Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#FF9900>Menyiasati</font> Keindahan Yaasiin

Puluhan perupa berusaha menerjemahkan surat Yaasiin ke dalam elemen rupa secara bebas. Masing-masing dengan gaya dan caranya sendiri. Seni kaligrafi ditabrakkan dengan penggambaran figur yang dihindarkan dalam tradisi seni Islam.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUDUL pameran ini singkat, tapi segera menyedot emosi keagamaan yang kuat, terlebih pada saat Ramadan ini. Judul itu tertulis dalam aksara Arab yang bunyinya Yaasiin dan diikuti teks dalam bahasa Inggris: The Untranslatable. Farah Wardani, kurator pameran ini, merayakan keberagaman ekspresi seni rupa yang berangkat dari nama salah satu surat dalam Quran lewat pameran seni rupa di Jogja Gallery, Yogyakarta, pada 16 September hingga 12 Oktober.

Pilihan terhadap kurasi pameran ini menarik. Gabungan huruf ya dan sin yang mengawali surat Yaasiin dalam Quran sangat simbolis dan belum pernah diterjemahkan secara literer dalam Quran. ”Dalam tafsir umumnya, hanya dinyatakan dalam kolom terjemahan: Hanya Allah yang mengetahui maknanya,” tulis Farah Wardani dalam pengantar kuratorialnya. Beberapa referensi, kata Farah, menyatakan Yaasiin adalah salam istimewa Allah atas Nabi Muhammad. Meski, katanya, pemaknaan ini terbuka untuk diperdebatkan.

Selain itu, surat Yaasiin, banyaknya 83 ayat, berbicara tentang asal mula kehidupan, tentang akhirat, dan memanggil manusia pada agama sebagai jalan pencarian atas tujuan hidup. Maka, surat Yaasiin biasanya dalam tradisi keagamaan dilafalkan dengan perasaan yang sangat dalam untuk membantu meringankan penderitaan seseorang yang sedang sekarat atau setelah nyawa lepas dari raga.

Berdasarkan pemahaman inilah Farah mengundang 47 perupa untuk merespons secara kreatif surat yang dianggap sebagai kalbu Quran ini. Hasilnya, satu pendekatan seni rupa modern bercorak islami yang jauh dari pendekatan yang pernah ada. Tengoklah karya lukis Edo Pillu, 39 tahun, bertajuk Monalisa Mampir di Surga, sebuah citraan potret diri Mona Lisa karya Leonardo da Vinci dengan teks surat Yaasiin. Tak ada perlakuan yang khusus terhadap teks Quran itu. Edo menuliskan dengan bentuk nyaris apa adanya, yang jauh dari pendekatan karya kaligrafi.

Pola yang sama—citraan figur manusia dan teks Quran—juga dipakai Choiruddin, 29 tahun, berupa sosok lelaki bertelanjang dada dengan bentuk hati di bagian dada dalam warna hijau diisi potongan teks Quran. Cuma pada karya bertajuk The Other Side of Human ini bentuk teks dalam aksara Arab masih diolah dengan pendekatan kaligrafi Arab. Terasa keindahkan citraan kaligrafi huruf-huruf Arab yang saling menumpuk itu. Sedangkan pada karya Catur Sugeng Kurniawan, aksara Arab bertaburan menutup siluet tubuh bagian atas figur manusia dalam warna monokrom lewat karya berjudul Low and Lose.

Pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan yang dilakukan pelukis kaligrafi semacam Ahmad Sadali (almarhum), Abdul Djalil Pirous, atau Syaiful Adnan. Sadali dan Pirous kuat dengan akar modernisme yang muncul lewat karya bercorak non-figuratif atau sering juga disebut non-representasional. Keduanya menampilkan karya lukis kaligrafi dengan pengolahan bentuk abstrak.

Sebagai seniman muslim, Sadali dan Pirous secara kebetulan tak menghadapi masalah dengan kompleksitas hubungan Islam dengan seni rupa—tradisi ahli sunah sering berpegang teguh pada hadis yang melarang melukis citraan manusia. Dalam ilustrasi grafis pada literatur Islam lawas tak pernah ada citraan figur Nabi Muhammad. Misalnya dalam ilustrasi peristiwa Isra’ Mi’raj, hanya ada makhluk Buraq, kuda bersayap yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad. Memang tak semua kalangan Islam memegang prinsip ini, misalnya kalangan Syiah, yang terbiasa melukis potret para mullah.

Sadali dan Pirous menemukan jalan keluar dari kompleksitas itu lewat corak non-figuratif, sehingga mereka lebih leluasa menggarap lukisan kaligrafi. Sedangkan Syaiful Adnan, yang berasal dari tradisi figuratif ASRI Yogyakarta, memutus hubungan dengan akar figuratif dan berkonsentrasi mengolah bentuk kaligrafi yang kuat unsur dekoratifnya.

Dalam pameran ini ada upaya pelukis dan pematung menghindar dari benturan itu. Askanadi, 29 tahun, misalnya, menggarap bentuk abstrak geometris bergaya Op Art yang membentuk ilusi citraan teks Allah dan Yaasiin dalam aksara Arab. Gaya Op Art juga muncul dalam karya Agus Baqul Purnomo, yang memenuhi seluruh bidang kanvasnya dengan teks aksara Arab. Agus dulu dikenal pelukis figuratif, tapi belakangan ia menggunakan citraan bentuk angka pada karya bercorak abstrak.

Corak kaligrafi abstrak muncul pada karya lukis Rosid dan karya patung kayu Ali Umar. Pematung asal Pariaman, Sumatera Barat, ini melubangi dua kayu berbentuk bulat dengan teks Allah dan Yaasiin dalam aksara Arab yang diletakkan di atas rehal. Karya ini bertajuk Allah Menurunkan Surat Yaasiin.

Ali Umar dikenal bukan pematung abstrak dan bukan pula seniman kaligrafi. Atau pematung Khusna Hardiyanto menjalin materi kawat besi menjadi bentuk teks dalam aksara Arab ”Yaasiin” yang diletakkan di atas balok kayu yang salah satu sisinya berbentuk tangga. Khusna juga bukan seniman kaligrafi.

Menurut Farah Wardani, pameran ini memang tak ditujukan kepada perupa yang biasa menggarap karya kaligrafi semacam Syaiful Adnan. Mereka kebanyakan perupa yang biasa menggarap bentuk figuratif, tapi sesekali ikut pameran seni rupa bernapaskan Islam.

Pilihan kuratorial ini sebenarnya menarik. Perupa tak terbebani ketika memadukan citraan figur dengan teks Quran. Mereka muslim, dan bisa dikatakan penganut ahlussunnah. Tapi pendidikan seni rupa modern membuat mereka lebih longgar dalam melihat hubungan antara seni rupa dan agama. Penggambaran terhadap figur manusia tak serta-merta dianggap sebagai bentuk penyembahan terhadap figur itu.

Selain itu, meski judul pameran ini sangat kuat mengukuhkan teks ”Yaasiin” dalam aksara Arab, tidak membuat sejumlah peserta memaksakan diri menampilkan idiom seni kaligrafi dengan cara yang klise. Abdul Syukur misalnya. Ia menggarap karya serat dengan mengolah bentuk abstrak geometris, tanpa ada sepenggal huruf Arab dalam karya berjudul Kemana Aku Bersimpuh. Atau karya patung Syahrizal Koto bertajuk Relung Hati bercorak abstrak geometris berupa bentuk bulat berongga di tengah dengan tepi bergelombang.

Puncak kebebasan seniman menerjemahkan kurasi ”Yaasiin” ini adalah karya Nanang Zulkarnaen, berupa figur laki-laki bertelanjang dada tampak samping. Lidahnya menjulur dalam gerakan bergelombang mengelilingi empat sisi kayu balok kecil berukuran kartu remi. Hanya dari judulnya Kun-lah (satu kata pada ayat ke-82 dalam surat Yaasiin yang berarti ”jadilah”) yang menyadarkan penonton bahwa kurasi pameran ini didasari semangat religiositas.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus