REMY Sylado (33 tahun), orang serba bisa, dikenal sebagai pelopor puisi mbelink. Remy juga mementaskan sandiwara di Bandung dengan penampilan yang dianggap nyentrik. Selain menulis beberapa novel, ia bikin skenario film Duo Kribo. Belakangan sibuk menulis lagu dan menyanyi. Di bawah ini wawancara Bachrun Suwatdi dari TEMPO: Sebelum kaset 'Orexas' dan 'Remy Sylado Company' anda sudah merekam kaset di Bandung. Bagaimana hasilnya? Tidak sukses. Bagaimana bisa sukses. Musik jelek sekalipun, kalau iklannya di TV bisa berhasil. Musik saya iklannya mau masuk TV, orang TV menolak. Katanya harus dites, sulit, kadang sampai 4 - 5 kali dites belum tentu lulus. Katanya harus pakai duit (maksudnya sogok). Bagaimana dengan 'Orexas' dan 'Remy Sylado Company'? Juga sama, tidak sukses. Bagaimana bisa sukses kalau tidak ada iklan di TV. Semua perusahaan yang kontrak sama saya mau pasang iklan di TV, tapi orang TV bilang, Remy harus dites. Saya bersedia dites, tapi saya sebelumnya harus mentes mereka dulu. Kita kalau harus bicara harus berpegang pada salah satu kriteria. Saya akan bicara referensi. Saya berpendapat selama ini sebagai kritikus musik saya lebih faham referensi musikologi dibanding siapapun di Indonesia ini. Mereka orang-orang TV belum sanggup menilai saya. Dan sebenarnya masalah uang. Mereka akan tetap saja mempersulit. Warna musik anda tidak sama dengan Chrisye dan Eros yang sedang laris. Sengaja? Saya menentukan bentuk sendiri. Saya lebih cenderung bentuk folk rock -- saya pikir satu-satunya pola untuk bisa bercerita tentang kemanusiaan. Sekarang perusahaan sudah terangkat dari 'mannerisme'. Tidak ada orang yang utuh visinya, semua musik epigon. Misalnya Panbers pada Koes Plus, D'Lloyd pada Koes Plus. Padahal mereka memiliki keterbatasan masing-masing. Musik saya memiliki keterbatasan sendiri. Lagu anda Tuti Soemitro di kaset 'Remy Sylado Company' mengingatkan lagu Bimbo Tante Sun. Anda juga epigon? Saya kira tidak sama. Musik saya country. Saya heran orang mengatakan kaya' Tante Sun. Malah Tante Sun yang mirip King Herod Sangnya Jesus Christ Super Star. Apa pendapat anda terhadap musik pop pribumi sekarang? Musik pop Indonesia, cacatnya yang terbesar pada liriknya. Lirik dengan bahasa yang tidak efektif, tidak terpilih. Keenan Nasution liriknya sudah bagus. Franky & Jane sudah tercabut dari mannerisme. Cara berfikir musikus pop Indonesia kurang tangkas. Saya inginkan musikus itu bisa mengambil manfaat dari sastrawan maupun teaterawan kita. Tapi kalau ada kritikan dianggap musuh. Jadi nggak sehat. Anda pernah jadi juri festival penyanyi pop Indonesia. Apa komentar anda? Festival pop itu kerjanya orang Jepang untuk melariskan gitar Yamaha. Untuk melayani selera Jepang, untuk menjilat Jepang. Di Indonesia hampir 99,9% mereka tidak menghayati pribadi sendiri tetapi meminjam pribadi orang lain. Pada festival pop kemarin, penyanyi wanita asal mau top semuanya meniru Shirley assey. Juga jurinya sudah tua-tua. Seleranya kuno. Mereka menginginkan musik hanya memainkan vibrasi. Ini kocak. Sekarang anda sudah berkeluarga. Apa anda tetap mempertahankan cara berekspresi yang anda lakukan dengan pementasan dan puisi mbeling dulu? Sudah berubah. Kan bodoh kalau mau tetap begitu. Kepentingan dan status sosial sudah berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini