Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lambat Naik Korupsi Heli

Pengusutan dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 oleh KPK dan TNI tersendat. Mengalami kendala saksi dari TNI.

20 Juni 2018 | 00.00 WIB

Lambat Naik Korupsi Heli
Perbesar
Lambat Naik Korupsi Heli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

GENAP setahun Irfan Kurnia Saleh menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara pada Sabtu pekan lalu. Perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi itu tak kunjung naik ke persidangan. "Ada kendala dalam pemeriksaan di luar swasta," kata Maqdir Ismail, pengacara Irfan, awal Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Irfan sebagai tersangka pada 16 Juni tahun lalu. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, ketika mengumumkan status tersangka Irfan, mengatakan bos PT Diratama Jaya Mandiri ini diduga menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Irfan disangka menaikkan harga helikopter AW101 dari Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar pada tahun anggaran 2016-2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kasus ini merupakan investigasi bersama antara KPK dan Pusat Polisi Militer TNI karena diduga melibatkan sejumlah perwira TNI aktif. Pada Mei 2017, Panglima TNI saat itu, Gatot Nurmantyo, mendatangi kantor komisi antikorupsi untuk melakukan pengusutan bersama kasus ini. Setelah bertemu dengan pimpinan KPK, Gatot mengatakan Pusat Polisi Militer TNI tengah menyidik perkara itu dan telah menetapkan beberapa tentara aktif dari TNI Angkatan Udara sebagai tersangka.

Gatot yang meminta pembelian satu helikopter AW101 itu dibatalkan. Melalui surat tanggal 14 September 2016, Gatot menyatakan pembelian heli AW101 melanggar sejumlah aturan pengadaan alat utama sistem persenjataan. Presiden Joko Widodo bahkan menolak usul itu dalam rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, pada 3 Desember 2015. Rencana awalnya TNI akan membeli 16 unit. Jokowi menganggap helikopter Super Puma masih bisa dipakai. Presiden juga menilai AW101 terlalu mahal. Tapi pihak TNI Angkatan Udara, yang saat itu dipimpin Marsekal Agus Supriatna, ngotot membeli heli tersebut.

Dari investigasi Polisi Militer TNI, ada lima perwira yang menjadi tersangka. Mereka adalah Marsekal Pertama TNI Fachri Adamy sebagai pejabat pembuat komitmen; Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas; Pembantu Letnan Dua SS, yang diduga menyalurkan dana ke pihak tertentu; Marsekal Muda TNI SB, yang pernah menjabat Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara; dan Kolonel FTS, Direktur Unit Layanan Pengadaan TNI Angkatan Udara.

Irfan Kurnia Saleh diduga bekerja sama dengan tersangka dari militer untuk meloloskan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang lelang. Salah satu indikasinya, sewaktu TNI Angkatan Udara menggelar lelang pada Juli 2016, hanya ada dua perusahaan yang berpartisipasi, yakni PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang. PT Karya Cipta Gemilang merupakan perusahaan milik Bennyanto, yang juga bekerja di PT Diratama.

Dalam perjalanannya, perkara ini ternyata tersendat-sendat. Bukan hanya Irfan dari kubu swasta, para tersangka militer pun belum naik ke meja hijau. Seorang aparat penegak hukum mengatakan salah satu kendala dari pelimpahan berkas ini adalah belum adanya hitungan kerugian negara yang paten karena ada beberapa tambahan teknologi yang disematkan tim pengadaan TNI Angkatan Udara. "Memang ada selisih harga sebelum markup," ujar sumber ini. "Tapi itu belum bisa disebut kerugian."

Bukan hanya kerugian negara, menurut penegak hukum ini, kendala lain adalah para tersangka dari kubu TNI Angkatan Udara belum bisa diperiksa untuk Irfan. Mereka mangkir tak memenuhi panggilan KPK pada 7 Mei lalu. Seorang sumber mengatakan penyidik sebelumnya sudah meminta berkas-berkas tersangka kepada Polisi Militer TNI pada akhir tahun lalu. "Tapi sampai saat ini belum ada jawaban," katanya. Opsi lain pun ditempuh, yakni memeriksa langsung anggota TNI itu untuk tersangka Irfan. Mereka ternyata tak datang.

KPK meminta berkas dan pemanggilan saksi dari TNI itu mengacu pada Pasal 42 Undang-Undang KPK. Pasal itu menyebutkan KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebuah perkara di peradilan umum dan militer.

Pada Januari lalu, saat diperiksa penyidik KPK, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Agus Supriatna, bahkan menolak memberikan keterangan kepada penyidik KPK. Ia memenuhi panggilan setelah mangkir dua kali. Tapi, kepada penyidik saat itu, Agus menolak menyampaikan keterangan karena informasi yang ditanyakan seputar rahasia negara. "Prajurit itu punya sumpah prajurit," ucapnya.

Komisi lantas memanggil kembali Agus pada awal Mei lalu, tapi ia tak memenuhi panggilan. Pada 6 Juni lalu, Agus memenuhi panggilan KPK. Menurut dia, pengadaan ini tidak ada masalah. "Sebenarnya semua itu bisa duduk bersama level-level Menteri Pertahanan dan Panglima TNI. Kita pecahkan bersama di mana ini masalahnya," ujarnya seusai pemeriksaan. Agus mengaku direndahkan KPK karena pernah dibilang mangkir dalam pemeriksaan. "Sampai saat ini saya tak pernah terima undangannya."

Sumber penegak hukum lain mengatakan pihak diduga TNI tertutup karena KPK tidak hanya mengusut pengadaan helikopter AW101. KPK, kata dia, juga tengah menelusuri "pungutan liar" yang diduga dilakukan TNI Angkatan Udara kepada pemenang lelang atau dikenal dengan istilah dana komando. Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, dana komando ini potongan 4 persen dari anggaran proyek. Dana itu dipotong otomatis ketika TNI Angkatan Udara membayar rekening penampungan PT Diratama di sebuah bank pelat merah.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif tak menyangkal ada temuan ini. Dia berjanji bahwa lembaganya akan menelusuri ihwal dana komando ini. "Kalau ada temuan lain tentu akan kami kembangkan," ujarnya.

Agus Supriatna mengaku tak tahu-menahu soal potongan dana komando sebesar 4 persen. "Tidak ada itu potong-potong. Makanya saya kaget. Sebaiknya tanya mereka saja," ujar Agus dalam beberapa kesempatan wawancara dengan Tempo.

Sedangkan Irfan Kurnia Saleh, melalui Maqdir Ismail, membenarkan adanya potongan dana komando itu. Bahkan Irfan sempat melayangkan surat protes ke TNI Angkatan Udara. Ketika kasus ini mencuat, menurut Maqdir, dana yang sempat dipotong dikembalikan kepada Irfan. "Ada seorang kolonel yang menghubungi Pak Irfan dan mengantarkan langsung dana yang dipotong itu dalam bentuk cash," tutur Maqdir.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan lembaganya tetap berharap Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beserta jajarannya memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus ini. "Mengingat penyidikan kasus sudah dilakukan sejak 2017, penanganan perkara lintas yurisdiksi institusi sipil dan militer ini memang membutuhkan komitmen yang sama-sama kuat, baik KPK maupun TNI," kata Febri.

Laode Muhammad Syarif mengatakan pimpinan KPK akan segera menemui pimpinan TNI guna membahas percepatan kasus ini. Menurut Syarif, keterangan para tentara aktif sangat diperlukan agar perkara tersangka dari pihak sipil, Irfan Kurnia Saleh, bisa segera dibawa ke pengadilan. "Akan kami koordinasikan lagi penanganan kasus ini," ujarnya.

Hadi menjadi Panglima TNI menggantikan Gatot Nurmantyo pada Desember 2017. Setelah menjalani pelantikan di Istana Negara, Hadi berjanji mengawal kasus ini hingga ke pengadilan. "Nanti saya kawal," ucapnya. Enam bulan setelah Hadi menjadi panglima, kasus ini tak kunjung ke pengadilan.

Hadi sesungguhnya tidak asing dengan dugaan penyelewengan pembelian helikopter AgustaWestland ini. Heli AW101 yang tetap dibeli di era Agus Supriatna tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada Februari 2017 atau tak sampai satu bulan setelah Hadi dilantik menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Atas perintah Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Hadi lantas membuka investigasi untuk melihat dugaan penyimpangan dalam pembelian heli.

Enam bulan berselang, Polisi Militer TNI menetapkan tersangka kasus ini. Pada Agustus tahun lalu, Polisi Militer menetapkan Marsekal Muda SB, yang saat proyek bergulir adalah Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara, sebagai tersangka. Sejak itu, belum ada satu pun tersangka yang perkaranya dibawa ke pengadilan.

KPK dan TNI pernah sukses menangani kasus bersama-sama hingga ke pengadilan. Penanganan kasus ini terjadi saat Panglima TNI dijabat Gatot Nurmantyo. Kasus itu adalah suap proyek pengadaan satellite monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan tersangka Laksamana Pertama Bambang Udoyo, yang belakangan divonis 4 tahun 6 bulan dan dipecat dari kesatuan militer. Selain memeriksa Bambang, KPK tidak kesulitan memeriksa Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo untuk tersangka dari pihak sipil.

Dalam beberapa kesempatan, kepada wartawan, Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal TNI Dodik Wijanarko mengatakan pihaknya akan melakukan yang terbaik untuk menuntaskan kasus ini. Prosesnya, kata dia, memang hati-hati sehingga membutuhkan waktu. "Kami tidak mau sembrono," ujarnya. "Mungkin ini dibilang lambat, tapi saya lebih senang lambat tapi pasti." Dodik juga berjanji Polisi Militer TNI akan selalu membantu KPK.

Syailendra Persada, Linda Trianita, Anton A., Ninis Chairunnisa


Pengadaan yang Ditentang Jokowi

2015

Awal Mei
TNI Angkatan Udara berencana membeli helikopter AW101 sebagai tunggangan Presiden Joko Widodo.

Pertengahan Mei
TNI Angkatan Udara meminta Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama Jaya Mandiri, mengirimkan proposal harga dan spesifikasi heli AW101.

Pertengahan Oktober
Irfan membayar booking fee US$ 1 juta ke AgustaWestland, produsen heli ini.

November
Rencana pembelian heli AW101 menuai kontroversi dan dikecam sejumlah kalangan.

3 Desember
Dalam rapat terbatas di Istana Negara, Presiden Jokowi meminta rencana pembelian heli AW101 dibatalkan.
"Kalau ada penyelewengan, tahu sendiri akibatnya," kata Jokowi.

2016

Januari
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna tetap merencanakan pembelian heli AW101.

Mei
TNI Angkatan Udara mengganti peruntukan AW101 menjadi heli angkut sekaligus search and rescue (SAR).
"Yang ditolak itu untuk VVIP. Ini untuk pasukan dan SAR tempur, sesuai dengan kajian TNI AU," ujar Agus Supriatna.

Pertengahan Mei
TNI Angkatan Udara, melalui PT Diratama Jaya Mandiri, mengirimkan surat permintaan harga dan spesifikasi kepada AgustaWestland.

Pertengahan Juni
TNI Angkatan Udara mengundang Irfan Kurnia Saleh untuk rapat persiapan pengadaan. Irfan diminta menyiapkan satu perusahaan lagi untuk mengikuti lelang.

24 Juni
Irfan kembali datang ke markas TNI Angkatan Udara untuk mengikuti rapat lelang. Dia sudah menyiapkan perusahaan lain, yaitu PT Karsa Cipta Gemilang.

29 Juli
TNI Angkatan Udara meneken kontrak kerja sama dengan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang lelang untuk pengadaan heli AW101 seharga Rp 738 miliar.

5 September
PT Diratama Jaya Mandiri menerima pembayaran tahap pertama dari TNI Angkatan Udara sebesar Rp 436 miliar. Namun dipotong untuk "dana komando" sehingga hanya mendapat Rp 418 miliar.

28 Desember
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membentuk tim investigasi.

2017

Awal Februari
Heli AW101 tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

7 Februari
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto, pengganti Agus Supriatna, juga membentuk tim investigasi.

26 Mei
Setelah mengunjungi pimpinan KPK, Gatot Nurmantyo mengumumkan tiga orang anggota TNI Angkatan Udara menjadi tersangka. Belakangan, dua orang lainnya dari TNI Angkatan Udara menjadi tersangka.
- Marsekal Pertama TNI Fachri Adamy sebagai pejabat pembuat komitmen
- Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas
- Pembantu Letnan Dua SS, yang diduga menyalurkan dana ke pihak tertentu
- Marsekal Muda TNI SB, yang pernah menjabat Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara
- Kolonel FTS, Direktur Unit Layanan Pengadaan TNI Angkatan Udara

16 Juni
KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka.

17 Oktober
Pusat Polisi Militer TNI meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit pengadaan heli AW101.

10 November
Irfan, yang mengajukan gugatan praperadilan, kalah dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

2018

28 April
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan adanya aliran uang pembelian heli AW101 ke luar negeri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus