Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#FF0000>Footage</font> itu (Cikal) Seni

Realitas berlangsung dengan atau tanpa kehadiran pemirsa. Bila kita, sebagai penonton, ingin merekamnya, teknologi video memberikan kemudahan. Imaji yang direkam itu disebut footage. Tapi penontonlah yang kemudian memberinya makna, menjadikannya berbeda.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TING… ting, tong, ting, tong, ting... intro lagu senam kesegaran jasmani karya Nortier Simanungkalit pada 1984 diputar mengawali video durasi tujuh menit itu. Judulnya keren, Sunrise Jive. Diawali dengan imaji-imaji papan peraturan dan mesin absensi di muka pabrik, video beralih ke gambar belasan pria muda berseragam, bertopi proyek dalam formasi berjajar.

Ini pagi di halaman samping sebuah pabrik mobil asal Jepang di Jakarta Utara. Kala itu pertengahan 2005, pria-pria muda itu bersiap melakukan ritual senam pagi—wajib bagi pekerja pabrik. Tak ada yang sungguh-sungguh bersemangat. Mereka sekadar membungkuk, menarik tangan, dan menggeolkan pinggul ogah-ogahan. Tapi bak dikomando, di titik melodi tertentu mereka melompat-lompat berkeliling seperti kelinci, 360 derajat. Sepertinya ini satu-satunya gerakan bergairah dari senam wajib murid-murid sekolah era Orde Baru, sekitar 1980-1990 itu.

Sesekali ada orang jalan atau sepeda motor cuek melintas. Seseorang yang berdiri di tengah tampak paling malas bergerak. Dia hanya berdiri tepekur, menatap kakinya yang ia goyangkan sedikit, ke kanan, ke kiri, lalu bosan. Dialah sang mandor. Ketika lagu berakhir, mereka bubar. Masuk pabrik.

Mahardika Yuda, 28 tahun, si pembuat video, mengambil imaji ini lewat kamera kreditnya, Sony DCR-HC 15 E Pal, yang ukurannya hanya segenggaman tangan orang dewasa. Pada 2003, ia drop out dari jurusan jurnalistik sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Butuh uang, ia dua tahun bekerja di pabrik itu sebagai pegawai di gudang cat. Gajinya Rp 632 ribu. Ia salah satu pria yang melakukan senam pagi itu.

Sunrise Jive adalah satu dari sepuluh video yang dipamerkan Diki, panggilan akrab Mahardika, di Galeri Ruru, Jalan Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta, hingga akhir September nanti. Terbagi dalam dua segmen, Hunian dan Sejarah serta Pabrik dan Kota, Diki memberi makna baru pada arti footage dan menerawang sejauh mana kreativitas serta ide seniman bisa diangkat dari hal sehari-hari.

Diki belajar bagaimana menggunakan kamera dari Hafiz, salah seorang pendiri ruangrupa, organisasi nirlaba yang didirikan sekelompok seniman Jakarta yang mengusung isu urban. Hafiz pendiri OK, festival video internasional dua tahunan yang sudah berlangsung empat kali. Hafizlah yang menawarinya terlibat dalam film pendek Massroom Project, sembilan video dokumenter tentang Kota Jakarta. Dibuat bersama lima rekan lainnya, Massroom kemudian terpilih ditayangkan di sejumlah festival internasional, seperti International Under Construction 2004 Rotterdam, Sao Paolo International Short Film Festival Brazil, Spanyol, Jerman, Belanda, Finlandia, Inggris, Malaysia, Swedia, Meksiko, dan India. Massroom Project kemudian melahirkan Forum Lenteng, komunitas pencinta film dunia di jalur non-mainstream, termasuk Diki.

Diki mengartikan footage sebagai bahan dasar untuk membuat karya audio visual. Ia terpesona oleh kemampuan video untuk merekam gambar. Dengan video, ia bisa memilih, meninggalkan, memperbesar, mewarnai, atau membuat kabur obyek-obyek tertentu dalam gambarnya. Selama empat tahun, ia mengumpulkan dua ratusan kaset rekaman berisi footage tentang apa saja yang ia lewati dan alami, entah gambar-gambar kesehariannya entah kunjungannya ke luar negeri.

Melalui footage yang ia olah menjadi Sunrise Jive, kurator Reza Afisina mengutip Diki yang menegaskan bahwa ia tak punya pretensi historis saat merekam dan mengeditnya. Tapi saat presentasi di luar negeri, penjelasan bahwa senam ini adalah mata pelajaran wajib Orde Baru, dan uniknya masih berlaku sebagai rutinitas pagi di sebuah pabrik mobil Jepang, yang saat menjajah Indonesia dulu memperkenalkan senam serupa bernama Taiso, cukup mengena. Meski, ”Buat saya yang penting penonton Indonesia bisa merasakan kenangan kembali,” katanya.

l l l

Bahasa Indonesia belum memiliki istilah yang tepat untuk footage selain potongan-potongan gambar. Tapi dalam dunia film atau video, footage adalah materi mentah, belum diedit, yang dihasilkan dari sebuah proses produksi—baik film maupun video—yang biasanya harus diedit untuk menciptakan sebuah karya film, videoklip, pertunjukan televisi, atau tayangan jadi lainnya.

Asal kata footage berasal dari pita film bisu 35 milimeter yang dulunya diukur dengan istilah kaki atau frame. Dulu, film diukur dengan ukuran panjangnya, bahwa ada 16 frame (empat kotak perforator format film) dalam satu kaki pada pita 35 militer yang kira-kira mewakili satu detik film bisu. Istilah ini kemudian dipakai untuk menjelaskan potongan-potongan gambar mentah yang dihasilkan dalam sebuah produksi film.

Diki memang tidak berpretensi merekam peristiwa yang berarti dalam sejarah, figur publik, atau obyek monumental. Ia merekam keseharian kaum urban di Jakarta dan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Ia merekam pabrik tempatnya bekerja, perjalanan dalam bus Transjakarta, bahkan tampak belakang ojek sepeda ontel yang ia tumpangi malam hari. ”Pelajari manusianya, baru ambil gambarnya pada momen yang tepat,” katanya.

Dalam video yang ia buat di Assam, India, ia melukiskan keseharian yang sama urbannya dengan Jakarta: pemecah batu, tukang bangunan, jemuran celana dalam di atas gedung. Tapi ada yang menonjol dari situ. Pertama, mata Diki sudah memiliki kemampuan harmoni gambar yang baik, sehingga komposisi ruang di hampir setiap gambarnya bisa dinikmati dengan sederhana. Kedua, dia mampu menemukan komedi—yang getir sekalipun—dalam gambarnya.

Lihatlah video Father Wherever You Are, Your Daughter Here Near the Stage—judul yang ia ambil dari pemberitahuan anak hilang di pelabuhan feri. Diki mengambil gambar ke bawah, dalam posisi vertikal, sehingga frame-nya terbelah dua: sebelah kanan adalah dek, sebelah kiri air yang kemudian pelan-pelan tergantikan oleh dek feri yang menepi.

Dari imaji yang sama, ketika orang-orang yang ada di atas feri kemudian melangkah ke dek, Diki mengeditnya dengan memberikan sentuhan warna yang berbeda. Hitam-putih di sisi kiri, berwarna di sisi kanan. Kain sari seorang wanita yang melangkah ke dek tiba-tiba berubah menjadi merah atau biru. Sebuah trik editing minimalis yang bisa bermakna dalam: tentang masa sebelum dan sesudah, tentang perubahan dan langkah maju dalam kehidupan manusia.

Namun unsur keseharian dan merekam ”yang biasa-biasa saja” itu kemudian mendapat kritik dari penulis Haris Firdaus. Haris, yang semula mengagumi kemampuan Diki yang ”sekadar mencatat lalu membagikannya kepada kita”, menyesalkan ketika dalam video Kiitos, Selamat Tinggal Kota Merah, Diki tergoda memberikan sentuhan di luar ”hal yang biasa-biasa saja”. Diambil di Tampere, sebuah kota pekerja di Finlandia, Diki rupanya terpesona oleh sejarah kota itu sebagai kota kiri yang penting dalam revolusi Rusia 1905. Ia merasa perlu pergi ke museum dan mengambil gambar-gambar kunjungan Hitler ke kota itu, serta patung Lenin dan museumnya sekaligus. Lenin memang pernah tinggal di situ. Bahkan di Tampere pula pertama kalinya Lenin bertemu dengan Joseph Stalin, juniornya yang menggulingkan kekuasaan Tsar Rusia. ”Di sini Mahardika adalah seorang turis yang takjub,” kata Haris.

Boleh jadi Diki yang mendadak takjub hanya butuh lebih banyak lagi kunjungan ke luar negeri, sehingga ia terbiasa dan kembali lagi ke ”khitah”-nya untuk mengambil keseharian yang biasa-biasa saja. Tapi karya Diki bukan karya biasa. Sepuluh video itu tak berpretensi seni yang rumit. Ia tak membuat kita mengernyitkan kening dalam mencari makna, atau membayang-bayangkan isi kepala sang seniman yang terlampau kompleks, yang kemudian membuat kita lelah, bosan. Rekaman imaji Diki pekat berisi perspektif yang tentu saja sangat subyektif, tapi memberi celah lebar untuk orang lain bebas memaknai. Dan yang tak kalah penting, menghibur.

Kurie Suditomo  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus