Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Ramli</font><br />Pelangi Setelah Badai

Setelah 36 tahun Ramli hadir di dunia mode dan terkena kanker, karya-karyanya semakin berwarna. Dia menolak dikalahkan oleh waktu.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami bertemu dengan Ramli sehari sebelum perancang busana itu menjalani kemoterapi ke-24. Itu terjadi sehari setelah Natal di ruang tamu rumahnya di Jalan Semarang, Jakarta. Pada siang yang mendung, di ruang tamu yang temaram, di depan lukisan Merapi karya Basuki Abdullah yang setengah jadi, Ramli bercerita. Cerita tentang kariernya sebagai desainer selama 36 tahun, juga tentang kanker yang dia perangi selama dua tahun. "Saya belum mau menyerah," kata Ramli.

Dua bulan terakhir—November dan Desember—adalah bukti ketidakmenyerahan Ramli. Dia sibuk. Bahkan terlalu sibuk untuk orang yang belum pulih benar dari kanker. Untuk memperingati 36 tahun kiprahnya di dunia busana, Ramli—kini 61 tahun—menggelar fashion show di Barcelona dan Madrid (Spanyol) serta Casablanca dan Rabat (Maroko). Di dalam negeri, dia peragakan 150 koleksi terbarunya di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada 21 November lalu. Disusul satu pameran di Museum Tekstil, sepanjang Desember.

Ramli adalah salah seorang desainer Indonesia generasi awal: generasi 1970-an. Di antara mereka ada Peter Sie dan Iwan Tirta (keduanya sudah berpulang) serta Poppy Dharsono dan Harry Darsono, yang masih aktif sampai sekarang. Peter Sie adalah peletak awal mode modern Indonesia, Iwan berkutat pada batik, Poppy pada tenun tradisional, dan Harry dikenal dengan desain haute couture (adibusana) yang avant-garde. "Saya memilih untuk menekuni bordir," kata Ramli.

Ketertarikan Ramli pada bordir Nusantara muncul sejak dulu. Ketika kanak-kanak, dia selalu memperhatikan ibunya memakai kebaya kurung dengan bordir di sudut-sudutnya. "Tapi saya kemudian tidak hanya merancang kebaya," kata Ramli. Mendesain busana modern berbordir perlu keahlian khusus. Berbeda dengan batik yang bisa dipakai untuk seluruh baju, bordir hanya ditempatkan di sudut tertentu. "Bordir diciptakan sebagai pemanis, bukan ’menu utama’," kata Ramli.

Keahlian desainer otodidaktik ini adalah menempatkan bordir tradisional—terutama dari Tasikmalaya—pada baju-baju modern. Dia juga bereksperimen dengan bordir pada kulit dan denim. Hasilnya, anak muda gandrung pada baju-baju itu. Kreasinya juga laris di Amerika Serikat, terutama setelah Ramli menggelar show di satu dari empat kutub mode dunia: New York. Dia memakai motif bordir tradisional yang sudah ada sekaligus menciptakan motif baru. Atas usahanya, dia diberi Anugerah Upakarti oleh pemerintah pada 1990.

Setelah menikmati kejayaan pada 1970-an hingga pertengahan 1990-an, Ramli mendapat pesaing serius dari para perancang lebih muda, seperti Biyan, Didi Budiardjo, dan Sebastian Gunawan. Mereka membawa desain yang lebih modern dan segar. Namun Ramli tidak berhenti. Dia hanya menggeser pasar, ke arah penggemar mode senior. "Busana saya memang untuk perempuan mapan," kata Ramli.

Ia juga tidak berhenti ketika malaikat maut datang mendekat. Pada 2009, dalam sebuah pergelaran busananya di Medan, Ramli pingsan. Ada kanker yang berbaris seperti telur ikan di perutnya—dan sudah menjalar ke hati. Stadium IV. Itu artinya gawat, karena tak ada stadium V. Harapan hidup Ramli hampir nol. Dokter memperkirakan dia hanya mampu bertahan tiga bulan. Lima belas sentimeter usus besarnya dipotong. Untuk beberapa saat Ramli buang air besar lewat dinding perut.

Namun, dari ranjang rumah sakit, dia masih menyeleksi baju untuk pergelaran busananya di Rusia. Dua pekan setelah operasi, masih di atas kursi roda, Ramli menggelar peragaan busana di Hotel Sahid, Jakarta. Selanjutnya adalah kisah seorang survival yang layak dikutip para motivator. "Umur itu sudah ada yang mengatur, tapi sakit amat bergantung pada kita. Kalau tidak menyerah, kita bisa (mengalahkannya)," ujarnya dengan sungguh.

Jika kanker adalah badai, ­karya yang muncul setelah itu seperti pelangi. "Setelah menderita kanker, dia lebih berani bermain warna," kata Rima Melati, mantan model yang ­kerap memperagakan busana Ramli. "Dia bermain perak dan emas, bahkan berani bereksperimen memakai warna merah atau hijau dengan beragam gradasinya." Putri desainer Non Kawilarang itu menyimpulkan, keberanian Ramli bermain warna dipicu oleh sikapnya yang lebih positif memandang hidup.

Ramli juga berkreasi dengan kain-kain tradisional lain. Dia mencoba memecahkan masalah pada banyak kain tradisional yang terlalu kaku dan berat. "Untuk dibuat baju modern, memang bahan dan cara pengerjaan harus diubah," kata dia. Dari sebuah laci di ruang tamu, Ramli mengambil kain tapis Lampung hasil kreasinya: kainnya dia ganti dengan bahan lebih tipis dan pemakaian benang emas ia kurangi. Agar tak polos-polos amat, tapis itu dibatik terlebih dulu.

Hingga koleksi terakhirnya, Ramli masih bersemangat melahirkan sesuatu yang baru. Terakhir dia mengangkat batik Sampang (Madura) dan kain cual dari Kepulauan Anambas (Riau). Cual adalah kain langka. "Perajinnya sudah tidak ada," kata Ramli. Berdasarkan kain-kain lama yang tersisa, Ramli membuat rekonstruksi. Ada yang dibuat tenun seperti aslinya, ada yang motifnya "dipinjam" untuk dibuat batik.

Mendesain busana dari kain yang hampir punah ibarat pulang ke masa lalu. Di Anambas-lah Ramli menghabiskan masa kecilnya. Tahun lalu Ramli kembali mendatangi pulau yang telah dia tinggalkan puluhan tahun itu, berenang di air terjun yang sama, bertemu dengan kawan-kawan lama. Pria yang lahir pada 1 November 1950 ini merasa kembali muda, tapi dia sadar waktunya yang tersisa barangkali tak lagi panjang. "Diberi bonus dua tahun saja sudah bersyukur. Doakan saya bisa berkarya di tahun ke-40," kata Ramli. Dia tersenyum, lalu menghirup pelan-pelan teh madu dari mug bergambar horoskop Scorpio.

Qaris Tajudin, Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus