Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"Ini Film untuk Semua Ibu"

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya Garin Nugroho menyelesaikan sebuah puisi yang sederhana, justru ketika dia berhenti mencoba. Film terbarunya—berjudul Rindu Kami Padamu—yang akan beredar pada 25 November mendatang, bertutur dengan sederhana dan dikerjakan hanya dalam waktu 10 hari syuting di studio dan sehari outdoor. Kali ini Garin tampak memilih tema yang lebih populis dan realistis tanpa pretensi. Mengapa dia banting setir? Berikut ini petikan perbincangannya dengan wartawan Tempo Akmal Nasery Basral.

Gaya bertutur dalam film ini berbeda sekali dengan film-film Anda yang sebelumnya. Kali ini lebih membumi dan sederhana. Mengapa?

Sebenarnya ada juga karya-karya saya yang komunikatif, segar, dan menyentuh, seperti film iklan pemilu yang "ingak, ingak…". Memang kebanyakan orang mengingat saya sebagai pembuat film serius. Tapi, sewaktu membuat desain produksi film ini, saya sudah menyatakan ingin membuat film untuk ibu saya, untuk semua ibu. Jadi saya harus menemukan bentuk pengungkapan yang berbeda dengan film saya sebelumnya. Ini menjadi energi baru buat saya. Saya sangat disiplin dengan pasar saya.

Porsi anak-anak juga besar sekali di sini. Kenapa harus ibu dan anak?

Drama terbesar dalam sejarah film selalu tentang ibu. Coba saksikan film aliran neorealisme Italia atau film Iran. Tidak ada seorang anak pun yang tidak ingin mencari ibunya. Selalu ada anak kecil yang mencari perempuan yang lebih tua. Anak-anak yang mencuri bra, atau imaji tentang payudara. Karya-karya ini selalu mengandung elemen dramatik yang sangat kuat pada imaji seorang ibu. Bahkan proses penyapihan adalah perpisahan paling dramatik dari semua perpisahan dalam hidup ini.

Anda memilih aktor sekelas Didi Petet dan Neno Warisman hingga pemain-pemain anak-anak yang baru. Bagaimana konsep penyutradaraan Anda terhadap pemain yang beragam?

Anak-anak di film dan sinetron kita selalu terlihat ganteng, gemuk, dan pintar. Saya ingin mengatakan sebenarnya ada realitas lain. Sebelum mulai, saya menjelaskan konsep film kepada semua pemain dan kru. Misalnya kamera yang statis, dan pemain yang selalu bergerak. Atau dialog berjenjang yang saling potong dalam keramaian (chaos). Jadi semua berada di tingkat pemahaman yang sama, termasuk anak-anak itu, termasuk para figuran yang sehari-hari memang mencari nafkah sebagai penjual ayam atau penyepuh emas. Saya puas dengan ensambel akting ini. Bahkan tokoh Rindu (Raisha Pramesi), yang memang benar seorang tunarungu, kini jauh lebih percaya diri menghadapi orang-orang setelah tampil dalam film ini.

Warna film Iran sangat terasa dalam film ini. Sejauh mana Anda terpengaruh?

Sebelum memulai sebuah film biasanya saya punya referensi film tertentu. Untuk film ini, selain neorealisme dan gaya studio film Indonesia tahun 50-an, gaya bercerita film ini memang mengacu pada gaya bertutur film Iran. Cuma saya membuatnya dalam situasi yang lebih berkerumunan. Kalau film Iran lazimnya lebih soliter. Saya suka dengan cara bercerita mereka yang akrab, tapi tetap ada kontemplasi.

Ada ciri Garin yang khas di setiap film: sensualitas perempuan. Bahkan di film religius seperti ini gambaran seperti itu tetap muncul. Kenapa, sih, selalu harus ada satu perempuan cantik?

Ha-ha-ha…. Ada cerita lucu di salah satu pemutaran khusus, waktu adegan Cantik (Nova Eliza—Red.) mencium telur dengan gambar hati yang diberikan Seno (Fauzi Baadilla—Red.). Ekspresi Cantik itu rupanya dinikmati penonton, sehingga seakan-akan sensasi adegan itu sampai keluar layar (tertawa). Ini menurut pengakuan mereka, lho. Sebenarnya ini hal biasa. Sehari-hari kita sering melihat sensualitas di tengah chaos, kecantikan yang timbul dalam kontras, atau kealamian yang binal. Tesis dan antitesis dalam tubuh dan pikiran perempuan itu memunculkan sensualitas. Sex appeal ini yang harus ditangkap seorang sutradara, karena berbeda di setiap perempuan. Memang di film-film saya sebelumnya, Maudy (Koesnaedi), Lulu (Tobing), atau Berliana (Febrianti) sewaktu menari itu begitu memukau. Mereka berubah menjadi Sri Panggung. Ini juga yang terjadi pada Nova, yang tak bisa dilihat pada peran-peran yang dia mainkan di sinetronnya.

Beberapa tahun silam, Anda juga sudah sempat merencanakan film dengan latar belakang Islam dan bahkan skenarionya pun sudah selesai, berkisah tentang seorang santri yang jatuh cinta pada seorang gadis Cina dan diberi judul Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Kenapa batal?

Produsernya tidak berani, katanya saya bunuh diri. Padahal itu cuma kisah santri yang sedang puber. Lalu akhirnya saya membuat skenario yang sama sekali berbeda dan cerita berbeda dengan judul itu, tentang masyarakat Papua.

Kini Anda membuat film dengan latar belakang warga muslim di perkampungan dengan kisah yang minim konflik. Apa Anda masih ingin membuat film tentang santri itu?

Masih, saya masih ingin cari produser yang satu visi yang bersedia membuat film tentang santri itu.

Apa rencana Anda setelah ini?

Saya diundang ke Austria, untuk ikut pitching pembuatan film menyemarakkan festival 250 tahun Mozart di Wina. Ada 10 sutradara yang diundang. Rencana pembuatannya dimulai tahun 2006. Saya tertarik tapi belum ada ide mau bikin apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus