Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta dalam kenangan masa kecil Mukri adalah perkampung an yang rimbun. Hampir setiap rumah di kampung halamannya di wilayah Karang Tengah, Lebak Bulus, punya kebun luas yang padat ditumbuhi pepohonan. Lelaki 54 tahun ini masih ingat bagaimana seringnya dia berlari tergopoh-gopoh ketika melewati kebun kosong yang sepi dan gelap, sepulang mengaji di masjid selepas salat isya. Kenangan tentang kenakalannya mencuri durian tetangga yang jatuh dari pohon juga masih melekat hingga kini.
Mukri kecil juga gemar mandi di kali kecil dekat rumahnya. ”Airnya bersih dan banyak ikannya,” tuturnya tentang wajah kampungnya empat dekade silam. Kenangan indah Jakarta tempo dulu itu kembali berputar setiap dia menyusuri hutan Kali Pesanggrahan yang membelah wilayah Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di tempat itu dia bisa merasakan sejuknya udara bebas polusi di antara pohon-pohon rindang sambil menikmati kicauan burung, se perti saat bocah dulu.
Kawasan hijau dekat areal pemakam an di kampung Mukri itu adalah sepotong kecil Jakarta yang asri. Tak ada sampah berserakan. Air Kali Pesanggrah an mengalir lancar tanpa diganjal tumpuk an sampah. Di area seluas 40 hektare yang membentang sepanjang 20 kilometer di bantaran Kali Pesanggrahan itu tumbuh lebih dari 60 ribu pohon. Itu pun pohon jenis langka semacam buni, jamblang, kirai, salam, tanjung, kecapi, dan gandaria, dapat dijumpai di sana. Tumbuh juga sekitar 142 jenis tanaman obat. Di situ terdapat tambak ikan, tujuh mata air yang tak pernah kering sepanjang tahun, serta kebun sayur.
Siapa sangka, 15 tahun lalu tempat itu tak berbeda dengan kondisi su ngai-sungai di Jakarta lainnya. ”Kotor banget, airnya hitam, sampah ada di mana-mana,” ujar Chaerudin, 51 tahun, kepada Tempo awal Oktober lalu. Lelaki paruh baya inilah yang berjasa ”menyulap” bantaran Kali Pesanggrah an hingga seperti sekarang. Tindakan itu dilakukan setelah batinnya terusik melihat kampungnya makin tak keruan. Menurut dia, kerusakan itu terjadi sejak sejumlah kompleks perumahan berdiri di sekitar bantaran dan warga di perumahan tersebut ”rajin” buang sampah ke kali.
Tak seperti Mukri, Bang Idin—begitu Chaerudin biasa disapa—tak mau larut dalam nostalgia masa lalu. Dia mulai bekerja menghijaukan tanah kelahirannya sejak 1992. Seorang diri, Chaerudin menyusuri Kali Pesanggrahan dari hulu di Pangrango, Bogor, sampai ke Teluk Jakarta dengan rakit gedebok pisang demi mengukur tingkat kerusakan kali. Seorang diri pula dia membersihkan sampah dan membongkar tembok-tembok tinggi di sepanjang bantaran kali sebelum ditanami bibit-bibit tanaman. Ini membuatnya sering bersitegang de ngan orang yang seenaknya buang sampah di kali. Begitu juga dengan pemilik tembok tinggi yang merasa wilayahnya diserobot. Berkali-kali lelaki yang gemar berpakaian ala pendekar Betawi—lengkap dengan goloknya—harus berhadapan dengan polisi, aparat kelurahan, hingga aparat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Toh, akhirnya orang-orang mulai meng hargai kerja kerasnya. Warga sekitar dan pihak yang semula berseberang an dengannya malah turut bergabung membantu Idin menanam pohon. Mere ka bahkan membentuk kelompok tani Sangga Buana. ”Awalnya cuma di pinggir kali, tapi lama-kelamaan kampung juga mulai ditanami pepohonan,” tutur peraih penghargaan Kalpataru 1998 dan sederet penghargaan dari pemerintah Jerman, Prancis, serta Jepang itu.
Bahkan pihak pengembang perumahan membiarkan sebagian lahan mereka dihijaukan. Kerja keras mereka memperoleh ganjaran. Keasrian kampung Karang Tengah bukan cuma jadi obyek wisata alam dan penelitian. Banyak penduduk yang menuai hasil dari penghijauan di bantaran Sungai Pesanggrah an. Mereka bisa memasarkan hasil kebun berupa sayuran, buah, dan tanaman hias untuk membiayai kebutuhan keluarga. ”Apa yang kita lakukan harus bermanfaat untuk orang banyak. Alam itu bukan warisan nenek-moyang tapi titip an untuk anak-cucu,” katanya.
Di belahan timur Jakarta, Abdul Kodir berjuang mewujudkan impian serupa: menghijaukan bantaran Sungai Ciliwung yang membelah tanah kelahirannya, Condet. Putra asli Betawi ini juga punya cita-cita mengembalikan ke te duhan kawasan Condet yang terkenal dengan pohon salak dan duku. Dia prihatin, kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya buah-buahan pada 1975 oleh gubernur masa itu, Ali Sadikin, makin tergerus pembangunan gedung.
Lihat saja, sepanjang jalan raya Condet yang salah satu ujungnya berhadap an dengan Pusat Grosir Cililitan penuh dengan bangunan rumah dan toko. Hampir tidak ada lahan kosong tersisa. ”Padahal pada 1970-an daerah sini masih hutan dan banyak monyetnya,” kata lelaki 40 tahun ini. Salak condet, yang ditetapkan sebagai maskot Jakarta bersama burung elang bondol, juga makin terkikis. Lahan hijau tinggal tersisa 20 persen dari luas 582.450 hektare luas Condet. ”Kasihan nanti anak-anak cuma bisa dengar cerita kelezatan salak dan duku condet,” katanya.
Merasa bertanggung jawab pada ke lestarian alam, pada pertengahan 1990-an Kodir mulai bergerak. Tanah orang tuanya seluas 6.000 meter persegi di Jalan Munggang, Kelurahan Balekembang, persis di bibir Kali Ciliwung, menjadi sasaran eksperimen. Saban hari Kodir keliling kampung, mulai dari Bale Kembang, Batu Ampar, sampai Kampung Te ngah mencari bibit-bibit tanaman khas Condet. Dia juga memetakan daerah mana saja yang masih terdapat galur murni atau bibit tanaman asli salak dan duku condet. Tak jarang dia sampai mengorek-ngorek tempat sampah. ”Soalnya, banyak pohon salak berusia ratus an tahun yang tertimbun sampah tapi tetap hidup,” katanya.
Akibatnya, tak sedikit tetangga yang menganggapnya sakit jiwa. ”Ibu saya malah sering menangis melihat tingkah laku anaknya yang dianggap kurang kerjaan,” tuturnya. Tapi semangat Kodir tak pernah kendur. Bukan cuma kebun orang tua yang ditanami tapi juga seputar bantaran Kali Ciliwung seluas dua hektare. Itu yang baru dapat dikerjakannya.
Sekarang lahan yang sempat terbengkalai itu menjadi rimbun seperti hutan. Semua tanaman khas Condet termasuk salak, duku, melinjo, dan kluwek, tumbuh subur di sana. Tetangga pun banyak yang betah berlama-lama ngadem. Kontras dengan lahan-lahan di sekitarnya yang kebanyakan jadi tempat penumpuk an sampah.
Nah, soal sampah ini Kodir mengaku pusing. Soalnya sampai sekarang warga masih saja tak peduli. Padahal gara-gara tumpukan sampah yang diguyur hujan, setengah ruas jalan tak jauh dari rumahnya longsor. Aparat kelurahan diam saja. ”Jalan longsor hampir setahun itu tak pernah diurus,” kritiknya.
Daripada berharap tanpa hasil, Kodir lebih memilih langsung bertindak. Setiap ada kesempatan mengobrol de ngan tetangga, dia berusaha menularkan kepedulian soal lingkungan. Dia juga sering mengajak anak-anak menyu suri kali sejauh tujuh kilometer, sembari memunguti sampah. Tak lupa dia mengajak anak-anak usia sekolah dasar itu menanam pohon. ”Mereka biasanya sangat senang,” kata Kodir, yang bekerja serabutan termasuk jadi tukang ojek motor. Ketertarikan anak-anak terhadap tanaman diharapkan bisa merembet ke orang tua mereka. Kodir pun tak segan memberikan tanaman gratis untuk mere ka bawa pulang.
Pejuang lingkungan untuk mengatasi Jakarta yang sumpek bukan hanya Idin dan Kodir. Di Jalan Banjarsari, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, sosok Harini Bambang Wahono menjadi terkenal setelah menggerakkan warga menghijaukan lingkungan. Kawasan pemukiman tak jauh dari perempatan ramai Fatmawati itu begitu hijau dengan deretan tanaman hias dan obat keluarga di kanan kiri jalan. Begitu juga dengan halaman masing-masing. Keterbatasan lahan disiasati dengan penggunaan pot. Hampir tak sejengkal lahan pun dibiarkan kosong melompong. Pantas saja pada 2000 lalu kawasan ini mendapat penghargaan sebagai juara nasional konservasi alam dan penghijauan.
Tengok saja kediaman Nina Sidle. Rumah nenek 70 tahun ini semarak de ngan tanaman bunga warna-warni. Bukan cuma pandai menanam, dia juga tahu betul bagaimana menjaga tanaman supaya tetap awet segar. Nina dari dulu memang pencinta tanaman. Tapi perkenalannya dengan Harini mengubah pola pikirnya tentang lingkungan. Berdua mereka mengajak warga lain memperhatikan penghijauan dan mengelola sampah. Sarana yang dipakai adalah kegiatan arisan dan tamasya ke luar kota yang masih sejuk. Meski begitu, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangkitkan kepedulian warga.
Lain lagi dengan warga perumahan Pluit, Jakarta Utara. Musibah banjir 1996 dan 2002 yang merendam kawasan itu setinggi satu meter menumbuhkan motivasi bergotong-royong menyelamatkan lingkungan. Bahu-membahu mereka meninggikan tanggul Kali Muara Karang dan membangun tanggul di Kali Muara Angke. Maklum, kawasan yang awal 1970-an masih rawa itu berada di bawah permukaan laut.
Kawasan ini juga dikepung air dari berbagai penjuru: Teluk Jakarta, Waduk Pluit, Kali Muara Angke, dan Kali Muara Karang. Kemungkinan daerah ini kembali terendam banjir terbuka lebar. Mereka merasa perlu menentukan nasib sendiri tanpa bergantung pada pengembang atau pemerintah. Untuk mengatur pembuangan air dari rumah tangga ke dua sungai tersebut, setiap RW membeli instalasi pompa. Seluruh biaya ditanggung bersama. Tiap kepala keluarga menyetor Rp 150 ribu untuk membangun tanggul dan Rp 350 ribu lagi untuk membeli pompa.
Warga juga berpatungan merawat pompa. Enam pompa yang bekerja 24 jam dikendalikan tiga petugas di dalam bangunan khusus yang disebut rumah pompa. ”Iurannya Rp 30 ribu per kepala keluarga,” tutur Samsi, salah seorang petugas. Hasilnya, ketika banjir merendam 60 persen Jakarta pada Februari 2007, kawasan mereka bebas banjir.
Nunuy Nurhayati, Bayu Galih Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo