Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"apa ini bukan permainan?"

9 film cic (cinema international corp) lolos pere- daran. sebelumnya film ini kena skorsing deppen, karena masuk secara tidak wajar. dianggap ada permainan antara importir dengan direktor bina film.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADEN Mas Sutarto, pensiunan Ketua Badan Sensor Film (BSF) yang dulu menyertakan tanda tangannya pada film yang lolos sensor, ternyata belum meninggalkan dunia film. erllenti dari pekerjaan sensor, Sutarto mendapat kehormatan menjadi Ketua Tim Pendamping Konsorsium Film Impor. Tugasnya: "memberikan petunjuk dan pengarahan dalam rapat anggota konsorsium film impor untuk menetapkan judul dan harga film yang akan diimpor. Mengambil langkah-langkah untuk menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan impor/pengeluaran film yang telah ditetapkan dari pabean. Mengadakan koordinasi antara konsorsium-konsorsium film impor dan PT Perfin dalam bidang distribusi film impor dan film nasional." Semacam Panjar Merasa diri sebagai pejuang dan "bukan sekedar pegawai yang melakukan tugas rutin," Sutarto betul-betul serius dengan jabatan barunya yang mula-mula tidak lebih dari sekedar jabatan kehormatan. Salah satu contoh keseriusan Sutarto bisa ditemukan pada suratnya tertanggal 9 September lalu. Surat yang ditujukan kepada Dirjen Radio, Film dan Televisi itu secara terang-terangan membongkar 'permainan' yang terjadi di Direktorat Bina Film Deppen. Syahdan, keributan itu bersumber dari lolosnya ke dalam peredaran 9 film CIC (Cinema Internasional Corp) yang lama tertimbun di Halim Perdana Kusuma, milik PT Dewi Ratih Film yang kena skorsing Deppen. "Film itu telah masuk secara tidak wajar," kata Sutarto, yang merasa wewenangnya dilanggar pihak Direktorat Bina Film Deppen. "Anehnya pula," tambah Sutarto, "izin yang diberikan untuk mellgeluarkan 9 film itu didasarkan pada jatah kuota impor 1977/1978. Jadi semacam panjar. Drs Sunaryo ST, Direktur Bina Film Deppen, tidak tinggal diam. "Ah, pemasukan film-film CIC itu wajar." Bagaimana duduk soalnya, Pak? "PT Dewi Ratih yang masih diskors itu telah menyerahkan film-film tersebut kepada PT Jati Film. Jadi film-film itu masuk sebagai milik Jati Film." Keterangan Sunaryo itu diperkuat oleh Herman Samadikun SH, pengacara, Direktur Jati Film dan Ketua Konsorsium Film Amerika, Eropa II. "Sudah ada penyelesaian antara kami dengan Dewi Ratih pada tanggal 19 Agustus yang lalu," kata Samadikun. Keterangan Sunaryo dan Samadikun masih belum mernuaskan. Tentu saja Sunaryo mcmberi keterangan ambahan. "Izin masuk bagi 9 film itu didasarkan pada SK Menteri No. 194/Kep/Menpen/1977." Dalam surat keputusan menteri yang disebut itu, diatur pemberian jatah impor bagi 'film-film Indonesia teladan.' Yang jadi masalah sekarang: bagaimana, dan bagian mana dari Direktorat Bina Film Deppen, yang bisa menilai sebuah film nasional sebagai 'film teladan' atau bukan? Apa lagi kalau film itu masih belum lagi selesai. "Apa Deppen bisa menilai film Operasi Tinombala sebagai film teladan sementara film itu belum selesai?" tanya Sutarto. Dan yang lebih menarik lagi, sebuah film yang bahkan cerita dan judulnya belum diciptakan, sudah pula dinilai sebagai film teladan. "Apa ini bukan permainan?" Sutarto bertanya. Soal ada tidaknya permainan antara importir dan pihak Direktorat Bina Film Deppen, silakan Opstib mengurus. Tapi barangkali ada juga baiknya diketahui bahwa keputusan Sunaryo untuk mengizinkan masuknya 9 film CIC itu bermula pada surat Herman Samadikun tertanggal 25 Agustus yang lalu. Lewat surat itu, Samadikun -- dalam kedudukannya sebaga tokoh konsorsium -- memohon bantuan Sunaryo bagi PT, Jati Film -- yang juga dipimpin Herman Samadikun sendiri. Lantaran Jati Film lagi membikin film Operasi Tinombala, yang "memerlukan biaya yang sangat besar" dan "sekaligus anggota kami itu sedang mempersiapkan suatu produksi film cerita mengenai perjuangan revolusi fisik yang judulnya akan kami kirimkan dalam waktu dekat," maka dimohonlah bantuan Sunaryo supaya merekomendasikan film-film CIC tersebut. Sunaryo mengabulkan permohonan Samadikun itu. Dan seperti diketahui film-film yang dimaksud tadinya masuk ke sini atas nama PT Dewi Ratih Film. Tak bisa lolos, berhubung PT tersebut terkena skorsing -- akibat tidak mematuhi ketentuan pemerintah tentang keharusan produksi sebagai imbalan izin impor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus