Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim Buruh Nan Terburu-buru

Pengadilan Hukum Industrial belum juga terbentuk. Pembahasannya terburu-buru. Padahal nasib buruh tergantung di sini.

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada suasana tidak biasa di Hotel Arya Duta Jakarta, Jumat tiga pekan lalu. Salah satu ruang rapat hotel itu penuh orang bersafari. Mereka duduk berkelompok-kelompok, membahas lembar-lembar kertas di mejanya dengan wajah serius. Sesekali, beberapa orang yang tampaknya bosan di dalam beranjak keluar. "Aduh, susah nih. Pengadilan Hubungan Industrial tak mungkin terbentuk. Saya pesimistis, Mas," kata salah satu peserta rapat kepada Tempo. Ia lalu buru-buru lari ke toilet.

Sepanjang dua hari, sejak Kamis hingga Jumat itu, sejumlah pejabat Mahkamah Agung (MA) serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memang berkerut kening. Bertempat di tiga ruang rapat hotel berbintang itu, mereka sibuk membahas persiapan pelaksanaan Un-dang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Inilah undang-undang yang akan mengatur pola baru hubungan antara industri dan para buruhnya. Berdasarkan undang-undang ini, kelak tak akan ada lagi Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), yang biasanya mengatur sengketa antara buruh dan industri. Sebagai gantinya, dibentuk lembaga baru bernama Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Yang membuat para peserta rapat berkerut kening adalah mepetnya waktu. UU No. 2/2004 itu terbit hampir setahun lalu, tepatnya 14 Januari 2004. Menurut ketentuan, setahun setelah terbit, undang-undang itu resmi berlaku. Itu berarti, tanggal 14 Januari 2005?kurang dua bulan dari sekarang?PHI harus sudah terbentuk. "Itu yang membuat saya pesimistis. Waktunya terlalu mepet," kata pejabat tadi, yang sudah keluar dari toilet.

Ia lalu membeberkan sejumlah alasan mengapa pesimistis. Misalnya, belum adanya anggaran. Belum lagi proses sosialisasi ke daerah-daerah yang pasti akan memakan waktu. "Ini sudah November. Artinya kan tinggal sebulan lagi," tutur pejabat tadi, yang enggan dikutip namanya.

Berbagai kendala itu pula yang merisaukan Ketua MA Bagir Manan. Apalagi, menurut Bagir, MA tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan undang-undang itu. Ia mengingatkan, sejak berlakunya sistem peradilan satu atap, semua persoalan pengadilan sepenuhnya tanggung jawab MA. "Jadi, semestinya MA menjadi pusat bagi terbentuknya sebuah pengadilan," katanya.

Pengadilan Hubungan Industrial memang bukan sekadar lembaga penengah perselisihan seperti selama ini dijalankan fungsinya oleh P4P dan P4D. Sesuai dengan namanya, PHI adalah lembaga pengadilan yang bersidang dengan majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc. Dan tidak seperti hakim biasa, hakim ad-hoc berasal dari unsur pengusaha dan serikat pekerja yang mewakili buruh. "Jelas, perlu waktu untuk menyiapkan para hakimnya," kata Bagir.

Ia lalu membandingkan proses persiapan mencari hakim ad-hoc kasus pelanggaran hak asasi Timor Timur dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Proses seleksi hakim di dua lembaga itu memerlukan waktu enam bulan sampai setahun (lihat Sulitnya Mencari Hakim). "Juga harus dipikirkan bagaimana proses penempatannya, lalu anggaran untuk menggaji mereka," kata Bagir.

Menurut Bagir, idealnya, untuk membentuk lembaga baru harus melalui riset mendalam dan sosialisasi terus menerus ke masyarakat. "Di Belanda, proses begini sampai bertahun-tahun," kata dia. Karena minimnya persiapan itulah, Bagir meminta sebaiknya pembentukan PHI ditunda dulu. "Toh masih ada P4P dan P4D yang mengurusi perburuhan," katanya lagi.

Ihwal tiadanya anggaran itu dibenarkan Direktur Hukum dan Peradilan MA, Soeparno. Ia menjelaskan, anggaran tahun 2005 bagi MA memang sudah turun. "Tapi mata anggaran untuk PHI tidak termasuk," katanya. Meski demikian, tim gabungan MA dan Departemen Tenaga Kerja akan mencoba berakrobat. Departemen Tenaga Kerja, kata Soeparno, akan mengusahakan dana melalui anggaran biaya tambahan (ABT).

Tentang mepetnya waktu, menurut Soeparno, tim itu mengusulkan beberapa program yang bisa dilakukan menjelang Januari. Misalnya, segera memberikan materi pelatihan bagi hakim karier tentang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. "Sekaligus menyiapkan surat keputusan dan penunjukan mereka sebagai hakim PHI," kata dia.

Karena berbagai kendala itulah, Soeparno menyebut ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, untuk sementara PHI hanya dibentuk di beberapa daerah. Kedua, tidak dibentuk sama sekali. Dan ketiga, bisa dibentuk, meski harus dipaksakan. "Karena itu, saya tidak bisa menilai apakah optimistis atau pesimistis pada program ini," katanya.

Pihak Departemen Tenaga Kerja sendiri mengakui, memang ada beberapa kendala pembentukan PHI. Namun Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Gandi Sugandi, yakin jika jadwal kerja yang disusun tim pembahas bisa ditaati, pada Desember atau 9 Januari 2005 PHI sudah terbentuk. "Termasuk pendidikan dan pelatihan untuk para hakim karier dan ad-hoc, maupun panitera," katanya.

Adapun dosen hukum perburuhan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, menilai pembentukan pengadilan ini bagus untuk menangani perselisihan perburuhan secara cepat. Meski demikian, menurut dia, pengadilan ini tetap memiliki kelemahan karena hakim yang bersidang bukan hakim pilihan pihak yang berselisih. "UU ini akan lebih sempurna jika menetapkan para hakimnya adalah pilihan pihak yang berselisih," katanya.

Selama ini, kata Aloysius, hakim ditunjuk oleh ketua pengadilan. Dengan sistem ini, Aloysius khawatir keputusan hakim tidak obyektif. Ia lalu memberi contoh pengadilan perburuhan di Singapura. Di negeri tetangga itu, hakim yang tampil adalah pilihan para pihak berselisih. Cara ini, kata dia, disebut court arbitration. "Saya sudah menyampaikan ini di saat pembahasan di DPR, tapi tidak ditanggapi," kata dia.

Ia juga menilai DPR terlalu terburu-buru mengesahkan undang-undang baru itu. Rentang waktu setahun pemberlakuan undang-undang juga menurutnya terlalu singkat. Ia lalu membandingkan UU Peradilan Tata Usaha Negara yang pembentukan pengadilannya berlaku lima tahun kemudian. "Jadi, sosialisasi bisa lebih intensif dan menyeluruh," katanya.

Sukma N. Loppies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus