RADEN Mas Sutarto, pensiunan Ketua Badan Sensor Film (BSF) yang
dulu menyertakan tanda tangannya pada film yang lolos sensor,
ternyata belum meninggalkan dunia film. erllenti dari pekerjaan
sensor, Sutarto mendapat kehormatan menjadi Ketua Tim Pendamping
Konsorsium Film Impor. Tugasnya: "memberikan petunjuk dan
pengarahan dalam rapat anggota konsorsium film impor untuk
menetapkan judul dan harga film yang akan diimpor. Mengambil
langkah-langkah untuk menjamin ketertiban dan kelancaran
pelaksanaan impor/pengeluaran film yang telah ditetapkan dari
pabean. Mengadakan koordinasi antara konsorsium-konsorsium film
impor dan PT Perfin dalam bidang distribusi film impor dan film
nasional."
Semacam Panjar
Merasa diri sebagai pejuang dan "bukan sekedar pegawai yang
melakukan tugas rutin," Sutarto betul-betul serius dengan
jabatan barunya yang mula-mula tidak lebih dari sekedar jabatan
kehormatan. Salah satu contoh keseriusan Sutarto bisa ditemukan
pada suratnya tertanggal 9 September lalu. Surat yang ditujukan
kepada Dirjen Radio, Film dan Televisi itu secara
terang-terangan membongkar 'permainan' yang terjadi di
Direktorat Bina Film Deppen.
Syahdan, keributan itu bersumber dari lolosnya ke dalam
peredaran 9 film CIC (Cinema Internasional Corp) yang lama
tertimbun di Halim Perdana Kusuma, milik PT Dewi Ratih Film yang
kena skorsing Deppen. "Film itu telah masuk secara tidak wajar,"
kata Sutarto, yang merasa wewenangnya dilanggar pihak Direktorat
Bina Film Deppen. "Anehnya pula," tambah Sutarto, "izin yang
diberikan untuk mellgeluarkan 9 film itu didasarkan pada jatah
kuota impor 1977/1978. Jadi semacam panjar.
Drs Sunaryo ST, Direktur Bina Film Deppen, tidak tinggal diam.
"Ah, pemasukan film-film CIC itu wajar." Bagaimana duduk
soalnya, Pak? "PT Dewi Ratih yang masih diskors itu telah
menyerahkan film-film tersebut kepada PT Jati Film. Jadi
film-film itu masuk sebagai milik Jati Film." Keterangan Sunaryo
itu diperkuat oleh Herman Samadikun SH, pengacara, Direktur Jati
Film dan Ketua Konsorsium Film Amerika, Eropa II. "Sudah ada
penyelesaian antara kami dengan Dewi Ratih pada tanggal 19
Agustus yang lalu," kata Samadikun.
Keterangan Sunaryo dan Samadikun masih belum mernuaskan. Tentu
saja Sunaryo mcmberi keterangan ambahan. "Izin masuk bagi 9
film itu didasarkan pada SK Menteri No. 194/Kep/Menpen/1977."
Dalam surat keputusan menteri yang disebut itu, diatur pemberian
jatah impor bagi 'film-film Indonesia teladan.' Yang jadi
masalah sekarang: bagaimana, dan bagian mana dari Direktorat
Bina Film Deppen, yang bisa menilai sebuah film nasional sebagai
'film teladan' atau bukan?
Apa lagi kalau film itu masih belum lagi selesai. "Apa Deppen
bisa menilai film Operasi Tinombala sebagai film teladan
sementara film itu belum selesai?" tanya Sutarto. Dan yang lebih
menarik lagi, sebuah film yang bahkan cerita dan judulnya belum
diciptakan, sudah pula dinilai sebagai film teladan. "Apa ini
bukan permainan?" Sutarto bertanya.
Soal ada tidaknya permainan antara importir dan pihak Direktorat
Bina Film Deppen, silakan Opstib mengurus. Tapi barangkali ada
juga baiknya diketahui bahwa keputusan Sunaryo untuk mengizinkan
masuknya 9 film CIC itu bermula pada surat Herman Samadikun
tertanggal 25 Agustus yang lalu.
Lewat surat itu, Samadikun -- dalam kedudukannya sebaga tokoh
konsorsium -- memohon bantuan Sunaryo bagi PT, Jati Film -- yang
juga dipimpin Herman Samadikun sendiri. Lantaran Jati Film lagi
membikin film Operasi Tinombala, yang "memerlukan biaya yang
sangat besar" dan "sekaligus anggota kami itu sedang
mempersiapkan suatu produksi film cerita mengenai perjuangan
revolusi fisik yang judulnya akan kami kirimkan dalam waktu
dekat," maka dimohonlah bantuan Sunaryo supaya merekomendasikan
film-film CIC tersebut.
Sunaryo mengabulkan permohonan Samadikun itu. Dan seperti
diketahui film-film yang dimaksud tadinya masuk ke sini atas
nama PT Dewi Ratih Film. Tak bisa lolos, berhubung PT tersebut
terkena skorsing -- akibat tidak mematuhi ketentuan pemerintah
tentang keharusan produksi sebagai imbalan izin impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini