Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pemerataan Itu Masih Timpang

Sejak 1973, pemerintah menyediakan buku-buku sd ordie menerbitkan bukunya. dibagikan kebeberapa penerbit. ternyata setelah terbit mutu buku kurang memuaskan.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SADAR akan pentingnya buku bacaan untuk murid SD, pemerintah lewat Instruksi Presiden sejak 1973 menyelenggarakan program penyediaan buku. Sampai tahun ini sudah Rp 5,3 milyar terpakai untuk mencetak 30 juta buku. Dua tahun mendatang jumlah itu akan ditambah dengan Rp 2,2 milyar. Buku-buku itu menurut rencana akan menempati rak perpustakaan SD yang berjumlah 80 ribu. Tiap SD akan menyimpan 100 judul: satu buku untuk satu judul. Tiap tahun Inpres buku bacaan SD menjadwalkan pembelian 300 judul. Pada 1973, proyek ini secara langsung memesan buku pada sejumlah penerbit, yang sebelum adanya Inpres memang sudah bergerak dalam bidang penyediaan bacaan anak-anak. Pesanan pada Balai Pustaka dan Pustaka Jaya saja sudah mendekati 150 judul tahun ini. Pada tahun perlama pemilihan buhu Impres itu berjalan tenang. Dipimpin oleh Ny. Moliar Ammad, untuk 1973 cukup banyak yang tersedia di pasaran. Tapi untuk tahun-tahun berikutnya dengan buku yang siap dipilih itu agak berkurang. Jika pada tahun pertama, tim penilai di bawah Ny. Moliar itu hanya menjatuhkan pilihan pada buku yang sudah banyak beredar, maka mulai 1974 tim penilai memilih pula di antara buku-buku yang hanya dicetak sedikit. Buku-buku contoh atau nomor percobaan itu disodorkan oleh para penerbit yang kebanyakan baru muncul setelah adanya proyek Inpres. Tak heran kalau tim di Jl. Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta jadi ramai. Tapi tim yang dipimpin Ny. Moliar itu berpindah tangan di tahun 1976 kepada H. Winarno, masih pejabat P&K, di bawah pengawasan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Santoso Hanijoyo. Maka Winarno pun mengkoordinir anggota tim yang berjumlah 25 orang. Mereka kebanyakan adalah pejabat eselon III dan IV P&K, di samping yang berasal dari Departemen Agama dan Dalam Negeri, plus beberapa pengawas. Orang Dalam Mengingat buku yang harus dipilib itu 3.000 judul tiap tahun, maka tim dibagi dua. Kriteria penilaian menurut Dirjen Santoso, antara lain: tak bertentangan dengan kurikulum SD, sesuai dengan kebenaran ilmu, bersifat rekreasi dan bagus secara grafis pula. Tapi apa yang kemudian terjadi ? Enam persyaratan pemilihan itu belum menjamin bersihnya hasil penilaian. Beberapa sumber penerbit menyebutkan "hampir 10%, dari milyaran dana yang tersedia itu jatuh kembali ke tangan orang dalam." Sebuah sumber penerbit, yang beranggapan cara begitu adalah biasa, menyatakan hal itu sudah berjalan sejak dua tahun lalu. Awal 1977 masih menurut cerita kalangan penerbit pimpinan tim mengajukan apa yang disebut 'dana taktis'. Jumlahnya kira-kira 10% dari omzet sebuah judul buku yang akan di jual. Alkisah, sebuah penerbit yang merasa senang mendapat order, setelah tanya sana-sini, akhirnya bersetuju menyisihkan Rp 2 juta untuk dana taktis itu. Dimasukkan dalam amplop, pemberian itu kabarnya dibubuhi tanda tangan dan nama penerbit. Dan amplop yang disegel dan dilapisi pita perekat itu dimasukkan dalam laci. Kalau benar begitu, pimpinan tim ingin mengesankan bahwa dana taktis itu bukan untuk masuk kantong satu dua orang. Tapi, seperti dikatakan seorang di P & K, adalah untuk "penertiban ke dalam." Apa pula itu? "Begini," sambung sumber itu memulai ceritanya. "Maksudnya untuk membagi rata agar mencegah jangan sampai ada anak buah tim yang main sendiri." Dengan kata lain, ada usaha untuk melakukan pemerataan pembagian rezeki. Winarno yang dihubungi TEMPO merasa tak kuasa memberi keterangan. Dengan cepat dia menunjuk orang lain yang ia pandang lebih berwenang. "Coba hubungi pak Tarwoco atau pak Prapto," katanya. Dr Tarwoco adalah direktur pada Direktorat Pendidikan Dasar dan Sekolah Luar Biasa. Sedang Suprapto M.Ed. adalah direktur pada Direktorat Sarana Pendidikan. Ternyata yang disebut terakhir itu juga tak banyak bicara. "Saya tak mengkoordinir tim yang dipimpin Winarno. Apa yang mereka lakukan saya tak tahu. Saya hanya menerima laporan-laporan angka-angka," katanya. Apa pula kata Dirjen Santoso? Dengan tandas dia menolak kabar- kabar tentang adanya pungutan itu. "Omong kosong," katanya. "Sampai ada bukti yang meyakinkan baru saya percaya." Tanpa mengharapkan jawaban, sang profesor menyambung: "Apa saya harus melampiaskan kecurigaan kepada anggota tim?" Dirjen Santoso mengakui juga sudah hampir setahun lalu ia mendengar kabar adanya pungutan yang oleh Opstib bisa dikategorikan sebagai "pungli". "Kalau memang punya bukti, mengapa penerbit tak melaporkannya kepada alat negara," tantangnya. Sulit juga. Tak ada kiranya penerbit yang berani menjawab tantangan itu, kalau saja mereka masih mengharapkan masuknya order. Menolong Yang Kecil Tanpa ingin menunjuk hidung, tibanya rezeki Inpres itu memang mengundang banyak pihak untuk menjadi penerbit. Karena pintu terbuka cukup lebar, dengan sendirinya penawaran mengalir masuk. Tak heran bila timbul persaingan untuk mendapatkan order. Maka untuk adilnya, pihak tim lalu menempuh prinsip "pemerataan" bagi penerbit juga. "Prinsip itu dilakukan dengan tetap menganut ukuran pemilihan yang telah ditetapkan," ujar Santoso. Menurut yang empunya cerita, prinsip ini bermaksud untuk menolong penerbit kecil. Bagi H. Rozali Usman, penerbit kawakan dari Bandung, prinsip pemerataan itu tak menjadi soal. "Kalau seseorang bisa mendirikan beberapa perusahaan penerbitan, apa salahnya," ujar Rozali dari rumahnya di daerah Kemang, Jakarta. Nah, Prinsip untuk membagi rata sampai yang kecil-kecil itu agaknya mudah ditembus juga, kalau seorang pengusaha pandai mendirikan beberapa usaha yang sama, sekalipun atas nama orang lain abau sanak keluarganya. Dan penerbit dari Bandung itu boleh merasa beruntung, karena perusahaannya (CV Remaja Karya) beroleh order 32 judul dari 90 judul buku yang diajukan. Namun begitu, ada pula penerbit yang bukunya diterima 100%. Karena buku yang disodorkannya bagus semua," kata Santoso. Mungkin yang dimaksudkan adalah penerbit Karya Nusantara, yang antara lain muncul dengan buku dunia binatang. Tak begitu jelas mengapa asas pemerataan itu tak berlaku untuk jenis bacaan seperti itu, sekalipun bisa saja order yang diajukan itu bagus semua. Kepada PT Gramedia, penerbit dan toko buku yang semakin jaya itu, pihak P&K misalnya membeikan order Matematika III dan IV, sedang jilid yang lain -- sejalan dengan azas pemerataan -- "jatuh pada penerbit lain," kata Nora Sutadi dari Gramedia Prinsip pemerataan itu, memang membuat lebih banyak tidak merasa senang. Asal saja mutu buku bisa tetap terjaga baik. Beberapa buku yang kini beredar menunjukkan masih adanya ketimpangan, yang kurang mendidik pada para pembacanya. Tanda baca, perpindahan alinea dan jalannya logika cerita banyak juga diabaikan. Buku Fajar Menyingsing misalnya memakai tanda (+) dan (-) sebagai ganti tanda petik (") yang lazimnya berlaku untuk suatu kutipan langsung. Sementara buku Bale Sigala-gala yang mengambil bentuk komik itu berkisah tentang tokoh-tokoh pewayangan yang imajiner, tapi tempat kejadiannya justru pada lingkungan hidup yang sesungguhnya. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), yang diketuai Ajip Rosidi dalam bulan Nopember tahun silam, sudah pula melayangkan surat pada Menteri P&K memberi saran-saran tentang tim penilai. Antara lain disebutkan agar panitia penilai tak dirahasiakan keanggotaannya, mengingat kedudukan mereka mewakili pribadi masing-masing dalam tim. Itu baik juga diperhatikan pihak P & K

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus