Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font color=#FF9900>Runtuhnya Gedong </font>dan Pelat Verboden

Gantong tak banyak berubah, meski temboknya lapuk digerus waktu. Wartawan Tempo Yugha Erlangga mengikuti Andrea Hirata menapaki masa kecilnya.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENANGAN itu bangkit lewat sebuah pelat kuning berkarat seukuran dua telapak tangan: ”Dilarang Masuk buat orang jang tida punya hak: Verboden Toegang voor onbevoegden”.

Di mata Andrea Hirata Seman Said bin Harun, inilah pelat yang membatasi dirinya, keluarga, dan teman-teman kecilnya dengan mereka yang ada di balik tembok: orang-orang kaya dalam kompleks perusahaan negara pertambangan timah di Pulau Belitung. ”Ini bukti sejarah,” ia menunjuk ke arah pintu masuk bekas kompleks, tempat pelat itu dulu digantung. ”Jangan bayangkan dulu kami bisa masuk gerbang itu.”

Ada alasan kenapa Andrea menyebut pelat itu sebagai ”bukti sejarah”. Pelat itu memento masa kecilnya, suatu masa ketika suka dan duka berkelindan dalam kehidupan Andrea, Lintang, dan delapan teman lainnya di tengah ketimpangan sosial yang demikian mencolok di pulau kelahirannya itu. Luka hati dan sukacitanya kemudian dituangkan dalam sebuah novel yang terinspirasi dari memoar masa kecilnya itu, berjudul Laskar Pelangi, yang sudah lebih dari 20 kali dicetak ulang sejak terbit pada 2005.

Pertengahan Juni itu, saat produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza sedang merampungkan syuting film dari novelnya, Andrea duduk berteduh di sebuah warung kopi di pertigaan Pasar Gantong, Belitung Timur. Tangannya memegang pelat berkarat itu, berukuran sekitar 10 x 20 sentimeter. Untuk keperluan film, penata artistik Eros Eflin membuatnya lebih besar. Andrea lalu melihat berkeliling dengan mata terpicing. Matahari bersinar terik saat itu. ”Pasar (Gantong) ini tidak banyak berubah. Tempat kami main dulu,” Andrea mengenang.

Tak lama, ia melompat ke sepeda motor dan memboncengkan Tempo menapaki simpul-simpul masa kecilnya. Kecepatan motor sekitar 40 kilometer per jam. Sepanjang jalan, ia terus bercerita: tentang penerbitan buku keempatnya, Maryamah Karpov, tentang syuting film, dan kekagumannya kepada duo Riri dan Mira, lalu animo pembaca novel yang rajin mengiriminya pesan pendek.

Satu kilometer dari pasar, terletak bangunan tua beratap bolong di sana-sini yang dulu disebut Markas Pertemuan Buruh. Di masa lalu, inilah wadah rekreasi kelas buruh dan pekerja rendahan pertambangan, tempat yang memperbolehkan Andrea cs mendapat hiburan cuma-cuma.

Kala Andrea kecil, sebulan sekali tempat ini memutar film. Salah satu di antaranya Putri Duyung, yang dibintangi pelawak S. Bagyo dan Ratmi B-29. Meski tempat itu sering mengulang film yang sama, Andrea dan kawan-kawan tak bosan berkunjung. ”Film-film bagus hanya diputar di Wisma Ria Lenggang,” ujarnya, merujuk ke tempat rekreasi para pegawai tinggi.

Untuk menuju ke markas, anak-anak biasanya berjalan kaki dari Masjid Al-Hikmah. Dan menurut Andrea, ke situ pulalah Lintang—si jenius dalam novel—pulang bila selesai menonton. Ia mesti menginap di masjid karena rumahnya jauh. Rumah Lintang, anak nelayan dari ayah-ibu yang buta huruf, terletak di Tanjung Kelumpang. ”Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Gantong,” kata Andrea.

Tapi kompleks borjuis itu bukannya tak bisa ditembus. Andrea mengaku pernah bersama teman-temannya menyelusup masuk zwembad, alias kolam renang, pada dini hari. ”Bayangkan, jam dua pagi kita menyusup ke sana,” ia mengenang sambil cengengesan. Dan risikonya ditangkap polisi khusus kompleks. Mereka ini penduduk asli Belitung, yang menurut Andrea justru lebih sombong daripada pegawainya sendiri, yang didominasi orang luar Belitung.

”Paling sakit hati jika ditanya ’siapa bapakmu, apa pangkatnya’,” kata Andrea.

l l l

WAKTULAH yang kemudian menggerus banyak tembok, baik tembok batu maupun tembok ingatan. Berboncengan dengan Andrea, perjalanan berlanjut ke sekolah. Di jalan tampak sederetan rumah setara tipe 45 yang dikenal sebagai rumah ”orang-orang staf”. Mereka pegawai madya pertambangan yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi. Sayang, kondisinya tak secemerlang seperti ketika masa jayanya dulu. ”Jangan bayangkan dulu kondisinya seperti ini,” kata Andrea..

Kondisi yang tak sama juga tampak di Gedong, perumahan pegawai tinggi pertambangan. Gedong yang asli terletak 18 kilometer dari Gantong, yakni di Manggar, ibu kota kabupaten Belitung Timur. Kini orang bebas lalu-lalang keluar-masuk kompleks itu menuju Bukit Samak. Inilah puncak tertinggi di Manggar yang dijuluki A1, lokasi rumah kepala pertambangan. Kini tempat itu sudah menjelma menjadi kawasan wisata. Di sisi kanan dan kiri ada rumah-rumah para pemimpin pertambangan yang dibangun sejak era kolonial Belanda. Kini mereka tak lebih dari deretan bangunan tua yang salah satunya konon berhantu. Menurut Andrea, tak lama setelah pertambangan kolaps akibat harga timah yang jeblok pada akhir 1980-an, banyak rumah di Gedong dijarah. Rumah-rumah itu sekarang dikuasai pemerintah daerah.

Sekolah Andrea pun berubah wujud, bukan lagi bangunan kayu ulin beratap sirap seperti yang dia gambarkan dalam novel. SD Muhammadiyah yang asli sudah hancur pada 1986. Lahannya kini ditempati sebuah madrasah tsanawiyah yang dikelola Yayasan Muhammadiyah. Yang tampak adalah sebuah bangunan sembilan kelas permanen dengan atap seng. Halamannya bertabur pasir kuarsa. Sebuah tiang bendera terpancang di tengah lapangan. ”Dulu tiangnya terbuat dari bambu kuning,” ujar Andrea.

Tak ada pula pohon Filicium dan burung serindit yang bertengger di batangnya. Filicium yang asli, kata Andrea, ada empat batang di Taman Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan penata artistik Eros Eflin, yang wajib menghadirkan pohon ”keramat” bagi anak-anak Laskar Pelangi itu, merasa menemukan sebatang Filicium di belakang sekolah. ”Buahnya berwarna merah, tapi tidak seperti yang digambarkan di novel,” kata Eros.

Kami lantas masuk ke halaman. Melewati sebuah pintu kecil, kami menyusuri jalan setapak di belakang bangunan sekolah. Saat kami datang, sejumlah anak kecil siap-siap mengaji. Ramai mereka bergerombol, sebagian mengintip dari daun jendela. Seorang bocah laki-laki menghampiri. ”Bang Andis, ya?” ia bertanya. Andrea pun tersenyum.

Ibu Muslimah, guru Andrea, sudah tak lagi mengajar di tempat ini. Kini ia menjadi wali kelas I Sekolah Dasar Negeri 6 Gantong, sambil menunggu pensiun empat tahun lagi. Ia tak banyak lagi berhubungan dengan anak-anak muridnya, kecuali Andrea. Bu Mus tak tahu apa kabar Lintang dan beberapa yang lain. ”Ibu tak tahu persis mana yang dimaksud Lintang itu,” katanya.

Dari beberapa teman Andrea, hanya dua yang tampak: Rojali, yang tampaknya menjadi inspirasi untuk sosok Harun, dan Aman, yang menjadi inspirasi tokoh A Kiong. Yang terakhir ini menjadi pemilik salah satu warung kopi di Pasar Gantong. Warungnya terletak paling ujung kiri di depan penjual daging yang meruapkan aroma anyir daging mentah bercampur ikan.

Nama Aman mungkin asing terdengar. Pembaca novel lebih kenal dengan nama A Kiong, anak Hokkian jenaka yang dilukiskan berwajah seperti baru keluar dari bengkel ketok magic itu. Aman adalah A Kiong, yang bernama asli Chau Cin Kiong, 42 tahun. Istrinya, Saparina—yang menjadi inspirasi sebagai sosok Sahara dalam novel—menyambut di depan kedai. Di dalam, seorang lelaki Tionghoa gempal berkaus oblong dan bercelana pendek sedang duduk santai. Ia menghidangkan kopi susu racikannya yang khas, kopi saring dicampur dengan susu tanpa gula.

Aman sudah biasa didatangi wartawan sejak novel itu populer. Sikapnya pun sangat lugas. ”Mau tanya apa?” katanya. Tanpa banyak kata, Aman alias A Kiong meminta pulpen dan secarik kertas. Ia lantas menulis nama-nama selain namanya yang ia duga sebagai tokoh-tokoh Laskar Pelangi: Chandra Prana, Syahdan Wahyudi, Alpino, Iwan, Ahmad Fajri, Andrea Hirata, dan satu nama perempuan, Hartati. Yang disebut Mahar dan Samson, kata Aman, bisa jadi Ahmad Fajri—sekarang guru di SMA Negeri 2 Tanjung Pandan—dan Alpino. Lalu Lintang? ”Saya hanya tahu ini. Kalau Lintang, tanya Andis,” ujarnya sambil tersenyum.

Dan pertanyaan itu pula yang terlintas dalam benak saat perjalanan napak tilas itu berakhir di Pangkalan Punai, 37 kilometer ke selatan Gantong. Sambil berselonjor di pasir pantai yang putih mulus, Andrea mengajak melihat indahnya garis samudra dan langit Belitung bertemu di cakrawala. ”Di pulau-pulau kecil di sanalah Lintang berkebun kopra,” Andrea menunjuk ke arah laut lepas.

Matahari terbenam. Kami kemudian kembali mengendarai sepeda motor. Kembali ke masa kini.

Kurie Suditomo (Jakarta), Yugha Erlangga (Belitung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus