Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami sudah dua puluh tahun tak pentas,” kata Tusiran Suseno, Ketua Sanggar Suara Bintan, satu-satunya kelompok wayang atau drama bangsawan yang masih ada di Ke pulauan Riau, dua pekan lalu.
Sanggar yang berdiri pada 1978 itu terakhir berpentas pada 1979 di Pulau Penghujan. Setelah itu, para pemain yang umumnya harus menguasai sekaligus seni lukis, tari, nyanyi, musik, sastra lisan, dan silat itu hilang bak ditelan bumi. Alat-alat pentas pun mereka sudah tak punya lagi. Padahal, ”Dulu kami selalu mendapat tepuk tangan dari penonton kalau pentas,” kata Anggia Murni, pemeran Putri dalam wayang bangsawan di sanggar itu.
Tusiran, 54 tahun, kini mencoba mempertahankan kesenian itu dengan mengajar wayang bangsawan di berbagai sekolah yang mengundangnya. Dia menjadi penerus kesenian ini setelah mendapat mandat dari Syamsudin Ta yib, Ketua Sanggar Drama Bangsawan di Kampung Datuk, Pulau Penyengat. Syamsuddin sudah wafat, sanggarnya juga berakhir. Indera Sakti, sanggar lain di pulau itu, juga tinggal nama.
Drama itu mulanya bernama wayang parsi, karena dibawa orang Parsi di India ke Penang pada 1870-an. Drama ini diperkenalkan di Kepulauan Riau oleh Abu Muhammad Adnan, yang berjuluk Mamak Phusi, dari Sanggar Phusi Indra Bangsawan di Penang, Malaysia. Dia lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia dan Kesultanan Melayu di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan. Namanya berbeda-beda. Di Pulau Natuna disebut mendu dan di Pulau Anamabas disebut gobang.
Pertunjukannya diiringi lagu-lagu dan tari zapin; lagu stambul dua serta stambul opera. Cerita yang dimainkan bermacam-macan, seperti Kisah 1.001 Malam, cerita rakyat dan hikayat Melayu, serta dongeng India dan Cina.
Pemerintah mengakui keberadaan kesenian ini dan mengangkat Ibrahim Ahmad sebagai maestro seni tradisio nal pada 2007, tapi tak lama kemudian dia wafat. Ibrahim dikenal pandai menyusun cerita, melatih pemain, dan jadi sutradara. Dia sempat menghidupkan kesenian ini melalui grup Mekar Malam pimpinan Auzar, bekas kepala desa yang jadi tukang ojek di Lingga. Tapi kini grup itu juga raib.
Raja Rahman, keturunan Raja Ali Haji, si pencipta Gurindam Dua Belas, pun pernah tak lagi menyaksikan wa yang bangsawan. ”Aku masih sekolah dasar saat kenal drama bangsawan,” katanya. Ketika maraknya drama itu pada 1912-1970-an, Rahman masih duduk di kelas dua sekolah dasar.
Menurut Tusiran, banyak kenda la dalam menghidupkan drama ini. Salah satunya biayanya besar. Bila drama digelar di pulau lain, mereka butuh tiga kapal pompong atau kapal kayu bermesin. Satu buat mengangkut 40 pemain dan dua untuk membawa peralatan seberat 10 ton. Peralatan itu termasuk layar untuk latar panggung, yang sedikitnya ada tiga, yakni jenis istana, taman, dan hutan. Sekali pentas mereka mendapat honor Rp 5 juta, yang habis dipakai untuk membayar sewa perahu dan dibagikan ke semua pemain. ”Paling tersisa untuk beli beras saja. Yang penting anak-istri makan,” kata Tusiran.
Kendala lain, tak semua orang tahan menonton pertunjukan tiga hari lamanya tanpa henti itu. Jadi Tusiran kini memperpendeknya jadi dua atau tiga jam saja. ”Yang penting drama ini tidak pudar,” kata pria yang hanya lulusan sekolah menengah pertama itu.
Sedikit harapan muncul ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat mencoba menghidupkan kesenian itu dengan memasukkannya ke dalam pelajaran bermuatan lokal di sekolah menengah atas. Untuk uji cobanya adalah SMA Negeri 2 Tanjungpinang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang Abdul Karim Ibrahim tetap ingin mempertahankan kesenian tradisi. Menurut dia, di Kota Tanjungpinang terdapat 64 sanggar seni tradisional yang perlu dipelihara, tapi terganjal dana. Dinas itu hanya menerima dana dari pemerintah daerah untuk tahun ini Rp 744 miliar. Dana itu sudah termasuk untuk menggelar tiga kegiatan besar, yakni International Dragon Boat Race, pelestarian dan pengembangan tari tradisional Melayu, serta pengembangan tari kreasi. Tahun lalu mereka mengangkat 49 kali tradisi Melayu dengan melibatkan semua sanggar yang ada. ”Jangan sampai budaya lama ini hilang,” katanya.
Rumbadi Dalle (Tanjungpinang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo