudus, pembuatan jamban keluarga ditangani oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Penduduk menerimanya dalam keadaan tinggal pakai. Sayangnya, menurut beberapa penduduk, bangunan jamban itu kurang baik. Septic-tank atau waduk penampung kotorannya, terlalu dangkal, hanya 1 atau 2 meter. Begitu pula, jarak antara waduk dengan lubang jamban terlalu dekat, cuma setengah meter. Ini menyebabkan bau kotoran mudah menguap tiap kali jamban dipakai. Tapi bukan hanya kondisi jamban demikian itu yang membuat penduduk jera. Sumur pompa yang termasuk dalam paket bantuan pemerintah di desa itu, banyak yang tak berfungsi lagi. Sumur-sumur pompa dibuat dengan kedalaman hanya 8 meter, padahal di daerah itu rata-rata kedalaman sumur 12 meter. Di musim kemarau, tentu saja air makin sulit keluar. Ini semua dirasakan juga oleh penduduk Desa Undaan, dan Tanjungrejo di Kudus. Hal itu mungkin bukan kesalahan penduduk. Sebab, seperti dikeluhkan Wiryo, Ketua RK Desa Tanjungrejo, "uang bantuan pemeliharaan jamban Rp 3.500 yang mestinya diterima penduduk, selama ini tidak pernah sampai," katanya. Digalakkan Pembuatan jamban keluarga di Pinrang Sulawesi Selatan, digalakkan sejak 1974, berdasar Proyek Inpres No. 6. Tiap tahun daerah itu mendapat jatah 300 sampai 700 buah. Dalam tahun anggaran 1981 /82 tersedia jatah 300 jamban dengan dana sebesar Rp 3.750.000 untuk dua desa. "Selalu kami prioritaskan desa yang sering kena penyakit menular, akibat sanitasi lingkungan yang kurang baik," ujar Kepala Dinas Klesehatan Pinrang, dr. Syahruddin Sanusi. Desa Manarang, Kecamatan Mattiro Bulu, 183 km dari Ujungpandang, baru pada 1978 memperoleh bantuan 20 jamban. Menurut Andil Beddu, Lurah Manarang, penduduk waktu itu enggan menerima bantuan cuma-cuma itu. Untung ia dapat akal. Jamban mula-mula diberikan kepada penduduk yang 'terpandang' di desanya. "Supaya bisa dicontoh oleh masyarakat sekitarnya," kata sang lurah. Hasilnya, memang penduduk banyak mencontoh. Bantuan jamban didesanya disertai setengah zak semen dan gambar contoh. Bagaimana kesehatan penduduk setelah ada jamban keluarga? "Penyakit masih tetap seperti biasa," kata seorang penduduk Manarang, Abdul Hafid. Yaitu, "anak-anak sering demam, muntaber dan malaria." Untuk setiap jamban keluarga di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, hanya tersedia dana Rp 15.000. Tentu saja tidak cukup. "Itu hanya untuk beli klosetnya saja," kata Jaman Tarigan SH, Kepala Bagian Pembangunan Deli Serdang. "Biaya Inpres itu sifatnya memang hanya untuk merangsang swadaya masyarakat," sambungnya. Di Desa Percut, 30 km dari Medan, telah didrop sebanyak 400 unit, karena dianggap tingkat kesehatan dan kebersihan desa itu rawan. Yang sama sekali gratis diberikan kepada penduduk, adalah di Desa Melati 11, Kecamatan Perbaungan, 50 km dari Medan. Sebanyak 425 unit jamban keluarga, berdinding triplek dan atap rumbia, dibangun di desa berpenduduk mayoritas suku Jawa itu dari dana Inpres No. 7 tahun 1980/81. Kenapa gratis? "Karena, lokasi Hari Krida Pertanian 1981 ada di desa itu," kata Tarigan. Tinggal, apakah sesudah hari krida itu, penduduk desa mau memanfaatkannya dan memeliharanya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus