Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Uwaga! Lumpur Banten!

Pentas Teater Studio Indonesia, Serang, Banten, mencuri perhatian di Gdansk. Lempar-melempar lumpur bagian dari pertunjukan.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Topeng-topeng plastik itu dibagikan kepenonton. Aktor Teater Studio Indonesia, Ban ten, Dindin Sapruddin, lebih dulu mengasapinya dengan kemenyan. Topeng buatan Arman, aktivis punk dari Bandung, itu mengekspresikan wajah orang-orang yang mengerang kesakitan.

Penonton mulanya tak tahu guna topeng tersebut. Namun, saat tubuh para aktor Banten makin bermandikan lumpur dan eksplorasi dengan gerabah memuncak, penonton melihat tanda-tanda itu. Topeng-topeng langsung diangkat menutupi muka mereka. Tapi terlambat! Lumpur telah dimuncratkan para aktor ke seluruh penjuru. Suasana langsung heboh. Para fotografer berusaha melindungi kameranya. Para penonton yang terkena menjerit-jerit, sementara yang tidak kena tertawa-tawa.

Inilah happening anak-anak Ban ten di Gdansk. Memang pertunjukan Earthenware Maker (Perempuan Ge rabah) karya sutradara Nandang Ara dea ini tidak sekolosal dan full fashion sebagaimana pertunjukan kelompok teater Eropa, tapi mencekam. Nandang, jebolan Academy of Theatre Art, Moskow, Rusia, mengatakan ia terpikat gagasan dramawan Rusia, Meyerhold, tentang tubuh biomechanic. Tubuh-tubuh fisik yang menantang bahaya.

Ia pernah membuat pentas yang mengharuskan para aktornya terjun dari ketinggian dan menyabit-nyabitkan parang hingga terjadi kilatan api. Ia pernah menampilkan aktor-aktornya bereksperimen di dalam sebuah perahu nelayan yang bilah bambu nya sampai ke tempat duduk penonton. Nandang tertarik ide Meyerhold tentang constructivism membangun ruang teater yang berbeda dengan panggung konvensional.

Pertunjukan Perempuan Gerabah ini telah ditampilkan tujuh kali di Tanah Air. Nandang membangun lingkaran bambu dengan tempat duduk penonton berada di dalamnya. Penonton, karena itu, berjarak dekat, intim, dengan aktor, lumpur, dan gerabah. Nandang tertarik mengeksplor gerabah karena, menurut dia, gerabah simbol kesenian kaum miskin. Ia membawa anggota teaternya riset ke Desa Ciruas, Banten. ”Ini desa gerabah sejak zaman Banten Girang, zaman pra-Islam,” katanya. Seorang pembuat gerabah, Rasmi binti Makad, dibawanya sampai ke Gdansk.

Reaksi penonton di berbagai tempat berbeda. ”Di Palembang, saat lumpur dicurahkan, semua penonton lari. Di Kunden, Kendal, warga bertahan, bahkan anak-anak tetap bergelantungan di bambu,” katanya. Pertunjukan di Gdansk bertempat di sebuah lapangan basket di dekat apartemen kumuh Dolme Miasto di Jalan Lakowe. Panitia minta maaf karena tidak bisa menyediakan bambu besar hanya bambu kecil. Sebagai gantinya, mereka menyediakan konstruksi metal. Nandang kemudian membungkus tiang-tiang me tal itu dengan jerami. Sedangkan bambu-bambu dipasangnya di atas membentuk seolah tusukan-tusukan ke bawah. Kita melihat set seperti sebuah sarang burung.

l l l

Rasmi binti Makad mulai membuat gerabah. Itu memancing para penonton satu per satu mulai datang. Penonton heran, setiap tanah liat yang sudah berbentuk pot atau anglo ia remas kembali menjadi gumpalan.

Sementara itu, sudah dari Centrum Festivalowe (kantor panitia) di Plac Walowy, yang jaraknya kira-kira setengah kilometer dari lokasi pentas, para aktor Farid Ibnu Wahid, Suryadi al-Faqir, dan Taufik Pria Pamungkas menari-nari bak menaiki kuda lum ping, menggiring penonton.

Hujan baru saja turun deras, dan masih rintik-rintik, ketika 17 Juli lalu mereka main. Mereka mulanya memukul-mukul gerabah menimbulkan orkestrasi bebunyian. Dindin dan ketiga aktor kemudian mendekati aktor perempuan, Desi Indriyani, yang menggendong ge rabah. Mereka kemudian seolah saling menyerang dan menampilkan berbagai variasi asosiasi. Gerabah ditung gangi seperti kuda-kudaan, kepala disorongkan ke dalam lubang gerabah, atau ge rabah besar dibalik dan dibenamkan menutupi kepala. Penonton tertawa ketika gerabah menjadi metafora penis.

Makin ke tengah, pentas makin ”keras”. Kepala para aktor dibenturkan ke gerabah hingga gerabah pecah. Ge rabah digantung mengayun-ayun. Lumpur seolah dimakan. Gerabah dibuat akrobat. Bahkan kepala seorang aktor disosorkan ke meja putar gerabah. ”Karya ini metafora tentang penghancuran dan pembangunan kembali di negeri kita,” kata Nandang.

Puncaknya, mereka maju ke penonton, membawa lumpur, dan meminta penonton menyerang tubuh mereka. Ke riuhan terjadi. Warga Gdansk cukup res ponsif. Ada yang mengusap perut mereka. Ada yang melempar dada mereka. Bahkan ada yang mengeramas seluruh kepala mereka dengan lumpur.

Tapi tak lama kemudian ”pembalasan terjadi”. Para aktor mengepal tanah liat dan menoyornya hingga muncrat ke mana-mana mengenai penonton. ”Ini betul-betul teater total, avant-garde,” kata Iza Terekjopkiewicz, anggota Teater Cinema, Gdansk. Ia membayangkan, selama ini, masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat konservatif. Sedangkan pentas Teater Studio liar sekali, sangat tak terduga. Saat keempat aktor membaluri tubuh Desi Indriyani dengan lumpur, ia beranggapan, ”Erotis sekali.”

Suasana tambah magis karena hujan turun di hari pertama. ”Ketika ada bunyi geledek tadi, saya merasa ada pertautannya dengan pertunjukan,” kata Kataizyna Kornet, wartawan Radio Polandia. Menyaksikan gerabah pecah berserakan, ia melihat sesungguhnya ada unsur kesedihan mendalam dari pertunjukan itu.

Agaknya ”teror” yang dilakukan Teater Studio Indonesia menjadi berita mulut ke mulut di festival Gdansk. ”Anda tahu, teater Anda menjadi pembicaraan. Saya pasti datang sore nanti,” kata Aleksandra Twardowska, Direktur Artistik Feta. Pada pertunjukan hari kedua, ia tampak di tengah penonton.

Kali ini memang penonton lebih banyak. Mungkin seribu lebih. Para penonton sampai berdiri di meja pingpong, stager, dan memanjat-manjat pohon. Langit tak lagi mendung. Pukul 9 malam masih terang. Jerami dari Banten yang digabung dengan rumputan kering Gdansk tampak serasi kuning-cokelat.

l l l

Di hari kedua itu, sebuah spanduk bertulisan tip menyaksikan dipasang: ”Please do not hesitate to leave if at any time you feel not comfortable.” Penonton tampaknya siap-siap dengan topeng. Uwaga! ”Awas” dalam bahasa Polandia. Hari kedua itu reaksi penonton lebih ”brutal”.

Plakkk…. Tiba-tiba seorang lelaki meraupkan segepok tanah liat ke wajah Farid saat Farid meminta lelaki itu menimpuknya. Yang lain melempari dada Taufik. Para penonton wanita dan laki-laki membasuh rambut Dindin dan Al-Faqir. Lemparan-lemparan lumpur ke arah mereka makin ”anarkistis”.

Namun, giliran para aktor menggebuk tanah liat ke udara, suasana ingar-bingar lebih riuh daripada hari sebelumnya. Lingkaran sontak tercerai-berai. Para penonton mundur, lari, tertawa, dan berteriak histeris. Terlihat sampai ada yang mengucek-ucek mata. Beberapa membalas dengan kembali melempar lumpur ke aktor-aktor Teater Studio Indonesia.

Namun kemudian penonton mem bentuk lingkaran lagi, ketika para aktor menurunkan plastik menutupi panggung mereka. Para aktor bergerak pelan. Dengan tangan penuh lumpur, mereka menggambar di plastik figur binatang, yang mengingatkan kita pada lukisan-lukisan manusia gua.

Suasana terasa arkaik. Suasana yang sebelumnya remuk redam berujung ke suasana suci, suasana pembersihan batin. Nenek Rasmi binti Makad kemudian kembali membuat gerabah. Penonton seperti terhipnotis. Mereka tak ber anjak meski tak jauh dari lokasi pertunjukan Teater Studio Indonesia, pentas kolosal penutupan Feta Gdansk yang menampilkan Pandora dari grup Spanyol, Artristras, akan dimulai.

”Ini ritual yang sangat interaktif,” kata Dawid Martin, musikolog, kandidat doktor karawitan dari Universitas Warsawa, yang bertahan di tengah-tengah penonton. Esoknya Gazeta, koran terbesar Polandia edisi Gdansk, menampilkan foto pentas Perempuan Ge rabah, dengan caption: ”Inilah pertunjukan mistis dari Indonesia.”

Seno Joko Suyono (Gdansk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus