SADAR akan pentingnya buku bacaan untuk murid SD, pemerintah
lewat Instruksi Presiden sejak 1973 menyelenggarakan program
penyediaan buku. Sampai tahun ini sudah Rp 5,3 milyar terpakai
untuk mencetak 30 juta buku. Dua tahun mendatang jumlah itu akan
ditambah dengan Rp 2,2 milyar.
Buku-buku itu menurut rencana akan menempati rak perpustakaan SD
yang berjumlah 80 ribu. Tiap SD akan menyimpan 100 judul: satu
buku untuk satu judul. Tiap tahun Inpres buku bacaan SD
menjadwalkan pembelian 300 judul. Pada 1973, proyek ini secara
langsung memesan buku pada sejumlah penerbit, yang sebelum
adanya Inpres memang sudah bergerak dalam bidang penyediaan
bacaan anak-anak. Pesanan pada Balai Pustaka dan Pustaka Jaya
saja sudah mendekati 150 judul tahun ini.
Pada tahun perlama pemilihan buhu Impres itu berjalan tenang.
Dipimpin oleh Ny. Moliar Ammad, untuk 1973 cukup banyak yang
tersedia di pasaran. Tapi untuk tahun-tahun berikutnya dengan
buku yang siap dipilih itu agak berkurang. Jika pada tahun
pertama, tim penilai di bawah Ny. Moliar itu hanya menjatuhkan
pilihan pada buku yang sudah banyak beredar, maka mulai 1974 tim
penilai memilih pula di antara buku-buku yang hanya dicetak
sedikit. Buku-buku contoh atau nomor percobaan itu disodorkan
oleh para penerbit yang kebanyakan baru muncul setelah adanya
proyek Inpres.
Tak heran kalau tim di Jl. Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta
jadi ramai. Tapi tim yang dipimpin Ny. Moliar itu berpindah
tangan di tahun 1976 kepada H. Winarno, masih pejabat P&K, di
bawah pengawasan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr.
Santoso Hanijoyo. Maka Winarno pun mengkoordinir anggota tim
yang berjumlah 25 orang. Mereka kebanyakan adalah pejabat eselon
III dan IV P&K, di samping yang berasal dari Departemen Agama
dan Dalam Negeri, plus beberapa pengawas.
Orang Dalam
Mengingat buku yang harus dipilib itu 3.000 judul tiap tahun,
maka tim dibagi dua. Kriteria penilaian menurut Dirjen Santoso,
antara lain: tak bertentangan dengan kurikulum SD, sesuai dengan
kebenaran ilmu, bersifat rekreasi dan bagus secara grafis pula.
Tapi apa yang kemudian terjadi ? Enam persyaratan pemilihan itu
belum menjamin bersihnya hasil penilaian. Beberapa sumber
penerbit menyebutkan "hampir 10%, dari milyaran dana yang
tersedia itu jatuh kembali ke tangan orang dalam." Sebuah sumber
penerbit, yang beranggapan cara begitu adalah biasa, menyatakan
hal itu sudah berjalan sejak dua tahun lalu.
Awal 1977 masih menurut cerita kalangan penerbit pimpinan tim
mengajukan apa yang disebut 'dana taktis'. Jumlahnya kira-kira
10% dari omzet sebuah judul buku yang akan di jual. Alkisah,
sebuah penerbit yang merasa senang mendapat order, setelah tanya
sana-sini, akhirnya bersetuju menyisihkan Rp 2 juta untuk dana
taktis itu. Dimasukkan dalam amplop, pemberian itu kabarnya
dibubuhi tanda tangan dan nama penerbit. Dan amplop yang disegel
dan dilapisi pita perekat itu dimasukkan dalam laci. Kalau
benar begitu, pimpinan tim ingin mengesankan bahwa dana taktis
itu bukan untuk masuk kantong satu dua orang. Tapi, seperti
dikatakan seorang di P & K, adalah untuk "penertiban ke dalam."
Apa pula itu? "Begini," sambung sumber itu memulai ceritanya.
"Maksudnya untuk membagi rata agar mencegah jangan sampai ada
anak buah tim yang main sendiri." Dengan kata lain, ada usaha
untuk melakukan pemerataan pembagian rezeki.
Winarno yang dihubungi TEMPO merasa tak kuasa memberi
keterangan. Dengan cepat dia menunjuk orang lain yang ia
pandang lebih berwenang. "Coba hubungi pak Tarwoco atau pak
Prapto," katanya. Dr Tarwoco adalah direktur pada Direktorat
Pendidikan Dasar dan Sekolah Luar Biasa. Sedang Suprapto M.Ed.
adalah direktur pada Direktorat Sarana Pendidikan. Ternyata yang
disebut terakhir itu juga tak banyak bicara. "Saya tak
mengkoordinir tim yang dipimpin Winarno. Apa yang mereka
lakukan saya tak tahu. Saya hanya menerima laporan-laporan
angka-angka," katanya.
Apa pula kata Dirjen Santoso? Dengan tandas dia menolak kabar-
kabar tentang adanya pungutan itu. "Omong kosong," katanya.
"Sampai ada bukti yang meyakinkan baru saya percaya." Tanpa
mengharapkan jawaban, sang profesor menyambung: "Apa saya harus
melampiaskan kecurigaan kepada anggota tim?"
Dirjen Santoso mengakui juga sudah hampir setahun lalu ia
mendengar kabar adanya pungutan yang oleh Opstib bisa
dikategorikan sebagai "pungli". "Kalau memang punya bukti,
mengapa penerbit tak melaporkannya kepada alat negara,"
tantangnya. Sulit juga. Tak ada kiranya penerbit yang berani
menjawab tantangan itu, kalau saja mereka masih mengharapkan
masuknya order.
Menolong Yang Kecil
Tanpa ingin menunjuk hidung, tibanya rezeki Inpres itu memang
mengundang banyak pihak untuk menjadi penerbit. Karena pintu
terbuka cukup lebar, dengan sendirinya penawaran mengalir masuk.
Tak heran bila timbul persaingan untuk mendapatkan order. Maka
untuk adilnya, pihak tim lalu menempuh prinsip "pemerataan" bagi
penerbit juga. "Prinsip itu dilakukan dengan tetap menganut
ukuran pemilihan yang telah ditetapkan," ujar Santoso. Menurut
yang empunya cerita, prinsip ini bermaksud untuk menolong
penerbit kecil.
Bagi H. Rozali Usman, penerbit kawakan dari Bandung, prinsip
pemerataan itu tak menjadi soal. "Kalau seseorang bisa
mendirikan beberapa perusahaan penerbitan, apa salahnya," ujar
Rozali dari rumahnya di daerah Kemang, Jakarta. Nah, Prinsip
untuk membagi rata sampai yang kecil-kecil itu agaknya mudah
ditembus juga, kalau seorang pengusaha pandai mendirikan
beberapa usaha yang sama, sekalipun atas nama orang lain abau
sanak keluarganya. Dan penerbit dari Bandung itu boleh merasa
beruntung, karena perusahaannya (CV Remaja Karya) beroleh order
32 judul dari 90 judul buku yang diajukan.
Namun begitu, ada pula penerbit yang bukunya diterima 100%.
Karena buku yang disodorkannya bagus semua," kata Santoso.
Mungkin yang dimaksudkan adalah penerbit Karya Nusantara, yang
antara lain muncul dengan buku dunia binatang. Tak begitu jelas
mengapa asas pemerataan itu tak berlaku untuk jenis bacaan
seperti itu, sekalipun bisa saja order yang diajukan itu bagus
semua. Kepada PT Gramedia, penerbit dan toko buku yang semakin
jaya itu, pihak P&K misalnya membeikan order Matematika III dan
IV, sedang jilid yang lain -- sejalan dengan azas pemerataan --
"jatuh pada penerbit lain," kata Nora Sutadi dari Gramedia
Prinsip pemerataan itu, memang membuat lebih banyak tidak
merasa senang. Asal saja mutu buku bisa tetap terjaga baik.
Beberapa buku yang kini beredar menunjukkan masih adanya
ketimpangan, yang kurang mendidik pada para pembacanya. Tanda
baca, perpindahan alinea dan jalannya logika cerita banyak juga
diabaikan. Buku Fajar Menyingsing misalnya memakai tanda (+)
dan (-) sebagai ganti tanda petik (") yang lazimnya berlaku
untuk suatu kutipan langsung. Sementara buku Bale Sigala-gala
yang mengambil bentuk komik itu berkisah tentang tokoh-tokoh
pewayangan yang imajiner, tapi tempat kejadiannya justru pada
lingkungan hidup yang sesungguhnya.
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), yang diketuai Ajip Rosidi
dalam bulan Nopember tahun silam, sudah pula melayangkan surat
pada Menteri P&K memberi saran-saran tentang tim penilai. Antara
lain disebutkan agar panitia penilai tak dirahasiakan
keanggotaannya, mengingat kedudukan mereka mewakili pribadi
masing-masing dalam tim. Itu baik juga diperhatikan pihak P & K
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini