Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

5 Film Pilihan

Penilaian majalah TEMPO terhadap 5 film Indonesia menjelang FFI 1978: suci sang primadona, kembang-kembang plastik, yang muda yang bercinta, badai pasti berlalu dan Jakarta-Jakarta.(fl)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM beberapa hari lagi hasil Festival Film Indonesia di Ujung Pandang akan diumumkan. Tanpa bermaksud mempengaruhi penilaian juri yang kini sudah selesai, hanya sekedar memberikan bahan perbandingan bagi pembaca, TEMPO di bawah ini menurunkan penilaiannya. Selamat menonton. YANG TERBAIK: SUCI, SANG PRIMADONA "Suci Sang Primadona sebagai film belum bicara apa-apa. Saya masih sibuk dengan kata-kata, bukan efek gambar." Arifin C. Noer. PENGAKUAN Arifin bisa dicatat. Ia memang sulit untuk mengelak. Secara teknis film pertamanya -- ditulis dan disutradarai sendiri memang masih jauh dari sempurna. Ada bagian yang kelebihan gambar, ada bagian yang kekurangan gambar. Penempatan jenis gambar juga masih belum seluruhnya rapi. Tapi anehnya karya Arifin ini mengasyikkan untuk ditonton. Ada sesuatu yang terasa pada kita yang dikisahkannya. Sesuatu yang rasanya sering kita temukan tapi tidak pernah terlalu kita perhatikan. Menonton karya Arifin ini terasa seperti berkenalan dan bercengkerama dengan seorang yang kita sering ketemu tapi tidak pernah sempat berbincang-bincang. Ini adalah kisah tentang seorang primadona di rombongan sandiwara rakyat Sri Mulat Surabaya. Namanya Suci. Statusnya: janda muda dengan beberapa anak, yang ditinggalkannya jauh di udik yang tandus. Dan sebagai perempuan dari desa yang masuk kota dan menghabiskan waktu di atas dan di belakang panggung, Suci punya banyak impian. Orang-orang yang bermimpi itulah yang digarap Arifin. Suci (dimainkan oleh Joyce Erna) bermimpi, pak Kuncung suami isteri bermimpi, Oom Kapitan (Soekarno M. Noor) bermimpi. Pak Dawud (Alam Surawijaya) bermimpi, Tuan Condro (Awaludin) bermimpi, anak muda Eros (Rano Karno) bermimpi. Suci yang cantik dan bertubuh bagus yakin bahwa lewat tubuhnya ia bisa mendapatkan apa yang ia anggap sebagai inti dari semuanya, kekayaan. Condro cukong, Pak Dawud pejabat pengusaha, dan Oom Kapitan, pemeras, yakin bahwa masing-masing telah mendapatkan piaraan cantik lewat uang mereka. Dengan kata lain masing-masing yakin telah memiliki Suci. Sementara itu Eros yakin bahwa ia, yang lari dari Jakarta karena muak dengan kepalsuan orang tuanya yang makmur, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri: menikah dengan "mbak Suci" yang memang mencintainya, tapi yang belum ia kenal betul asal dan arahnya. Arifin adalah penulis dan sutradara sandiwara yang jitu dalam mempermainkan mimpi. Tidak mengejutkan jika hasil kerjanya juga mengasyikkan. Lihatlah betapa plastisnya Arifin berkisah tentang pak Kuncung dan keluarganya itu --pakde si Suci yang juga menyambung hidupnya dengan jadi figuran Srimulat yang melarat. Seperti dalam beberapa lakon sandiwara Arifin, tokoh miskin yang menebak lotere tanpa henti-hentinya ini adalah sosok yang tragis, tapi dari momen ke momen terlihat menggelikan. Akhirnya sudah dapat diduga sebenarnya ia bakal gagal bermimpi jadi kaya. Tapi cara Arifin menabrakkan impian itu ke kegagalan cukup mengejutkan, walaupun dalam menggambarkan impiannya ia menampilkan adegan-adegan mirip sinting yang agak terlalu dibuat-buat. Yang baik diingat ialah bahwa dengan berdisiplin pada satu struktur cerita yang padu, Arifin berhasil mengembalikan selingan impian dan kegagalan pak Kuncung ini kepada cerita pokok film. Berbeda dengan penulis skenario lain --seperti yang terlihat pada Yang Muda Yang Bercinta dan Jakarta, Jakarta -- skenario Suci tidak mencong ke sana ke mari. Kegagalan Pak Kuncung ternyata bisa jadi pengantar bagi kesadaran Suci untuk berhenti memburu-buru harta. Dan Suci pelan-pelan pun mulai berhenti bermimpi, apalagi percintaannya yang spontan dan hangat dengan Eros akhirnya harus ia insyafi sebagai sesuatu yang tak mungkin terus: anak itu masih terlalu muda dan ia sendiri tidak. Film ini pun dengan setahap demi setahap habis setelah impian demi impian diuraikan, kemudian dipudarkan. Pak Kuncung mati, isterinya menangis tetap di ranjang yang tua dan apak itu. Pak Dawud yang korup, tuan Condro yang manipulator, Pak Kapten yang pemeras dan lemah syahwat, semuanya dibongkar cacat-cacatnya setelah masing-masing mencoba membalas dendam atas keterkecohan mereka. Suci -- setelah membongkar semua itu sekaligus dengan kata-kata yang amat banyak -- akhirnya kembali ke desanya, konsekwen dengan khotbahnya tentang kepalsuan hidup mewah. Eros balik ke Jakarta, ke sekolah. Moral cerita ini memang pada dasarnya konvensionil. Kecuali bila pembelaan kepada wanita yang menjual tubuh (tapi tak menjual diri), seperti yang tersirat dalam lagu Kupu-Kupu Malam Titiek Puspa, dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Sebab Arifin memang tak nampak berpretensi akan memperbaharui perkara besar dengan cara mengejutkan. Tak ada niat jadi avantgarde, tidak ada tingkah New wave. Adegan kamar tidur antara Suci dengan Eros juga bukan suatu pertunjukan perversi sex, tapi lebih kepada sugesti dua anak bermain -- seperti juga mereka bermain dakon. Singkatnya Suci tak akan menimbulkan heboh, sang produser (Gramedia, yang berkaitan dengan harian Kompas) bisa selamat dan bahkan mungkin sekali sukses secara dagang. Tapi sementara itu diam-diam ada sesuatu yang dipertegas Arifin -- satu hal yang sering diterlantarkan oleh para sutradara Indonesia yang lebih biasa dengan ongkos mahal dan ambisi gede bahwa sesungguhnya sebuah cerita film bisa berangkat dari satu tempat, dan berkisar di sana. Dan tempat itu boleh bersahaja, yang sonder di-eropa-eropa-kan toh bisa dramatis. Dalam Suci yang sebagian besar berlokasi di Taman Hiburan Rakyat Surabaya, tak ada gereja kuno, tak ada pula bangsal bangsawan yang antik, tak ada kementerengan bak Hollywood lama yang dalam film kita biasanya hanya mencerminkan impian sang sutradara sendiri. Tapi sementara film ini masih terlampau banyak memakai kata-kata dan akan orang panggung, pengalaman Arifin sebagai sutradara pentas banyak membantu: Yakni dalam menggarap pemain. Dengan sentuhan Arifin, Joyce Erna sebagai Suci bermain meyakinkan. Ia adalah si Suci itu sendiri, dari cara jalannya, dari caranya mengangguk menuruti permintaan langganan, dari caranya bicara yang beraksen Jawa Timur dan juga pada saat menangis. Wanita yang baru pertama kali main film ini telah memperlihatkan satu permainan terbaik untuk film tahun 1977, (lihat: Joyce, Sang Primadona). Bahkan Pak Kuncung yang selama ini cuma dapat peran jongos yang (seperti dalam sandiwara kita sejak sebelum perang) selalu tolol untuk lucu, ternyata di bawah Arifin bisa bermain dengan begitu mengharukan. Alam Surawijaya, Soekarno M. Noor, tapi terutama Awaluddin, memperlihatkan permainan yang biasanya tidak mereka perlihatkan. Atau barangkali saja mereka selalu bermain baik, tapi dalam sebuah film yang tidak utuh, permainan macam apa pun yang diperlihatkan para pemain, kesan yang ditinggalkannya tetap saja terhapus. Suci sang Primadona (di balik gambarnya yang jelek), adalah film yang utuh. YANG MENCARI EFEK: KEMBANG PLASTIK "Kembang-Kembang Plastik adalah sebuah film yang mencoba melukiskan kehidupan 'satu hari satu malam' para pelacur dan para penjahat dengan corak pelukisan yang berlandaskan kasih dan pengertian atas konflik-konflik dan harapan-harapan mereka." Wim Umboh. KISAHNYA memang seluruhnya di kompleks pelacuran sunan Kuning, Semarang. Di sana berkumpul sejumlah pelacur, pemain musik jalanan, tukang warung, para pencoleng, germo serta tentu saja para lelaki yang menjadi konsumen para perempuan itu. Lewat skenario yang ditulis oleh Arifin C. Noer, Wim Umboh memperkenalkan kepada penonton pelacur Lily (Yatti Octavia), Yayu (Ully Artha) Iin (Nenny Triana), Nora (Dien Novita), pelacur tua (Enny Kusrini) serta pelacur gelap (Rahayu Effendi), germo (Nurnaningsih dan para pencoleng pimpinan mBah Genggong (Maruli Sitompul). Di antara orang banyak itu -- masih akan diperamai lagi oleh Mangapul si rampok (Roy Marten) dan Ijan (Cok Simbara) yang jatuh cinta pada pelacur Lily -- siapa sebenarnya yang dipasang Wim sebagai pemain terpenting? Jawab sang sutradara: "Tidak ada yang penting antara mBah Genggong, Lili, Ijan, Yayuk atau pun Mangapul. Saya ingin menceritakan tentang semua mereka." Itu memang sikap yang baik untuk menghadapi sebuah skenario yang diilhami dari sebuah sandiwara karya Arifin C. Noer. Tapi justru di sanalah puh masalahnya. Wim yang sudah terbiasa membikin film manis bergambar indah dengan cerita melodramatis ternyata kewalahan ketika menghadapi karya Arifin ini. Ia membuatnya dengan amat realistis. Tapi Kembang-Kembang Plastik bukanlah sebuah kisah kenyataan sebagai adanya, melainkan suatu nyanyian, suatu puisi liris tentang kehidupan pelacur dan manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. Perhatikanlah adegan waktu mBah Genggong dengan para anak buahnya mempersiapkan perampokan. Baik dialog maupun tingkah laku para pemain semuanya mustahil terjadi pada kehidupan sehari-hari. Di sini terjadi suatu gaya permainan yang amat diberi stilisasi -- merokok beramai-ramai secara serentak, berangkat ke tempat sasaran perampokan dengan becak terbuka di tengah malam buta sambil sama-sama menyiulkan lagu Bridge On The River Kwai. Adegan-adegan yang memerlukan stilisasi macam tadi mendominir seluruh tontonan ini sebagai layaknya sebuah nyanyian liris. Dalam adegan perampokan, Wim berhasil, terutama dengan bantuan permainan Maruli Sitompul yang luar biasa. Tapi Wim ternyata tidak konsisten. Adegan-adegan lain -- pelacur yang menyanyi, misalnya -- dikerjakannya secara amat realistis. Para pemain pun melakukan tugas mereka sebagai biasanya yang mereka lakukan dalam film-film yang mereka bintangi sebelumnya. Mungkin karena menyadari kelemahannya dalam bidang penampilan pemain itulah maka Wim mencoba melakukan kompensasi lewat pengucapan dialog yang diberi aksen Jawa atau Batak yang dibuat-buat. Tapi, ya, karena dasarnya sudah dibuat-buat -- celakanya pula, orang Jawa disuruh beraksen Batak, orang Batak harus beraksen Jawa -- hasilnya cuma menimbulkan kerisihan. "Saya mendapat kesan film itu agak mencari efek, terlalu disadari. Sulitnya menghadapi film itu ialah: di satu pihak ada semacam realisme, tapi seperti pada karya saya yang lain, ada sifat nyanyian juga. Jika Wim agak mengambil jarak sedikit, mungkin kesan mencari efek kurang." Itu komentar Arifin sang penulis skenario. Mengambil jarak atau apa saja namanya, yang jelas lewat film ini Wim tidak memperlihatkan suatu tafsiran yang utuh terhadap skenario. Karena tidak adanya tafsiran yang utuh itulah maka tidak tercipta suatu kesatuan gaya dalam penceritaan. Terjadi suatu pencampur adukan antara gaya realistis dengan gaya grotesk. Salah satu akibat dari pendekatan Wim yang tidak utuh barangkali juga bisa dilihat pada menonjolnya tokoh mBah Genggong, meski pada mulanya tidak dimaksud demikian. Nyanyian liris tentang hidup di sekitar kompleks pelacuran ini akhirnya berubah menjadi kisah tragis tentang mBah Genggong, si bekas pejuang yang entah karena apa kemudian hinggap di kompleks pelacuran sebagai pelindung para pelacur sembari memimpin suatu kelompok perampok dan pencopet. Tokoh-tokoh lain akhirnya hanya menjadi pelengkap kisah di seputar diri mBah yang satu ini. Untunglah bahwa Maruli Sitompul bermain dengan baik sekali --seperti selalu ia lakukan dalam setiap penampilannya -- sehingga cerita sedikit bisa tertolong. Sebagai editor Wim juga menolong banyak film yang ia sutradarai ini. Barangkali harus dikatakan bahwa sebagai editor Wim masih tetap unggul di antara kawan-kawan sejawatnya. Ia bahkan lebih unggul sebagai editor daripada sebagai sutradara. YANG BANYAK MAUNYA: YANG MUDA "Yang Muda Yang Bercinta adalah kisah tentang seorang anak muda yang mahasiswa yang penyair dan jatuh cinta. Pada saat yang sama dia melihat lingkungannya. Bapaknya miskin. Tapi ada orang kaya, ada sarjana-sarjana nganggur. Dia memandang masa depan dalam suasana lingkungan itu. Bingung. Dan pada saat yang sama, pada saat persoalan begini selesai, tahu-tahu pacarnya bunting. Ia pun lari ke Yogya dan Semarang. Di tempat pelariannya itu terjadi proses pengendapan." Sjuman Djaja. Yang Muda Yang Bercinta adalah karya ke-8 Sjuman Djaja. Film ini dibuka dengan Rendra sebagai si Son membacakan puisi protesnya dalam kampus Universitas Indonesia. Ia memprotes cukong, memprotes pembangunan yang tidak membuka lapangan kerja bagi banyak orang, memprotes barang-barang impor yang mewah dan melumpuhkan produksi dalam negeri, dan sebagainya. Pokoknya protes yang di luar film biasa disuarakan Rendra, dan kira-kira sama dengan protes mahasiswa yang dulu terdengar di halaman kampus maupun lewat sejumlah pernyataan. Suatu awal yang menarik, jika ini sebuah film dengan cerita yang tegang tentang mahasiswa dan suara resah mereka. Tapi sayang, film ini ternyata tidak bercerita ke sana. Atau lebih tepat ada dua cerita yang dimainkan Rendra di situ, dan keduanya secara agak susah payah dicoba dikait-kaitkan. Yang pertama adalah Rendra seniri. Yang kedua adalah sang mahasiswa, anak seorang pensiunan klerk yang tentu saja hidup sederhana. Seorang remaja biasa, yang pacaran, kuliah dan merengek-rengek minta jas untuk dipakai pada pesta mewah bersama kawan-kawannya. Suasana hidup sederhana keluarga priyayi menengah itu digambarkan dengan baik oleh Sjuman. Juga kehidupan keluarga pacar (Yati Octavia), yang tinggal bersama ibunya yang janda dan hidup dengan membuat kue. Sayangnya pusat kejadian tidak berlangsung di situ. Dalam kehendak mendapatkan gambar perbedaan sosial, si mahasiswa dijejerkan dengan kehidupan temannya yang mewah. Kontrasnya tajam betul. Tapi jika dari sini diharapkan ada konflik anda akan kecewa. Memang, dari sebuah film tidak selalu harus ada kisah konflik antara si miskin dengan si kaya. Tapi setelah melihat begitu beralasannya suara protes dalam puisi si Son, rasanya ada sesuatu yang palsu jika film ini kemudian cuma berpokok cerita pada soal pacaran yang terlanjur jadi kehamilan. Setidaknya, tak ada efek apa-apa dari gejolak protes sosial itu pada cara si tokoh mengambil keputusan. Bahkan ia tetap dekat dan tetap menompang pada kebaikan pamannya yang ia ketahui ikut korup, ikut mewah, ikut feodal. Suara galak protes sosial film ini pada akhirnya terasa cuma verbalisme, atau basa-basi atau tempelan. Dan semuanya ditujukan kepada orang lain. Agak jelas tempelan ialah pada adegan pertengkaran antara Son dengan ayahnya (dimainkan oleh Maruli Sitompul). Gara-gara soal terlambat membayar rekening listrik. Adegan ini sebetulnya bisa menggambarkan baik bentrokan sikap si ayah yang mau tertib, hati-hati, cemas, dengan sikap si anak yang seenaknya. Tapi si anak tiba-tiba menuding bapaknya sebagai pihak yang tak mau dikritik karena sudah "macet". Kata-kata ini jelas ditujukan buat menyindir angkatan lama yang berkuasa yang tak mau dikritik -- satu hal yang sering diulang Rendra. Tapi apa hubungannya dengan keterlambatan membayar rekening listrik? Dan tidakkah kecemasan si ayah bisa difahami, hingga tuduhan "anti-kritik" itu terasa mengada-ada atau gertak? Mungkin karena skenario yang semula ditulis Umar Kayam ini kemudian diubah-ubah. Kata Sjuman: "Plot yang ditampilkan adalah plot Kayam. Tapi bahwa di sana-sini ada pengaruh, dalam proses pembuatan film adalah biasa. Pada film saya ada pengaruh liayam, ada juga pengaruh Rendra." Yang disayangkan ialah bahwa pelbagai unsur baru itu tidak membentuk jalur yang padu. Yang muncul adalah sebuah tontonan yang terlalu banyak maunya. Dengan begitu, Yang Muda Yang Bercinta amat berbeda dengan film Sjuman yang sebelumnya, Pinangan. Kalau pada Yang Muda Yang Bercinta Sjuman mau terlalu banyak, pada Pinangan yang sederhana (diangkat dari sandiwara sebabak Anton Chekov) Sjuman justru terlalu miskin variasi. Seperti juga dalam film-film lainnya, dalam film Sjuman yang terbaru ini Maruli Sitompul adalah unsur yang menyenangkan. Ia bermain subtil, meyakinkan bahkan mengharukan. Di depan Rendra yang bermain teatral (adegan di atas truk di bagian akhir sebetulnya ia tak perlu merentangkan tangan), Maruli tampil sebagai suatu yang bersahaja dan wajar. Karena itu ia justru menonjol. YANG APIK TAPI MELELAHKAN: BADAI "Badai ini sebenarnya adalah cacing yang saya jadikan ular." Teguh Karya. Aneh. Sang Sutradara sendiri menilai rendah ceritanya. Tapi ia tetap menggarapnya. Kenapa Teguh Karya memfilmkan juga novel karya Marga. T itu? "Sebagai nilai tukar. Soalnya produser yang sama telah memberikan saya kesempatan membuat film Perkawinan Dalam Semusim." Berlainan dengan Perkawinan Dalam Semusim yang tampil lewat plot majemuk dengan berbagai tokoh yang punya persoalan sendiri-sendiri (TEMPO, 23 April 1977), dalam Badai Pasti Berlalu Teguh kembali ke plot tunggal. Inilah kisah tentang Siska (Christine Hakim) yang jadi gadis penyendiri lantaran patah hati. Leo (Roy Marten) muncul. Dengan segala akal, ia akhirnya -- dengan bantuan penuh abang si Siska sendiri -- berhasil memenangkan hati si gadis. Untuk apa? Mula-mula mungkin untuk memenangkan taruhan dengan kawan-kawan kuliahnya. Kemudian rasanya ia jatuh cinta juga. Ketika sudah berhasil tunangan -- tentu saja juga menang uang taruhan -- mendadak saja putus hubungan. Siska merasa dipermainkan sebagai barang taruhan. Kemudian muncul Helmi Landau (Slamet Raharjo) yang adiknya dijadikan simpanan oleh ayah Siska, tuan Santoso (Rahmat Hidayat). Tokoh Helmi dimaksudkan sebagai tokoh pembalas dendam. Ia memeras sang ayah dan kemudian berhasil mendapatkan Siska. Anak mereka mati sakit waktu Helmi pergi (ia selalu pergi) dan perkawinan habis. Siska kembali ke Leo yang sudah jadi dokter. Tak ada yang sanggup mengharukan. Tak heran bila Teguh menilai rendah sendiri kisah yang difilmkannya ini. Sudah tentu kesalahan lewat film bukan pula lantas jadi tanggung jawab Marga.T lagi. Setelah melewati tangan Arifin C. Noer dan Teguh Karya sebagai penulis skenario, sudah tentu perbaikan diharapkan terjadi. Dan setelah ditangani pada tingkat terakhir oleh Teguh sebagai sutradara, cerita yang sebenarnya cuma "cacing" itu mustinya sudah jadi "ular". Tahunya masih tetap saja cacing yang diperbesar. Intensitas, kedalaman perasaan, yang bisa menyebabkan sebuah melodrama jadi menyembilu, tak terasa juga. Film ini seperti bukunya berjalan datar. Tanpa titik, koma, tanda seru atau tanda baca apa pun kecuali -- barangkali -- titik koma. Sebagai tontonan. film karya Teguh ini memang sempurna jika dilihat sebagai bagian-bagian lepas, tapi secara utuh melelahkan. Kerja kameranya efektif, permainan bintangnya cukup, penataan artistiknya apik, tapi ketika layar kembali jadi pucat dan kita berdiri untuk pulang, kita melangkah tanpa deburan jantung yang berubah. Kenapa, ya? Dari Teguh rasanya layak untuk ditunggu sebuah film dari roman psikologis, orang modern yang rumit jiwanya, bukan tokoh-tokoh cerita yang seolah-olah hanya dilihat dari luar, dengan subyektifitas setipis alis, yang ditulis oleh Marga T. YANG GADO-GADO: JAKARTA, JAKARTA "Jakarta-Jakarta adalah sebuah kolase, adonan gado-gado atau lebih tepat asinan. Dia tidak manis karena bukan itu memang maksud tujuannya. Dia ingin mengajak orang berfikir sejenak, sedetik di tengah hiruk pikuknya perjuangan mempertabankan hidup di ibukota ....." Ami Priyono. Film karya Ami Priyono ini dibuka dengan sejumlah adegan tentang berbagai hal yang terjadi di Jakarta. Ini memang sebuah pembukaan yang baik bagi sebuah film yang berhasrat bercerita tentang Jakarta dan isinya. Dan film yang berjudul Jakarta, Jakarta itu memulai kisahnya ketika kapal laut Tampomas merapat di dermaga Tanjung Priok Jakarta. Tumbur Silalahi (El Manik) adalah salah seorang penumpang yang datang ke Jakarta dari Medan. Kekerasan Jakarta diperkenalkan oleh Ami lewat adegan perampasan terhadap barang-barang milik Tumbul oleh tiga orang penjambret ketika Tumbur sedang kelelahan sehabis mencari pamannya yang tak kunjung ketemu. Terjadi penyiksaan. Tumbur kemudian ditolong oleh pelacur Saly (Indah Fajarwaty). Mereka pernah bertemu di kapal. Ada juga mahasiswa pincang yang bernama Indra (John Marjono). Tapi mengapa penduduk kampung ramai-ramai melempari mereka batu? "Justru orang-orang pemarah adalah orang yang tertekan dan lapar. Mereka sering berbenturan sesamanya, kaum underdog." Begitu Ami menjelaskan. Suatu perlambang, sebab sejak iu penghuni kampung itu tak terasa kehadirannya lagi? Terserahlah. Tapi mungkin juga itu pertanda pertama bahwa dalam film ini yang diperlukan bukanlah kepaduan dan konsistensi cerita. Bisa saja, cuma sayang. Kita mungkin akan lebih sreg bila cerita cukup dipusatkan kepada nasib pemilik bengkel yang digusur. Setidaknya karena bintang lama Masito Sitorus betul-betul memperlihatkan usahanya untuk bermain baik. Dan ia tidak cuma bermain baik, tapi juga mengharukan. Tapi begitulah, Ami sendiri mengakui Jakarta, Jakarta itu dibuat dan ditinjau dari kaca mata sutradara film komersil. Harus diingat pula, sebelah kaki saya berpijak pada idealisme dan sebelah lainnya pada permintaan pasar." Tapi kesulitan Ami nampaknya bukan cuma mengatur kedua letak kakinya, tapi menggabungkan unsur-unsur kolasenya. Setelah sedikit berkisah tentang anak muda yang datang dari Medan untuk mencari hidup di Jakarta, setelah sedikit berkisah tentang penggusuran, Ami masuk ke persoalan perploncoan, yang dalam film ini didebatkan cukup panjang, seraya memasuki jalur cinta antara sopir dengan anak majikan. Pada akhirnya Jakarta, yang mewadahi itu semua, tak terasa hadir. Adegan terakhir film ini, penembakan dan penikaman di sebuah upacara nikah yang indah di gereja tua yang sepi, dengan dasi kupu-kupu, gaun pengantin serta darah terpercik, bisa saja terjadi di sebuah kota kecil di Sicilia. Apalagi realisme, yang biasanya diharapkan dari cerita tentang kerasnya kota besar, lebih bersandar pada asumsi-asumsi yang ada tentang orang kaya yang jahat dan bejat, tentang mahasiswa dan kehidupan kampus, tentang kehidupan pelacur dan sopir. Kisah tentang Jakarta yang keras memang topik yang menarik untuk difilmkan. Beberapa tahun silam Asrul Sani pernah mencobanya lewat filmnya yang berjudul Bulan Di Atas Kuburan. Secara teknis dan penataan artistik, ia kalah dari karya Ami. Tapi setidaknya dari segi cerita, Jakarta berada di belakang film buatan Asrul Sani itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus