Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Memudarnya Opera Batak

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seperti wayang bangsawan, opera Batak masih bisa berpentas, meski tak kerap. ”Minggu ini saya main di Tiga Dolok,” kata Alister Nainggolan, 58 tahun, satu dari dua maestro opera Batak di Sumatera Utara, dua pekan lalu. Maestro lainnya adalah Zulkaidah Boru Harahap, 63 tahun.

Alister dijuluki ”Fort de Kock” dari Medan. Dia dan Zulkaidah dulu sama-sama bergabung dalam rombongan Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia) pimpinan Tilhang Gultom, yang berjaya selama 1960-1970-an. Asal-usul teater rakyat keliling ini masih kabur, tapi awal keberadaannya sering merujuk pada pertunjukan awal Ti lhang di pedalaman Tapanuli Utara pada 1920-an. Nama opera Batak disematkan Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an.

Di kelompok Serindo, Alister menjadi pemusik. Semua alatnya dia kuasai, dari serunai, hasapi (kecapi dua tali), gerantung (gamelan kayu), hingga taganing (seperangkat gendang). Adapun Zulkaidah, yang bergabung sejak masih berusia 13 tahun, menjadi pemain, pemusik, dan penyanyi.

Setelah Tilhang wafat pada 1973, tongkat kepemim pinan Serindo dilanjutkan Zulkaidah. Tapi kejayaan kesenian ini meredup. Serindo pontang-panting mempertahankan diri. Untuk menghidupi 70 anggotanya, Zulkai dah menjual semua hartanya selama jadi ”ratu opera”, tapi akhirnya dia menyerah dan membubarkannya pada 1985 serta mengembalikan grup itu ke keluarga Tilhang.

Alister mencoba menempuh jalur lain dengan membentuk grup Tiurma Opera pada 1974. Namun perjalanan grup ini pun seret dan dia terpaksa membubarkannya pada 1984. Dia kini bermukim di tengah belantara hutan di Desa Sampean Aek Botar, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Di rumah seluas 15 meter persegi itu ia hidup bersama istrinya, Erliana Sihombing, dan putri ketiganya, Hariani. Kini Alister hidup dari mengamen opera bersama keluarganya dengan seperangkat alat musik sewaan. ”Kalau ada orderan manggung, anak-anak saya ajak,” katanya.

Adapun Zulkaidah kini tinggal di sebuah rumah papan berkamar satu seluas 5 x 11 meter di Desa Simpang Parsaoran Tiga Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Sima lung. Untuk mandi, mereka ke kamar mandi umum desa. Zulkaidah dan suaminya, Pontas Zulkarnain Gultom, menghuni rumah tersebut selama 20 tahun lebih dan membesarkan lima anak mereka. Nafkah sehari-harinya dipenuhi dengan bertanam jagung dan memetik kopi di tanah sewaan.

Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara Shafwan Hadi Umri menyatakan teater tradisional di Tanah Deli yang nyaris punah tak hanya opera Batak, tapi juga makyong, yang dimainkan secara berkelompok; Alang, yang dilakoni seorang pemain; dan ketoprak dor, yang dimainkan berkelompok dengan gendang. Menurut dia, menghilangnya seni tradisional ini karena perkembangan zaman dan pemusatan ekonomi di Ibu Kota. ”Juga lemahnya pendukung dari pekerja seni sendiri dalam menyesuaikan diri dengan pola budaya industri,” katanya.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara mengaku belum maksimal berperan menjaga dan mengembangkan seni tradisional ini. Faktor birokrasi dianggap menjadi penghambat utama. Dinas seakan-akan membebankan kepada sanggar dan seniman untuk mempertahankannya. ”Kami beri fasilitas. Ya, hanya uang membantu,” katanya.

Meski hidup dalam kemiskinan dan prospek yang su ram, Zulkaidah dan Alister masih bergairah menghidupkan kesenian ini. Keduanya kini jadi pelatih di Pusat La tihan Opera Batak di Pematangsiantar yang didirikan seniman muda Thomson Hs.

Namun Zulkaidah masih sukar menurunkan ilmunya. Dia pernah menyarankan kepala desa mengubah tanah setapaknya jadi sanggar, tapi ditolak. ”Karena itu tanah milik pribadi, nanti akan terjadi perselisihan antara keluargaku dan pemerintah,” katanya.

Tak pupus semangat, awal tahun ini ia mencoba memberikan latihan opera dan seni tradisi kepada anak-anak kampung di halaman rumahnya. Sambutan itu hanya se saat, karena anak-anak itu merasa jenuh dan terus ber tanya kapan pentasnya. Murid yang semula berjumlah sepuluh orang kian hari kian berkurang. ”Sebulan setelah aku sembuh karena digigit tawon pada Maret, aku tutup,” katanya.

Soetana Monang Hasibuan (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus