Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

B4ha5A 6Wl d3wA5a 1n!: Demi Apa?

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekky Imanjaya

  • Pengamat budaya pop, pengajar Binus International

    ”Pertamax, gan….”

    Ini bukan adegan seseorang yang sedang membeli bensin. Tapi ini adalah bagian dari sosiolek atau parole bahasa kreatif sebuah forum maya. Artinya: ”Orang pertama yang mengisi kolom komentar.” Sedangkan kata ”gan” berasal dari kata ”juragan”.

    Selain itu, Anda akan mendengar obrolan seperti: ”Cendol, gan!”, yang berarti ”Bagus sekali!”, atau ”izin sedot” yang berarti ”mau unduh” dan ”menuju TKP” yang berarti ”segera melihat situs yang direkomendasikan”. Istilah lain, yang dipopulerkan oleh program Dahsyat di stasiun RCTI, adalah ”cekidot”, yang merupakan pelesetan dari ”check it out”.

    Gan, inilah bahasa gaul tahun 2010. Kita sudah mengalami bebera pa ba ha sa gaul yang berganti peraturan, sumber, dan pengucapan paling tidak setiap dekade. Tiap sosiolek ada aturannya. Demikian pula dengan laras atau kalangan, yaitu kode-kode yang dipakai untuk kalangan profesi tertentu. Ini adalah sebuah parole, sebuah sistem di luar bahasa baku. Parole ini, dari sisi positif, menunjukkan kreati vitas berbahasa. Kemudian kita mengenalnya melalui media massa, dari koran, majalah, radio, hingga televisi dan film, yang menjadi mimbar nya. Namun ada juga yang menganggap hal ini sebagai sebuah kemunduran, karena dianggap merusak ba hasa baku. Sementara ada juga pi hak bahkan ahli linguistik yang menganggap parole atau bahasa gaul adalah cermin kebudayaan masyarakat.

    Pada akhir 1970-an, kita mengenal bahasa preman atau prokem yang menjadi fenomena. Bahasa ini meledak popularitasnya terutama setelah lahirnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha. Bahasa prokem yang bahkan kamusnya pun lahir dalam berbagai versi itu bertahan cukup lama dan mendominasi pergaulan anak-anak muda Jakarta. Ada ”ogut supping, gara dae doku” (aku pusing tak punya duit) atau ”Nyokap bokap lo mau kemokan?” (ibu bapakmu mau ke mana) atau ”Doski gokil juga” (dia gila juga).

    Bahasa prokem ini bertahan terus hingga 1980-an, ketika istilah prokem ditambah dengan istilah pada ekor ucapan, misalnya ”mana tahaaan”, ”…nih yee…”, ”memble aje mending kece”, atau ”…lah ya”.

    Pada akhir 1980-an hingga 1990-an, bahasa gaul kemudian bergeser ke isti lah yang digunakan waria. Bahasa seperti ”ember” (dari: memang) atau ”aki ka lapangan, mawar Macarena nasihat Gorbachev” (aku lapar, mau makan nasi goreng) juga melahirkan kamus baru yang memperlihatkan zamannya.

    Beberapa tahun terakhir, ada ungkapan ekspresi berbeda yang mencerminkan jiwa zaman terbaru. Misalnya ”cupu” yang kependekan dari ”cu lun punya”, bahasa lain dari ”no rak”. Atau, ”…bow”, dan ”…cyin” (kependekan dari ”cinta”, di akhir kalimat.)

    Anak gaul sekarang ingin mengutarakan keterkejutannya semisal ”ah, yang benar!”, atau ”serius, kamu!”, maka dia akan mengucapkan ”Sumpah, demi apa!”, atau bahkan hanya ”demi apa!”. Tak jelas dari mana kalimat ”demi apa” lahir dan menjadi ungkapan keterkejutan. Ada juga kata-kata yang maknanya keras dan berbau ”penilaian” seperti ”aib” dan ”najis” digunakan anak remaja sekarang sekadar ungkapan rasa yang artinya jauh lebih ringan. Misalnya kata ”aib” untuk remaja digunakan jika mereka mengatakan atau melakukan satu kekonyolan belaka; atau ”najis” diutarakan jika mereka tidak ingin melakukan sesuatu atau jengkel kepada seseorang belaka.

    Biasanya, ada kesepakatan tertentu, dan jika kita tidak mengikuti perkembangan zaman, kita akan dirundung bingung. Ini terutama setelah ber kembangnya bahasa alay! Contoh nya? Silakan baca judul di atas. Ada yang mengatakan ”alay” adalah ”anak layangan”; yang berate norak atau kampungan. Kata ”kampungan” tidak harus ditujukan pada kelas sosial, karena dalam bahasa alay, ada kata lebay (artinya: berle bihan). Seseorang yang kaya raya yang mengenakan tumpukan perhiasan tetap dianggap lebay dan alay. Bahasa alay pula yang kemudian memperkenalkan kata ”niiiiy” (maksudnya ”ini”, dan di masa lalu, biasanya kita mengatakan ”nih) atau menyingkat ”belum” menjadi ”lom” atau ”sama” menjadi ”ma”.

    Bahasa alay lazimnya akan menyingkat kata asli dan kata itu diaduk-aduk semaunya dengan huruf kecil dan besar, bahkan dengan angka. Tidak ada rumusan baku, tapi mungkin saling berbagi logika. Mari kita simak bahasa alay: ”BiazA jA x w. Ech rbU jA u bsa kN.Cz sLSa w LmbuR.BLk jam9an.Cz bnyk daTA yg LoM kLAR”. Belum puas? Silakan amati contoh lainnya: ”AqU BieZ bliH HanDphond Barruw LogH”. Atau: ”qMo mANk cLiD wAd cYanK m qHo”.

    Yang paling pas menangkap fenomena bahasa alay ini adalah sebuah lagu dari Superglad berjudul D’Alays:

    Huww/banyak istilah zaman sekarang/ada yang bilang lebih/jadi lebay/anak kampungan/dibilang alay alay/cewe’ gampangan/dibilang jablay/sms… harus gede huruf kecil/bikin pu sing/huruf ”i” diganti pake tanda ”!”/SKRG GRU G MSK bukan PSK/semua disingkat biar lebih cepat/yeah!/

    Oh, ya, bagi yang penasaran, judul di atas artinya adalah ”Bahasa Gaul Dewasa Ini”.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus