Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dilakukan para maestro seni tradisional kini? Sawir Sutan Mudo, pendendang saluang paling terkenal di Bukittinggi, menghabiskan waktu dengan menemani istrinya berdagang pakaian dan aksesori perempuan di pasar. Mimi Rasinah, pendekar tari topeng Cirebon, lumpuh sebagian tubuhnya karena stroke, tapi masih mengajar tari 300 anak-anak di rumahnya. Gusti Jamhar Akbar, penutur sastra lisan lamut di Banjarmasin, membuka kedai di rumah kecilnya. Amaq Raya, jagoan tari Sasak di Lombok, memungut ranting kayu di pinggir hutan sambil menunggu order pentas yang tak kunjung datang.
Mereka termasuk 35 seniman yang diangkat sebagai maestro seni tradisi oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada Desember tahun lalu (lihat ”Daftar Maestro Indonesia 2009”). Nama-nama mereka diseleksi dari 60 lebih calon yang diusulkan dinas kebudayaan, dewan kesenian, dan lembaga nonpemerintah bidang kesenian tradisional di berbagai daerah.
Pemilihan para maestro ini dilakukan sejak 2007. Saat itu Departemen hanya memilih 25 orang. Jumlah ini bertambah 10 orang sejak 2008. Setiap tahun komposisi tim penilai berubah-ubah. Tim penilai tahun lalu adalah Mudji Sutrisno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sekaligus ketua tim; seniman teater Nano Riantiarno; Sapardi Djoko Damono dan Ida Sundari Husein, keduanya guru besar di Universitas Indonesia; serta empat pejabat di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
”Penghargaan maestro diberikan khusus kepada para seniman berusia di atas 50 tahun dan aktif menyebarkan kesenian tradisionalnya,” kata Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kesenian di departemen itu yang menjadi anggota tim penilai. Pemerintah juga memberikan penghargaan lain setiap tahun, seperti Hadiah Seni, Anugerah Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, serta Satyalencana Kebudayaan.
Para maestro terpilih itu mendapat bantuan uang sekitar Rp 1 juta per bulan, yang pengirimannya biasa dirapel untuk beberapa bulan. Jumlah ini jelas jauh dari memadai untuk sekadar hidup, apalagi bagi seniman yang sudah sakit-sakitan. Mimi Rasinah, misalnya, menerima sumbangan itu setiap tujuh bulan sekali, yang habis dipakai untuk membayar biaya pengobatannya setiap bulan yang mencapai Rp 1 juta. ”Kalau uang itu datang, barulah utang-utang berobat itu dibayar. Begitu selalu berulang,” kata Macih, putri Rasinah.
Tapi kemiskinan dan sepinya undangan pentas menjadi gambaran umum kehidupan mereka. Padahal satu-satunya keahlian mereka hanyalah menampilkan kesenian itu. ”Kami sudah dua puluh tahun tak pentas,” kata Tusiran Suseno, Ketua Sanggar Suara Bintan, satu-satunya kelompok drama bangsawan yang masih ada di Kepulauan Riau, meskipun sudah tak memiliki perlengkapan pentas lagi dan anggotanya tercerai-berai.
Nasib para maestro lain tak seburuk itu. Mereka masih bisa berpentas meskipun undangan yang datang sudah sangat jarang. Yang paling mengkhawa tirkan adalah usia mereka sudah lanjut dan sudah pula sakit-sakitan. Bahkan, ketika tulisan ini dibuat, empat di antaranya sudah meninggal, yakni Ismail Saroeng, Ki Sugito Hadiwarsito, Mbah Karimun, dan Ibrahim Ahmad, yang sudah wafat ketika namanya diumumkan sebagai maestro.
Namun semangat mereka untuk merawat kesenian tradisional tidaklah berakhir. Mereka juga berusaha mewariskan ilmu kepada siapa pun yang berminat, termasuk anak-anak mereka, meski akhirnya harus gigit jari karena para calon penerus itu pun meninggalkan kesenian tersebut. Dari 21 grup yang dibina Saidi Kamaluddin, maestro teater rakyat dulmuluk di Palembang, hanya satu-dua yang bertahan. Meski hampir 40 tahun Islamidar, pemain musik sampelong di ranah Minang, mengajarkan sampelong kepada banyak orang, akhirnya semua pergi, termasuk anaknya.
Padahal pelatihan untuk calon seniman tradisional biasanya memakan waktu lama, terutama tari klasik. Sulistyo Tirtokusumo, yang juga bekas penari klasik Jawa, menuturkan para calon penari biasanya sudah dilatih sejak masih kecil atau sebelum menstruasi bagi perempuan. ”Karena saat itu tulang-tulangnya masih bisa dibentuk,” katanya. Dia sendiri berlatih di Keraton Surakarta selama 10 tahun sebelum benar-benar layak tampil di atas panggung.
Bila para maestro ini meninggal tanpa penerus, keseniannya akan punah dan menambah panjang daftar kesenian tradisional yang dinyatakan hilang di negeri ini. Berbagai laporan mengenai kepunahannya sudah berdatangan dari pelbagai penjuru. Tahun lalu Tom Ibnur, koreografer tari di Langkan Budaya Taratak, Jambi, mengumumkan bahwa sekitar 60 persen dari 220 jenis seni pertunjukan di provinsinya dikabarkan sudah punah dan hampir punah, seperti tari Sumbe (tari persembahan untuk para dewa), musik Mumkin (permainan musik orang buta), Lesung Gilo (permainan lesung diiringi mantra), dan Bakisa (tarian menumbuk padi).
Padepokan Seni Banyubiru melaporkan 52 jenis kesenian tradisional Banyumas, Jawa Tengah, nyaris punah. Sebanyak 45 dari 391 jenis ke senian tradisional di Jawa Barat juga dilaporkan nyaris punah. Untuk tari klasik Surakarta, Sulistyo menyebut beberapa ragam tari bedoyo yang sudah punah, seperti Bedoyo Anduk, Sumreg, Ela-ela, Semang, Gandrungmanis, dan Kabor.
Banyak faktor yang menyebabkan mereka punah. Beberapa maestro yang ditemui Tempo umumnya menyatakan karena pertunjukan tradisional yang dulu menjadi hiburan masyarakat itu kini sudah digantikan dengan televisi dan kesenian modern. Pertunjukan tradisional yang dulu jadi menu wajib di pesta perkawinan di kampung-kampung sudah pula digusur oleh organ tunggal.
Pemerintah juga tak dapat berbuat banyak dengan alasan kurang dana. Sejak era otonomi daerah dimulai, tanggung jawab pelestariannya juga dikembalikan ke masing-masing da erah. Pemerintah pusat hanya bisa mendorong lewat festival dan lomba tingkat nasional dengan harapan daerah-daerah itu melakukan pembinaan yang intensif sehingga kelompok seni yang tampil di festival itu menjadi unggulannya.
Cara lain adalah melalui revitalisasi kesenian yang hampir punah yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan dinas pariwisata daerah. ”Karena ke terbatasan dana, kami baru dapat melakukan revitalisasi tiga ragam kesenian setiap tahun,” kata Safron Rasyi di, Kepala Subdirektorat Seni Teater dan Sastra Direktorat Kesenian.
Pada 2008, mereka mengangkat Dalang Jembling, teter tutur Banyumasan yang tanpa alat musik, di Jawa Tengah; lamut di Kalimantan Selatan; dan kentringan di Jawa Timur. Pada 2009, mereka memilih Phek Bung, musik dari bambu dan tembikar yang hidup di Bantul, Yogyakarta; tari Dalling, tari suku Bajau di pesisir Kalimantan Timur; dan Gamelan Ajeng, musik penyambutan tamu yang mengiringi tari Soja di Karawang, Jawa Barat. Re vitalisasi itu, kata Safron, meliputi tahap penelitian, seminar, hingga pementasan kesenian tersebut di daerah asalnya.
Namun revitalisasi atau langkah pelestarian lainnya juga hanya akan berhenti di situ bila tak ada tang gapan dari masyarakat. ”Semuanya akan punah bila generasi muda enggan belajar dan masyarakat juga tak lagi membutuhkannya,” kata Sulistyo.
Kurniawan, Ivansyah, Rumbadi Dalle
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo