DALAM beberapa hari lagi hasil Festival Film Indonesia di Ujung
Pandang akan diumumkan. Tanpa bermaksud mempengaruhi penilaian
juri yang kini sudah selesai, hanya sekedar memberikan bahan
perbandingan bagi pembaca, TEMPO di bawah ini menurunkan
penilaiannya. Selamat menonton.
YANG TERBAIK: SUCI, SANG PRIMADONA
"Suci Sang Primadona sebagai film belum bicara apa-apa. Saya
masih sibuk dengan kata-kata, bukan efek gambar."
Arifin C. Noer.
PENGAKUAN Arifin bisa dicatat. Ia memang sulit untuk mengelak.
Secara teknis film pertamanya -- ditulis dan disutradarai
sendiri memang masih jauh dari sempurna. Ada bagian yang
kelebihan gambar, ada bagian yang kekurangan gambar. Penempatan
jenis gambar juga masih belum seluruhnya rapi.
Tapi anehnya karya Arifin ini mengasyikkan untuk ditonton. Ada
sesuatu yang terasa pada kita yang dikisahkannya. Sesuatu yang
rasanya sering kita temukan tapi tidak pernah terlalu kita
perhatikan. Menonton karya Arifin ini terasa seperti berkenalan
dan bercengkerama dengan seorang yang kita sering ketemu tapi
tidak pernah sempat berbincang-bincang.
Ini adalah kisah tentang seorang primadona di rombongan
sandiwara rakyat Sri Mulat Surabaya. Namanya Suci. Statusnya:
janda muda dengan beberapa anak, yang ditinggalkannya jauh di
udik yang tandus. Dan sebagai perempuan dari desa yang masuk
kota dan menghabiskan waktu di atas dan di belakang panggung,
Suci punya banyak impian.
Orang-orang yang bermimpi itulah yang digarap Arifin. Suci
(dimainkan oleh Joyce Erna) bermimpi, pak Kuncung suami isteri
bermimpi, Oom Kapitan (Soekarno M. Noor) bermimpi. Pak Dawud
(Alam Surawijaya) bermimpi, Tuan Condro (Awaludin) bermimpi,
anak muda Eros (Rano Karno) bermimpi.
Suci yang cantik dan bertubuh bagus yakin bahwa lewat tubuhnya
ia bisa mendapatkan apa yang ia anggap sebagai inti dari
semuanya, kekayaan. Condro cukong, Pak Dawud pejabat pengusaha,
dan Oom Kapitan, pemeras, yakin bahwa masing-masing telah
mendapatkan piaraan cantik lewat uang mereka. Dengan kata lain
masing-masing yakin telah memiliki Suci. Sementara itu Eros
yakin bahwa ia, yang lari dari Jakarta karena muak dengan
kepalsuan orang tuanya yang makmur, sudah cukup dewasa untuk
menentukan jalan hidupnya sendiri: menikah dengan "mbak Suci"
yang memang mencintainya, tapi yang belum ia kenal betul asal
dan arahnya.
Arifin adalah penulis dan sutradara sandiwara yang jitu dalam
mempermainkan mimpi. Tidak mengejutkan jika hasil kerjanya juga
mengasyikkan. Lihatlah betapa plastisnya Arifin berkisah tentang
pak Kuncung dan keluarganya itu --pakde si Suci yang juga
menyambung hidupnya dengan jadi figuran Srimulat yang melarat.
Seperti dalam beberapa lakon sandiwara Arifin, tokoh miskin yang
menebak lotere tanpa henti-hentinya ini adalah sosok yang
tragis, tapi dari momen ke momen terlihat menggelikan. Akhirnya
sudah dapat diduga sebenarnya ia bakal gagal bermimpi jadi kaya.
Tapi cara Arifin menabrakkan impian itu ke kegagalan cukup
mengejutkan, walaupun dalam menggambarkan impiannya ia
menampilkan adegan-adegan mirip sinting yang agak terlalu
dibuat-buat.
Yang baik diingat ialah bahwa dengan berdisiplin pada satu
struktur cerita yang padu, Arifin berhasil mengembalikan
selingan impian dan kegagalan pak Kuncung ini kepada cerita
pokok film. Berbeda dengan penulis skenario lain --seperti yang
terlihat pada Yang Muda Yang Bercinta dan Jakarta, Jakarta --
skenario Suci tidak mencong ke sana ke mari. Kegagalan Pak
Kuncung ternyata bisa jadi pengantar bagi kesadaran Suci untuk
berhenti memburu-buru harta. Dan Suci pelan-pelan pun mulai
berhenti bermimpi, apalagi percintaannya yang spontan dan
hangat dengan Eros akhirnya harus ia insyafi sebagai sesuatu
yang tak mungkin terus: anak itu masih terlalu muda dan ia
sendiri tidak.
Film ini pun dengan setahap demi setahap habis setelah impian
demi impian diuraikan, kemudian dipudarkan. Pak Kuncung mati,
isterinya menangis tetap di ranjang yang tua dan apak itu. Pak
Dawud yang korup, tuan Condro yang manipulator, Pak Kapten yang
pemeras dan lemah syahwat, semuanya dibongkar cacat-cacatnya
setelah masing-masing mencoba membalas dendam atas keterkecohan
mereka. Suci -- setelah membongkar semua itu sekaligus dengan
kata-kata yang amat banyak -- akhirnya kembali ke desanya,
konsekwen dengan khotbahnya tentang kepalsuan hidup mewah. Eros
balik ke Jakarta, ke sekolah.
Moral cerita ini memang pada dasarnya konvensionil. Kecuali bila
pembelaan kepada wanita yang menjual tubuh (tapi tak menjual
diri), seperti yang tersirat dalam lagu Kupu-Kupu Malam Titiek
Puspa, dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Sebab Arifin
memang tak nampak berpretensi akan memperbaharui perkara besar
dengan cara mengejutkan. Tak ada niat jadi avantgarde, tidak ada
tingkah New wave. Adegan kamar tidur antara Suci dengan Eros
juga bukan suatu pertunjukan perversi sex, tapi lebih kepada
sugesti dua anak bermain -- seperti juga mereka bermain dakon.
Singkatnya Suci tak akan menimbulkan heboh, sang produser
(Gramedia, yang berkaitan dengan harian Kompas) bisa selamat dan
bahkan mungkin sekali sukses secara dagang.
Tapi sementara itu diam-diam ada sesuatu yang dipertegas Arifin
-- satu hal yang sering diterlantarkan oleh para sutradara
Indonesia yang lebih biasa dengan ongkos mahal dan ambisi gede
bahwa sesungguhnya sebuah cerita film bisa berangkat dari satu
tempat, dan berkisar di sana. Dan tempat itu boleh bersahaja,
yang sonder di-eropa-eropa-kan toh bisa dramatis. Dalam Suci
yang sebagian besar berlokasi di Taman Hiburan Rakyat Surabaya,
tak ada gereja kuno, tak ada pula bangsal bangsawan yang antik,
tak ada kementerengan bak Hollywood lama yang dalam film kita
biasanya hanya mencerminkan impian sang sutradara sendiri.
Tapi sementara film ini masih terlampau banyak memakai kata-kata
dan akan orang panggung, pengalaman Arifin sebagai sutradara
pentas banyak membantu: Yakni dalam menggarap pemain. Dengan
sentuhan Arifin, Joyce Erna sebagai Suci bermain meyakinkan. Ia
adalah si Suci itu sendiri, dari cara jalannya, dari caranya
mengangguk menuruti permintaan langganan, dari caranya bicara
yang beraksen Jawa Timur dan juga pada saat menangis. Wanita
yang baru pertama kali main film ini telah memperlihatkan satu
permainan terbaik untuk film tahun 1977, (lihat: Joyce, Sang
Primadona).
Bahkan Pak Kuncung yang selama ini cuma dapat peran jongos yang
(seperti dalam sandiwara kita sejak sebelum perang) selalu tolol
untuk lucu, ternyata di bawah Arifin bisa bermain dengan begitu
mengharukan. Alam Surawijaya, Soekarno M. Noor, tapi terutama
Awaluddin, memperlihatkan permainan yang biasanya tidak mereka
perlihatkan. Atau barangkali saja mereka selalu bermain baik,
tapi dalam sebuah film yang tidak utuh, permainan macam apa pun
yang diperlihatkan para pemain, kesan yang ditinggalkannya tetap
saja terhapus.
Suci sang Primadona (di balik gambarnya yang jelek), adalah film
yang utuh.
YANG MENCARI EFEK: KEMBANG PLASTIK
"Kembang-Kembang Plastik adalah sebuah film yang mencoba
melukiskan kehidupan 'satu hari satu malam' para pelacur dan
para penjahat dengan corak pelukisan yang berlandaskan kasih dan
pengertian atas konflik-konflik dan harapan-harapan mereka."
Wim Umboh.
KISAHNYA memang seluruhnya di kompleks pelacuran sunan
Kuning, Semarang. Di sana berkumpul sejumlah pelacur, pemain
musik jalanan, tukang warung, para pencoleng, germo serta tentu
saja para lelaki yang menjadi konsumen para perempuan itu. Lewat
skenario yang ditulis oleh Arifin C. Noer, Wim Umboh
memperkenalkan kepada penonton pelacur Lily (Yatti Octavia),
Yayu (Ully Artha) Iin (Nenny Triana), Nora (Dien Novita),
pelacur tua (Enny Kusrini) serta pelacur gelap (Rahayu Effendi),
germo (Nurnaningsih dan para pencoleng pimpinan mBah Genggong
(Maruli Sitompul).
Di antara orang banyak itu -- masih akan diperamai lagi oleh
Mangapul si rampok (Roy Marten) dan Ijan (Cok Simbara) yang
jatuh cinta pada pelacur Lily -- siapa sebenarnya yang dipasang
Wim sebagai pemain terpenting? Jawab sang sutradara: "Tidak ada
yang penting antara mBah Genggong, Lili, Ijan, Yayuk atau pun
Mangapul. Saya ingin menceritakan tentang semua mereka."
Itu memang sikap yang baik untuk menghadapi sebuah skenario yang
diilhami dari sebuah sandiwara karya Arifin C. Noer. Tapi justru
di sanalah puh masalahnya. Wim yang sudah terbiasa membikin film
manis bergambar indah dengan cerita melodramatis ternyata
kewalahan ketika menghadapi karya Arifin ini.
Ia membuatnya dengan amat realistis. Tapi Kembang-Kembang
Plastik bukanlah sebuah kisah kenyataan sebagai adanya,
melainkan suatu nyanyian, suatu puisi liris tentang kehidupan
pelacur dan manusia-manusia yang hidup di sekitarnya.
Perhatikanlah adegan waktu mBah Genggong dengan para anak
buahnya mempersiapkan perampokan. Baik dialog maupun tingkah
laku para pemain semuanya mustahil terjadi pada kehidupan
sehari-hari. Di sini terjadi suatu gaya permainan yang amat
diberi stilisasi -- merokok beramai-ramai secara serentak,
berangkat ke tempat sasaran perampokan dengan becak terbuka di
tengah malam buta sambil sama-sama menyiulkan lagu Bridge On The
River Kwai.
Adegan-adegan yang memerlukan stilisasi macam tadi mendominir
seluruh tontonan ini sebagai layaknya sebuah nyanyian liris.
Dalam adegan perampokan, Wim berhasil, terutama dengan
bantuan permainan Maruli Sitompul yang luar biasa. Tapi Wim
ternyata tidak konsisten. Adegan-adegan lain -- pelacur yang
menyanyi, misalnya -- dikerjakannya secara amat realistis. Para
pemain pun melakukan tugas mereka sebagai biasanya yang mereka
lakukan dalam film-film yang mereka bintangi sebelumnya. Mungkin
karena menyadari kelemahannya dalam bidang penampilan pemain
itulah maka Wim mencoba melakukan kompensasi lewat pengucapan
dialog yang diberi aksen Jawa atau Batak yang dibuat-buat. Tapi,
ya, karena dasarnya sudah dibuat-buat -- celakanya pula, orang
Jawa disuruh beraksen Batak, orang Batak harus beraksen Jawa --
hasilnya cuma menimbulkan kerisihan.
"Saya mendapat kesan film itu agak mencari efek, terlalu
disadari. Sulitnya menghadapi film itu ialah: di satu pihak ada
semacam realisme, tapi seperti pada karya saya yang lain, ada
sifat nyanyian juga. Jika Wim agak mengambil jarak sedikit,
mungkin kesan mencari efek kurang." Itu komentar Arifin sang
penulis skenario.
Mengambil jarak atau apa saja namanya, yang jelas lewat film
ini Wim tidak memperlihatkan suatu tafsiran yang utuh terhadap
skenario. Karena tidak adanya tafsiran yang utuh itulah maka
tidak tercipta suatu kesatuan gaya dalam penceritaan. Terjadi
suatu pencampur adukan antara gaya realistis dengan gaya
grotesk.
Salah satu akibat dari pendekatan Wim yang tidak utuh barangkali
juga bisa dilihat pada menonjolnya tokoh mBah Genggong, meski
pada mulanya tidak dimaksud demikian. Nyanyian liris tentang
hidup di sekitar kompleks pelacuran ini akhirnya berubah menjadi
kisah tragis tentang mBah Genggong, si bekas pejuang yang entah
karena apa kemudian hinggap di kompleks pelacuran sebagai
pelindung para pelacur sembari memimpin suatu kelompok perampok
dan pencopet.
Tokoh-tokoh lain akhirnya hanya menjadi pelengkap kisah di
seputar diri mBah yang satu ini. Untunglah bahwa Maruli Sitompul
bermain dengan baik sekali --seperti selalu ia lakukan dalam
setiap penampilannya -- sehingga cerita sedikit bisa tertolong.
Sebagai editor Wim juga menolong banyak film yang ia sutradarai
ini. Barangkali harus dikatakan bahwa sebagai editor Wim masih
tetap unggul di antara kawan-kawan sejawatnya. Ia bahkan lebih
unggul sebagai editor daripada sebagai sutradara.
YANG BANYAK MAUNYA: YANG MUDA
"Yang Muda Yang Bercinta adalah kisah tentang seorang anak muda
yang mahasiswa yang penyair dan jatuh cinta. Pada saat yang sama
dia melihat lingkungannya. Bapaknya miskin. Tapi ada orang
kaya, ada sarjana-sarjana nganggur. Dia memandang masa depan
dalam suasana lingkungan itu. Bingung. Dan pada saat yang sama,
pada saat persoalan begini selesai, tahu-tahu pacarnya bunting.
Ia pun lari ke Yogya dan Semarang. Di tempat pelariannya itu
terjadi proses pengendapan."
Sjuman Djaja.
Yang Muda Yang Bercinta adalah karya ke-8 Sjuman Djaja. Film ini
dibuka dengan Rendra sebagai si Son membacakan puisi protesnya
dalam kampus Universitas Indonesia. Ia memprotes cukong,
memprotes pembangunan yang tidak membuka lapangan kerja bagi
banyak orang, memprotes barang-barang impor yang mewah dan
melumpuhkan produksi dalam negeri, dan sebagainya. Pokoknya
protes yang di luar film biasa disuarakan Rendra, dan kira-kira
sama dengan protes mahasiswa yang dulu terdengar di halaman
kampus maupun lewat sejumlah pernyataan.
Suatu awal yang menarik, jika ini sebuah film dengan cerita yang
tegang tentang mahasiswa dan suara resah mereka. Tapi sayang,
film ini ternyata tidak bercerita ke sana. Atau lebih tepat ada
dua cerita yang dimainkan Rendra di situ, dan keduanya secara
agak susah payah dicoba dikait-kaitkan.
Yang pertama adalah Rendra seniri. Yang kedua adalah sang
mahasiswa, anak seorang pensiunan klerk yang tentu saja hidup
sederhana. Seorang remaja biasa, yang pacaran, kuliah dan
merengek-rengek minta jas untuk dipakai pada pesta mewah bersama
kawan-kawannya.
Suasana hidup sederhana keluarga priyayi menengah itu
digambarkan dengan baik oleh Sjuman. Juga kehidupan keluarga
pacar (Yati Octavia), yang tinggal bersama ibunya yang janda dan
hidup dengan membuat kue. Sayangnya pusat kejadian tidak
berlangsung di situ. Dalam kehendak mendapatkan gambar perbedaan
sosial, si mahasiswa dijejerkan dengan kehidupan temannya yang
mewah. Kontrasnya tajam betul. Tapi jika dari sini diharapkan
ada konflik anda akan kecewa. Memang, dari sebuah film tidak
selalu harus ada kisah konflik antara si miskin dengan si kaya.
Tapi setelah melihat begitu beralasannya suara protes dalam
puisi si Son, rasanya ada sesuatu yang palsu jika film ini
kemudian cuma berpokok cerita pada soal pacaran yang terlanjur
jadi kehamilan. Setidaknya, tak ada efek apa-apa dari gejolak
protes sosial itu pada cara si tokoh mengambil keputusan. Bahkan
ia tetap dekat dan tetap menompang pada kebaikan pamannya yang
ia ketahui ikut korup, ikut mewah, ikut feodal. Suara galak
protes sosial film ini pada akhirnya terasa cuma verbalisme,
atau basa-basi atau tempelan. Dan semuanya ditujukan kepada
orang lain.
Agak jelas tempelan ialah pada adegan pertengkaran antara Son
dengan ayahnya (dimainkan oleh Maruli Sitompul). Gara-gara soal
terlambat membayar rekening listrik. Adegan ini sebetulnya bisa
menggambarkan baik bentrokan sikap si ayah yang mau tertib,
hati-hati, cemas, dengan sikap si anak yang seenaknya. Tapi si
anak tiba-tiba menuding bapaknya sebagai pihak yang tak mau
dikritik karena sudah "macet". Kata-kata ini jelas ditujukan
buat menyindir angkatan lama yang berkuasa yang tak mau dikritik
-- satu hal yang sering diulang Rendra. Tapi apa hubungannya
dengan keterlambatan membayar rekening listrik? Dan tidakkah
kecemasan si ayah bisa difahami, hingga tuduhan "anti-kritik"
itu terasa mengada-ada atau gertak?
Mungkin karena skenario yang semula ditulis Umar Kayam ini
kemudian diubah-ubah. Kata Sjuman: "Plot yang ditampilkan adalah
plot Kayam. Tapi bahwa di sana-sini ada pengaruh, dalam proses
pembuatan film adalah biasa. Pada film saya ada pengaruh liayam,
ada juga pengaruh Rendra." Yang disayangkan ialah bahwa pelbagai
unsur baru itu tidak membentuk jalur yang padu.
Yang muncul adalah sebuah tontonan yang terlalu banyak maunya.
Dengan begitu, Yang Muda Yang Bercinta amat berbeda dengan film
Sjuman yang sebelumnya, Pinangan. Kalau pada Yang Muda Yang
Bercinta Sjuman mau terlalu banyak, pada Pinangan yang sederhana
(diangkat dari sandiwara sebabak Anton Chekov) Sjuman justru
terlalu miskin variasi.
Seperti juga dalam film-film lainnya, dalam film Sjuman yang
terbaru ini Maruli Sitompul adalah unsur yang menyenangkan. Ia
bermain subtil, meyakinkan bahkan mengharukan. Di depan Rendra
yang bermain teatral (adegan di atas truk di bagian akhir
sebetulnya ia tak perlu merentangkan tangan), Maruli tampil
sebagai suatu yang bersahaja dan wajar. Karena itu ia justru
menonjol.
YANG APIK TAPI MELELAHKAN: BADAI
"Badai ini sebenarnya adalah cacing yang saya jadikan ular."
Teguh Karya.
Aneh. Sang Sutradara sendiri menilai rendah ceritanya. Tapi ia
tetap menggarapnya. Kenapa Teguh Karya memfilmkan juga novel
karya Marga. T itu? "Sebagai nilai tukar. Soalnya produser yang
sama telah memberikan saya kesempatan membuat film Perkawinan
Dalam Semusim."
Berlainan dengan Perkawinan Dalam Semusim yang tampil lewat plot
majemuk dengan berbagai tokoh yang punya persoalan
sendiri-sendiri (TEMPO, 23 April 1977), dalam Badai Pasti
Berlalu Teguh kembali ke plot tunggal. Inilah kisah tentang
Siska (Christine Hakim) yang jadi gadis penyendiri lantaran
patah hati.
Leo (Roy Marten) muncul. Dengan segala akal, ia akhirnya --
dengan bantuan penuh abang si Siska sendiri -- berhasil
memenangkan hati si gadis. Untuk apa? Mula-mula mungkin untuk
memenangkan taruhan dengan kawan-kawan kuliahnya. Kemudian
rasanya ia jatuh cinta juga. Ketika sudah berhasil tunangan --
tentu saja juga menang uang taruhan -- mendadak saja putus
hubungan. Siska merasa dipermainkan sebagai barang taruhan.
Kemudian muncul Helmi Landau (Slamet Raharjo) yang adiknya
dijadikan simpanan oleh ayah Siska, tuan Santoso (Rahmat
Hidayat). Tokoh Helmi dimaksudkan sebagai tokoh pembalas dendam.
Ia memeras sang ayah dan kemudian berhasil mendapatkan Siska.
Anak mereka mati sakit waktu Helmi pergi (ia selalu pergi) dan
perkawinan habis. Siska kembali ke Leo yang sudah jadi dokter.
Tak ada yang sanggup mengharukan.
Tak heran bila Teguh menilai rendah sendiri kisah yang
difilmkannya ini. Sudah tentu kesalahan lewat film bukan pula
lantas jadi tanggung jawab Marga.T lagi. Setelah melewati tangan
Arifin C. Noer dan Teguh Karya sebagai penulis skenario, sudah
tentu perbaikan diharapkan terjadi. Dan setelah ditangani pada
tingkat terakhir oleh Teguh sebagai sutradara, cerita yang
sebenarnya cuma "cacing" itu mustinya sudah jadi "ular". Tahunya
masih tetap saja cacing yang diperbesar.
Intensitas, kedalaman perasaan, yang bisa menyebabkan sebuah
melodrama jadi menyembilu, tak terasa juga. Film ini seperti
bukunya berjalan datar. Tanpa titik, koma, tanda seru atau tanda
baca apa pun kecuali -- barangkali -- titik koma. Sebagai
tontonan. film karya Teguh ini memang sempurna jika dilihat
sebagai bagian-bagian lepas, tapi secara utuh melelahkan. Kerja
kameranya efektif, permainan bintangnya cukup, penataan
artistiknya apik, tapi ketika layar kembali jadi pucat dan kita
berdiri untuk pulang, kita melangkah tanpa deburan jantung yang
berubah. Kenapa, ya? Dari Teguh rasanya layak untuk ditunggu
sebuah film dari roman psikologis, orang modern yang rumit
jiwanya, bukan tokoh-tokoh cerita yang seolah-olah hanya dilihat
dari luar, dengan subyektifitas setipis alis, yang ditulis oleh
Marga T.
YANG GADO-GADO: JAKARTA, JAKARTA
"Jakarta-Jakarta adalah sebuah kolase, adonan gado-gado atau
lebih tepat asinan. Dia tidak manis karena bukan itu memang
maksud tujuannya. Dia ingin mengajak orang berfikir sejenak,
sedetik di tengah hiruk pikuknya perjuangan mempertabankan hidup
di ibukota ....."
Ami Priyono.
Film karya Ami Priyono ini dibuka dengan sejumlah adegan tentang
berbagai hal yang terjadi di Jakarta. Ini memang sebuah
pembukaan yang baik bagi sebuah film yang berhasrat bercerita
tentang Jakarta dan isinya. Dan film yang berjudul Jakarta,
Jakarta itu memulai kisahnya ketika kapal laut Tampomas merapat
di dermaga Tanjung Priok Jakarta. Tumbur Silalahi (El Manik)
adalah salah seorang penumpang yang datang ke Jakarta dari
Medan.
Kekerasan Jakarta diperkenalkan oleh Ami lewat adegan
perampasan terhadap barang-barang milik Tumbul oleh tiga orang
penjambret ketika Tumbur sedang kelelahan sehabis mencari
pamannya yang tak kunjung ketemu. Terjadi penyiksaan. Tumbur
kemudian ditolong oleh pelacur Saly (Indah Fajarwaty). Mereka
pernah bertemu di kapal. Ada juga mahasiswa pincang yang bernama
Indra (John Marjono). Tapi mengapa penduduk kampung ramai-ramai
melempari mereka batu? "Justru orang-orang pemarah adalah orang
yang tertekan dan lapar. Mereka sering berbenturan sesamanya,
kaum underdog." Begitu Ami menjelaskan.
Suatu perlambang, sebab sejak iu penghuni kampung itu tak
terasa kehadirannya lagi? Terserahlah. Tapi mungkin juga itu
pertanda pertama bahwa dalam film ini yang diperlukan bukanlah
kepaduan dan konsistensi cerita. Bisa saja, cuma sayang. Kita
mungkin akan lebih sreg bila cerita cukup dipusatkan kepada
nasib pemilik bengkel yang digusur. Setidaknya karena bintang
lama Masito Sitorus betul-betul memperlihatkan usahanya untuk
bermain baik. Dan ia tidak cuma bermain baik, tapi juga
mengharukan.
Tapi begitulah, Ami sendiri mengakui Jakarta, Jakarta itu
dibuat dan ditinjau dari kaca mata sutradara film komersil.
Harus diingat pula, sebelah kaki saya berpijak pada idealisme
dan sebelah lainnya pada permintaan pasar."
Tapi kesulitan Ami nampaknya bukan cuma mengatur kedua letak
kakinya, tapi menggabungkan unsur-unsur kolasenya. Setelah
sedikit berkisah tentang anak muda yang datang dari Medan untuk
mencari hidup di Jakarta, setelah sedikit berkisah tentang
penggusuran, Ami masuk ke persoalan perploncoan, yang dalam film
ini didebatkan cukup panjang, seraya memasuki jalur cinta
antara sopir dengan anak majikan. Pada akhirnya Jakarta, yang
mewadahi itu semua, tak terasa hadir. Adegan terakhir film ini,
penembakan dan penikaman di sebuah upacara nikah yang indah di
gereja tua yang sepi, dengan dasi kupu-kupu, gaun pengantin
serta darah terpercik, bisa saja terjadi di sebuah kota kecil di
Sicilia. Apalagi realisme, yang biasanya diharapkan dari cerita
tentang kerasnya kota besar, lebih bersandar pada asumsi-asumsi
yang ada tentang orang kaya yang jahat dan bejat, tentang
mahasiswa dan kehidupan kampus, tentang kehidupan pelacur dan
sopir.
Kisah tentang Jakarta yang keras memang topik yang menarik untuk
difilmkan. Beberapa tahun silam Asrul Sani pernah mencobanya
lewat filmnya yang berjudul Bulan Di Atas Kuburan. Secara
teknis dan penataan artistik, ia kalah dari karya Ami. Tapi
setidaknya dari segi cerita, Jakarta berada di belakang film
buatan Asrul Sani itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini