Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Menteri Perdagangan Gita Wirjawan:</font><br />Yang Tidak Ikut Aturan, Jangan ke Indonesia

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Latar hidupnya yang berwarna-warni—pengusaha, musikus, eksekutif, edukator, birokrat tinggi—seolah-olah beralih menjadi sewarna saja tatkala Gita Wirjawan, 46 tahun, berbicara dari kursi terbarunya: Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu II. Yakni angka dan data. "Angka tidak pernah berbohong," ujarnya kepada Tempo. Di tangan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini, angka-angka "dibernyawakan" dalam wujud performa, prediksi, dan target ekonomi, termasuk di kementerian yang kini dipimpinnya.

Dia menganjurkan orang Indonesia mengubah pola konsumsi dari semata-mata beras ke makanan alternatif. Dalam hitungannya, perubahan itu secara "radikal" akan mengubah posisi ketahanan pangan kita. "Jika hari ini 240 juta orang Indonesia mulai mengganti makan malamnya dengan singkong, hari ini juga kita beralih dari pengimpor menjadi pengekspor beras," ujarnya dengan serius. Gita lalu menyitir angka-angka dengan fasih—seolah-olah itu partitur musik yang dia gemari. Lima belas tahun bergerak di dunia bisnis tampaknya membuat dia percaya bahwa rasionalitas suatu kebijakan hendaknya ditopang oleh kekuatan kalkulasi.

Gita memulai karier di Citibank sebelum pindah kerja ke Goldman Sachs dan ST Telekomunikasi di Singapura. Pada 2006, dia kembali ke Tanah Air sebagai Direktur Utama JP Morgan Indonesia. Dua tahun kemudian, dia mendirikan Ancora Capital. Dalam hitungan bulan, Ancora—yang berfokus di bidang pertambangan dan sumber daya alam—mengakuisisi sejumlah perusahaan. Termasuk mengambil alih utang Bakrie & Brothers kepada JP Morgan pada November 2008.

Mahir bermain piano dan gitar, Gita mendirikan Omega Pacific Production, yang telah meluncurkan sejumlah album jazz dan pop. Golf adalah hobinya lain, sehingga dia memutuskan mendirikan Ancora Golf—sekolah yang mendidik pegolf muda berbakat. Pada akhir 2009, Gita melepaskan dunia usaha dan menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merombak kabinetnya pada Oktober lalu, Gita berpindah kantor ke Kementerian Perdagangan. Dua bulan lebih di posisi baru, ia meluncurkan sejumlah kebijakan yang dipandang kontroversial. Antara lain, pelarangan ekspor bahan baku rotan—yang banyak dikritik merugikan pengusaha lokal. Namun sang Menteri menyodorkan tiga alasan, di antaranya niat menguatkan daya kompetisi Indonesia di luar negeri.

Wartawan Tempo, Andari Karina Anom, Hermien Y. Kleden, Purwani D. Prabandari, Bobby Chandra, dan Riky Ferdianto, mewawancarai Gita Wirjawan di kantornya di Jakarta pada Kamis dua pekan lalu. Setiap menjawab pertanyaan, dia praktis menyertakan angka-angka dalam argumentasinya—tanpa bantuan kalkulator atau "sontekan" dari dokumen.

Apa ancang-ancang Kementerian Perdagangan menyambut 2012?

Level ekspor tahun ini (2011) bisa dikatakan rekor: sekitar (US$) 200 miliar. Kalau kita bisa menjaga di situ saja, sudah luar biasa. Banyak sekali produsen besar yang mungkin tak bisa mengirim barang dan jasa mereka ke pasar besar, khususnya Eropa Barat dan Amerika Serikat. Indonesia, dengan 240 juta manusia dan daya beli meningkat, akan menjadi target baru mereka. Sebaliknya, kita harus berkompetisi dengan mereka karena kita juga punya kepentingan mengirim barang dan jasa ke tempat lain. Barang dan jasa kita masih bisa dipromosikan ke pasar-pasar baru, seperti Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.

Bagaimana dengan pasar dalam negeri sebesar 240 juta jiwa itu?

Konsumsi domestik kita besar sekali—sekitar 60 persen dari total PDB (produk domestik bruto), maka pasar dalam negeri harus diperkuat.

Konkretnya bagaimana?

Salah satu yang relatif konkret adalah revitalisasi pasar tradisional. Sudah dilakukan pada 2011 dan akan berlanjut pada 2012. Kami melakukan pendekatan-pendekatan baru yang obyektif terhadap (standar) kesehatan, kebersihan, kenyamanan, juga kapasitas pasar untuk menstabilisasi harga.

Banyak pengusaha kecil dan daerah kesulitan menjual produk mereka ke luar negeri. Apa yang perlu dilakukan untuk membuka pasar baru?

Baru saja saya bertemu beberapa wali kota, dari Pekalongan, Yogya, Singkawang, Palembang. Suara mereka sama: masalah usaha kecil-menengah (UKM) yang fundamental adalah akses ke pendanaan. Tapi kini trennya membaik. Kurs meningkat, pencairan (dana) mungkin sudah melebihi Rp 20 triliun. Banyak produk kita amat seksi. Tapi mereka harus berkompetisi dengan UKM dari negara-negara lain yang suku bunganya cuma 2 persen, yang pelabuhan dan bandaranya lebih canggih. Secara tak langsung, ini kompetisi tidak fair yang harus disikapi secara struktural.

Dua bulan lebih menjabat Menteri Perdagangan, Anda sudah melakukan perubahan kebijakan. Apa pertimbangannya?

Saya berusaha menciptakan keseimbangan supply dan demand. Untuk itu, harus ada perubahan pola konsumsi. Misalnya per hari ini kita mengkonsumsi beras 140 kilogram per orang per tahun. Di negara tetangga kita—Thailand, Malaysia, Vietnam—konsumsi beras 65-70 kilogram per orang per tahun. Bayangkan, kalau besok pola konsumsi kita turun ke 100 kilogram saja, kita tentu sudah dalam posisi mengekspor. Saya sudah tidak makan nasi pagi dan malam—gantinya ubi atau singkong.

Pola konsumsi apa lagi yang harus diubah selain beras?

Sapi! Di Indonesia, kita hanya mengkonsumsi 2,1 kilogram (daging) sapi per orang per tahun. Di Jerman, konsumsi (daging sapi) per orang per tahun mencapai 50 kilogram. Sekarang kita tahu kenapa mereka pinter-pinter. Dalam hal ini, saya harus berpikir sebagai bekas pengusaha. Sapi bisa membuat kita pintar dan kaya.

Kenapa?

Pertama, sapi hanya bisa hidup di daerah dekat khatulistiwa. Kedua, kalau kita bisa meningkatkan konsumsi ke 20 kilogram saja per orang per tahun, kalikan dengan 240 juta manusia lalu kalikan Rp 70 ribu atau (US$) 7 dolar per kilogram, maka itu sudah mencapai 35 miliar dolar per tahun. Itu baru dagingnya—belum jeroan, kulit, susu, atau tulang. Sapi amat prospektif untuk kesehatan dan kesejahteraan.
Dalam prakteknya tak sesederhana itu. Perlu melibatkan banyak kementerian dan instansi lain. Bagaimana mengkoordinasikannya?Saya selalu melihat gelas setengah penuh, tak pernah setengah kosong. Modalnya adalah selalu positif dan optimistis. Kalau melihat 3-6 bulan ke depan memang sulit karena banyak masalah yang harus diselesaikan. Tapi kalau kita lihat 20 tahun ke depan, my God, negara kita luar biasa. Ini kalau kita ekstrapolasikan (angka) pertumbuhan riil di 6,5 sampai 7,5 persen per tahun. Asumsinya (perlu) ada ketahanan pangan, ketahanan energi , dan prasarana memadai. Memang syaratnya banyak, tapi kalau kita berpikir positif akan selalu ada jalan.

Ada peraturan Kementerian Perdagangan dianggap kontroversial karena tak berpihak kepada pengusaha lokal, seperti pelarangan ekspor bahan baku rotan. Mengapa?

Semangat mengeluarkan peraturan Menteri Perdagangan untuk menyetop bahan baku (rotan) berdasarkan tiga keyakinan. Pertama, harus ada penyerapan bahan baku dari Indonesia. Kedua, ada kepentingan kita membangun sentra-sentra produksi di luar Jawa—selain di Jawa. Ketiga, ada kepentingan alih teknologi agar desain produk rotan kita bisa berkompetisi dengan produk luar negeri.

Apa perlunya kita mengimpor produk-produk yang cukup tersedia di dalam negeri, seperti kentang?

Memang menyedihkan jika kita harus mengimpor kentang dari luar, karena membuahkan fluktuasi harga yang tak diinginkan oleh banyak pemangku kepentingan, khususnya petani . Saya tidak anti-impor, tapi kalau kita sudah bergantung pada satu atau dua komoditas, kayaknya tidak benar. Saya sudah duduk dengan Menteri Pertanian untuk menyikapi persoalan hortikultura, termasuk kentang. Dalam satu-dua minggu, akan kami sikapi bagaimana produk kita (memenuhi) unsur-unsur kebersihan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan.

Bisa lebih detail?

Anda mungkin tidak tahu kalau sampai hari ini mangga Indramayu tak bisa diekspor ke Australia. Setiap kali kita mengirim barang apa pun ke sana, mereka utak-atik dalam proses karantina, lalu ada saja alasan untuk mengirim balik. Kalau kita mau mengambil sikap seperti Australia, Kanada, dan Amerika terhadap produk-produk hortikultura, kita harus berinvestasi untuk proses karantina yang canggih.

Bukankah ini cenderung proteksionis?

Ini bukan proteksionis. Saya selalu memakai gawang yang sudah ditentukan. Kalau melewati gawang, itu baru proteksionis. Ada beberapa orang yang mungkin menuduh kita bertendensi proteksionis. Tunggu dulu, negara mana yang paling proteksionis? Amerika! Mereka memberi subsidi US$ 100 miliar kepada para petaninya setiap tahun. Kedua, Uni Eropa. Kita tidak melakukan distorsi kebijakan seperti itu. Kami telah mendeteksi data-data di lapangan.

Dan apa yang Anda temukan?

Dua minggu lalu, kami umumkan ratusan produk yang tak mengikuti peraturan, termasuk Standar Nasional Indonesia (SNI), peraturan labeling, peraturan kesehatan, keharusan ada buku manual terjemahan bahasa Indonesia, dan lain-lain. Hal-hal ini melanggar peraturan dan harus disikapi. Kalau tak ikut aturan, mereka tak berhak datang ke sini (Indonesia). Kita jangan hanya berwacana soal melanggar peraturan, harus jelas follow up-nya dalam pengawasan, pembinaan, penegakan.

Lemahkah posisi tawar kita dalam perdagangan internasional?

Posisi tawar pemerintah ada batasnya, tapi posisi tawar bangsa dan negara bisa di-drive oleh pola pikir masyarakat.

Contohnya?

Kalau Tempo menunjukkan produk-produk yang melanggar peraturan tapi si Anu masih terus mengkonsumsi barang itu, bagaimana? Dia sudah tahu produk A melanggar peraturan tapi masa bodoh dan tetap beli. Ini kembali ke pola pikir dan konsumsi masyarakat.

Apa produk ekspor Indonesia yang potensial untuk masa depan?

Karet. Harganya tidak terlalu fluktuatif tapi amat menghasilkan dan ramah lingkungan. Kalau kita bandingkan dengan Thailand, mereka bisa memproduksi hingga 2.000 ribu kilo per hektare. Kita masih 900-1.000 kilo per hektare. Masih harus ada peningkatan produksi secara keseluruhan. Kelapa sawit dan kopi juga perlu diperhatikan. Mudah-mudahan anak-cucu kita bisa menyaksikan eksportasi barang-barang yang punya nilai tambah. Bukan cuma bahan mentah atau barang sumber daya alam dasar.

Selain menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Anda pun memiliki jabatan baru sebagai Menteri Perdagangan. Apakah karena kedekatan Anda dengan Presiden Yudhoyono?

Saya sudah mengambil sikap mengemban tugas negara. Saya sudah lama jadi karyawan, bekerja di perusahaan domestik, multinasional, melanglang ke seluruh dunia, setelah itu jadi pengusaha. Maka saat ini, tugas apa pun yang diberikan untuk membantu Presiden, saya lakukan.
Soal performa saya di BKPM, Anda lihat saja angka-angkanya. Kan, angka tidak bisa berbohong.

Bukankah melalui Ancora Foundation Anda mensponsori Agus Harimurti Yudhoyono mendapat beasiswa di Harvard Kennedy School of Government pada 2009?

Kan, dia diterima dulu (di Harvard), baru saya berikan beasiswa. Bukan sebaliknya. Yayasan saya memprakarsai inisiatif supaya setiap tahun ada anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan di Oxford, Harvard, Stanford, Cambridge, Nanyang. Juga universitas di Indonesia: UI, ITB, UGM, sampai Universitas Cenderawasih. Tapi, syaratnya, mereka harus sudah diterima dulu di universitas. Kami tidak mau memberikan beasiswa sebelum ia diterima.

Termasuk anak Presiden?

Termasuk anak Pak SBY.

Gita Irawan Wirjawan
Tempat dan tanggal lahir:Jakarta, 21 September 1965 Pendidikan: l Kennedy School of Government, Harvard University (1992) l Public Administration, Harvard University (1999) Karier: l Goldman Sachs, Singapura (2000) l ST Telekomunikasi, Singapura (2004) l Direktur Utama JP Morgan, Jakarta (2006) l Mendirikan Ancora Capital (2008) l Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (22 Oktober 2009) l Menteri Perdagangan (mulai 19 Oktober 2011)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus